Oleh: Yusriadi
Sabah Time, media utama di Sabah, akan tutup. Koran berusia hampir 80 tahun itu mengalami masalah penjualan oplah dan iklan.
Berita ini terbaca di Berita Harian Malaysia, kemarin. Sesaat rasanya ada hentakan keprihatinan di dalam dada, serasa saat membaca kabar tentang Equator Pontianak yang mengakhiri perjalanannya. Itulah sebabnya saya mensharenya kepada rekan.
Hidup memang ada ujungnya. Dunia tetaplah sesuatu yang fana. Itu sifatnya.
Tapi, kadang-kadang kita sulit menerimanya. Terbayang masa jaya dan pengaruhnya, dulu.
Disrupsi terjadi di mana-mana dan tak dapat ditolak. Banyak yang berubah secara drastis. Kemampuan menyesuaikan diri, beradaptasi, adalah keniscayaan agar dapat mengikuti rentak zaman. Inilah kunci survive. Alasan untuk dapat bertahan dan berkembang.
Saat ada yang rontok di perjalanan, terbayang juga nasib awaknya. Terutama mereka yang sudah berkepala dua warna. Mereka yang masih dihadapkan pada tugas hidup selanjutnya. Terbayang juga keluarga mereka.
Bung Mering, Pak Tanto, Bang Deks, rekan saya di media tahun 2000-an pernah mengalami situasi itu. Mereka mengalami masa perjuangan dan berat setelah kehilangan pekerjaan secara tiba-tiba. Ada situasi batin yang bergelora ketika itu.
Butuh waktu dan teman untuk bangkit. Hingga kini mereka seatle dengan posisinya masing-masing. Pada akhirnya perjalanan hidup ditempuh, dan babak kejutan itu disyukuri karena dianggap sebagai jalan Tuhan menyayangi hamba-Nya.
Faktanya, rekan-rekan ini keluar lebih awal dari teman yang lain, yang juga menghadapi situasi kehilangan pekerjaan itu di kemudian hari. Syukurnya, mereka lebih dahulu menapak jalan dibandingkan yang tidak diharapkan. Nyatanya, bagi mereka masih banyak pilihan. “Ternyata di luar lebih banyak roti untuk sekadar makan,” kata rekan waktu itu mengutip kata hikmah.
Sesungguhnya, beberapa hari terakhir ini saya mendengar banyak cerita tentang orang yang dirumahkan karena corona. Pekerja di mall, sopir bis, karyawan toko, dll. Mereka terdampak.
Semoga saja mereka sabar. Ini takdir. Mendekatlah diri pada-Nya. Nanti akan terasa bahwa Tuhan sedang menyayangi. (*)