Oleh: Nur Iskandar
Suatu hari di Gedung Graha Pena Jawa Pos-Surabaya–lantai 21–CEO briliant Dahlan Iskan berkata dengan semangat menyala-nyala, “Kalau mau tahu situasi kondisi suatu negeri baca saja korannya. Begitupula mau tahu maju tidaknya suatu daerah, baca saja koran lokalnya.”
Di dalam pertemuan para redaktur pelaksana tahun 2000, dua puluh tahun yang lalu itu saya tercenung. Dalam hati mengangguk setuju. Misalnya terbayang, ketika itu, kalau mau tahu wajah Indonesia saya bisa lihat dari koran utama Nusantara yakni Kompas. Untuk tahu wajah Pontianak saya merujuk koran Pontianak Post. Tentu koran saya juga, tempat saya bekerja saat itu, cucu Jawa Pos, Harian Equator.
Begitulah. Postulat Dahlan Iskan jadi kebiasaan yang positif untuk kenal lingkungan secara cepat. Maka setiap kali berkunjung ke daerah lain, atau negara lain, yang saya beli pertama-tama adalah korannya-majalahnya-bukunya. Dari sana tokoh dan peristiwa bercerita panjang lebar. Kita bia masuk sampai ke dalam kasak-kusuknya.
Wawancara adalah sesuatu yang menyenangkan sebagai wartawan. Kita mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Narasumber menjawabnya. Baik mikir dulu, maupun spontan. Dari dialektika wawancara, setiap wartawan pasti tahu seorang narasumber itu matang karena proses “perkelahian” dengan zamannya, atau justru sebaliknya: karbitan. Dari gerak mata,intonasi, getar bibir, kita wartawan juga tahu narasuber bicara jujur atau berbohong. Ada gelombang mikrokosmos yang bisa kita tangkap dengan perasaan dan pikiran. Foto juga menangkap raut wajah, cermin isi hati di alam bawah sadar sana.
Ada narasumber saya, yang mandi keringat diwawancarai puluhan wartawan, namun ditunggu bermenit-menit, tak satu kata pun keluar dari mulutnya. Padahal cita-citanya tinggi hendak menjadi bupati. Ini narasumber paling lucu yang pernah saya hadapi. Saking demam panggungnya hendak menjadi pejabat publik, wartawan tak tega, lalu satu persatu pamit pulang. Ha ha haaa….
Saya sungguh tidak tega. Rupanya berita di balik berita, sosok satu ini korban para “pengampur”. Korban “gong gong angin lambong”.
Dia punya banyak duit dan diprovokasi orang, bahwa dia amat cocok menjadi Bupati. Habislah duitnya dibelai para mafia pasar. Uang di kantong habis, muka pucat pesai, jabatan tinggi ranah politik pun buyar.
Beranjak dari interaksi dengan banyak tokoh saya membuat perbandingan dengan Sultan Hamid II Alkadrie yang kini sedang “diributkan” secara nasional. Tepatnya pasca muncul keras dan lugas dari mulut mantan Kepala Badan Intelijen Negara–tak tanggung-tanggung Prof Dr AM Hendropriyono. Mengenai Sultan Hamid yang sudah wafat sejak 1978 masih disebutnya sebagai pengkhianat negara. Padahal sudah banyak penelitian terkini, hanya mungkin belum Beliau update. Begitupula sejarahwan Dr Anhar Gonggong yang juga berteriak nyaring, bahwa Sultan Hamid II berjasa, namun punya cacat sejarah. Yakni di tahun 1946 dia menerima pangkat Mayor Jenderal dan pengawal khusus Ratu Wilhelmina sementara “kita” dikejar-kejar Belanda. Lalu di mana patriotismenya?
Sehebat apa sih Sultan Hamid? Apa rekam jejak wartawan dengannya? Saya jadi tertarik untuk riset kecil-kecilan. Apalagi melihat saat Hamid dibawa ke meja pengadila tahun 1953 atas penangkapannya April 1950 dengan tuduhan makar. Tudingan memberontak kepada negara.
Sejumlah buku saya kumpulkan. Teks-teks berita tentang Sultan Hamid saya pelajari, seolah saya wartawan yang hadir pada saat itu.
Saya hanya mau tahu beberapa hal. Pertama: macam apa sosok Sultan Hamid itu kok jadi musuh bersama alias ‘common anemy’?
Ketika menjawab wartawan, lisan kata-katanya untuk pencitraan politik, atau jujur menyampaikan kenyataan sebagai seorang perwira kesatria? Dari kedua mainstream itu, saya akan menyimpulkan Hamid pria tipikal pemimpin atau pecundang.
Pahlawan atau pengkhianat.
Perburuan pun dimulai dengan Hut seabad pers Kalimantan Barat. Melalui panitia pelaksana, Ahmad Sofian, kebetulan adik tingkat saya di pers kampus Mimbar Untan, “Sedikit sekali berita tentang Sultan Hamid kanda. Ada 1 berita kala dia menikahi Dina Didi Van Delden. Baru itu,” katanya.
*
Saya teringat buku tentang Sultan Hamid. Sejarah Lambang Negara Indonesia, hasil kerja tim Kementerian Luar Negeri dan Museum Konferensi Asia Afrika. (2012). Di sini alur pikir Sultan Hamid dikuliti pertanyaan wartawan Mercu Buana bernama Solichin Salam. Simak selengkapnya teks kalimat Hamid (ejaan lama, diketik ulang oleh Sekretaris Pribadi yang juga cucu Sultan Hamid, Max Jusuf Alkadrie–juga sudah almarhun, 21 Januari 2019 lalu–Alfatihah):
“Bung Solichin dan djuga kerabat saja!”
“Djangan pasang lambang negara di rumahmu sebelum diakui lambang itu oleh negara rantjangan saja!”
“Bersama ini perlu didjelaskan di sini berkenaan pertanjaan tentang file lambang negara yang saja buat sebagaimana saudara adjukan kepada saja, tanggal 13 April 1967”.
Ditugaskan Soekarno
“Sedjak awal saja selaku Menteri Negara RIS jang ditugaskan Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno untuk membuat gambar lambang negara sesuai perintah Konstitusi RIS 1949, pasal 3, Pemerintah menetapkan lambang negara, saja telah berupaja untuk mengangkat kembali lambang-lambang/simbol-simbol dalam peradaban bangsa Indonesia.”
“Untuk itulah kemudian saja dipertjajakan Paduka Jang Mulia merentjanakan – mempersiapkan lambang negara dan menjiapkan rentjana gedung parlemen/lihat pledoi saja pada Sidang Mahkamah Agung 1953, setelah memperhatikan berbagai hasil sajembara dari para pelukis jang memenuhi prinsip-prinsip hukum pembuatan lambang menurut semiologi untuk didjadjikan sebagai lambang Negara Repubik Indonesia Serikat demikian pendjelasan Menteri Prijono.”
“Oleh karena itu saja selaku pribadi mempersiapkan gambar lambang negara dengan berkonsultasi seorang ahli lambang/semiologi berkebangsaan Perantjis yang kebetulan sahabat saja Saudara D. Ruhl Jr, dan beliau juga saja perkenalkan dengan Mr. M. Jamin selaku Ketua Panitia Lambang Negara ketika RIS drkiyst pertengahan Djanuari 1950, untuk memberikan masukan djuga”.
“Padjuka Jang Mulia Presiden Soekarno memerintahkan kepada saja agar melambangkan ide Pantja-Sila ke dalam gambar pada lambang negara dan berkali-kali utjcapan beliau kepada saja, tetapi pesan beliau djuga gambar itu haruslah mengangkat simbol-simbol yang ada pada peradaban bangsa Indonesia agar setara dan gambarnya seharmonis mungkin, seperti lambang-lambang negara besar lain di dunia, karena Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno jakinkan kepada saja, menurutnja karena saja pernah bersama Paduka Jang Mulia ketika itu saja mengambil Jurusan Teknik Sipil satu tahun di Technische Hoogeschool (T.H.S) Bandung, walaupun akhirnya saja tidak menyelesaikan kuliah itu, berhubung saja diterima di K.M.A Breda Negeri Belanda”.
“Terus-menerus beliau mejakinkan saja, bahwa pasti saja paham dalam hal ini menggambar struktur lambang. Untuk itu kemudian saja mengadjukan kepada Paduka Jang Mulia pada agenda sidang kedua Kabinet RIS tanggal 10 Januari 1950 untuk membentuk kepanitiaan teknis lambang negara RIS yang diketuai oleh Mr. M. Jamin, dan jang lain Ki Hadjar Dewantara (anggota), M.A. Pellaupesi (anggota), Moh Natsir (anggota) dan R.M. Ng. Purbatjaraka (anggota). Kepanitiaan ini di bawah koordinator saja yang bertugas menjeleksi/memilih usulan-usulan rantjangan lambang negara untuk dipilih dan diadjukan kepada Pemerintah untuk ditetapkan oleh Parlemen RIS setjepatnya, karena memang selama 5 tahun sedjak Negara R.I merdeka, 17 Agustus 1945, sampai dengan terbentuknya RIS tahun 1949, belum ada memiliki lambang negara.”
“Untuk memberikan pemikiran teknis saja selaku Menteri Negara Zonder Portofolio RIS 1949 – 1950 dan Koordinator Panitia Lambang Negara meminta Ki Hadjar Dewantara untuk memberikan sumbangan pemikiran tentang hasil-hasil penelitian lambang-lambang negara.”
“Untuk memberikan pemikiran teknis saja selalu Menteri Negara Zonder portofolio RIS 1949 – 1950 dan Koordinator Panitia Lambang Negara, meminta Ki Hadjar Dewantara untuk memberikan sumbangan pemikiran tentang hasil-hasil penelitian lambang-lambang di peradaban bangsa Indonesia, karena menurut Mr. M. Jamin selaku Ketua Panitia Lambang Negara,”
“Beliau lebih mengetahui dan pernah mendjadi Ketua Panitia Lagu Indonesia Raja tahun 1945 bersama Mr. Jamin jang berkedudukan sekretaris umum, untuk itulah saja mengirim telegram kawat kepada Ki Hadjar Dewantara di Djogjakarta dan telah dibalas kepada saja 26 Djanuari 1950 yang intinja saja agar berkonsultasi kembali dengan Mr. M. Jamin mengenai hasil penjelidikan lambang-lambang dimaksud, kemudian berdasarkan hasil kesepakatan rapat Panitia Lambang Negara RIS, ada dua rentjana gambar rantjangan lambang negara jang dipersiapkan Panitia Lambang Negara ketika itu jang pertama dari saja sendiri dan kedua dari Mr. M. Jamin.”
“Saja membuat sketsa berdasarkan masukan Ki Hadjar Dewantara dengan figur Garuda dalam mitologi jang dikumpulkan oleh beliau dari beberapa tjandi di Pulau Djawa dikirim beliau dari Djogjakarta, dan tidak lupa saja djuga membandingkan salah satu simbol Garuda jang dipakai sebagai Lambang Kerajaan Sintang, Kalimantan Barat, tetapi hanja merupakan salah satu bahan perbandingan antara bentuk Burung Garuda jang berada di candi-candi di Djawa dengan luar Djawa.
Karena secara historis Kerajaan Sintang masih ada hubungan dengan Kerajaan Madjapahit, seperti di dalam Legenda Daradjuanti dengan Patih Lohgender, demikian keterangan Panglima Burung menjelaskan kepada saja di Hotel Des Indes awal Februari 1950.
Di samping itu, saja djuga mempergunakan bahan-bahan lambang negara lain jang djuga figurnya burung elang/jang mendekati burung Garuda dan saja tertarik dengan gambar-gambang lambang negara dan militer negara Polandia, karena latar belakang pendidikan saja ketika di K.M.A Breda djuga memperlajari makna lambang-lambang militer berbagai negara dan lambang-lambang negara di Eropa dan negara-negara Arab, serta Amerika djuga di kawasan Asia jang memakai figur burung.
Di samping itu, Mr. M. Jamin djuga mempersiapkan tersendiri lambang negara, walaupun demikian djuga beberapa hal beliau memberikan masukan kepada saja tentang makna bunga teratai, jang kemudian saja buat gambar untuk dasar dudukan burung garuda pada sketsa awal saja, karena menurut beliau itu djuga mitologi Bangsa Indonesia dari peradaban Agama Budha.
Perlu saja jelaskan, bahwa jang paling sulit ketika mencarikan simbol-simbol jang tetap untuk melambangkan ide Pantja-Sila, saja awali dengan mentjoba untuk membuat rentjana tameng/perisai dengan mentjoba untuk membuat rentjana tameng/perisai yang menempel pada figur burung garuda, karena lambang-lambang pada negara lain jang mempergunakan figur burung selalu ada tameng/perisai di tengahnja. Pertama saja membuat sketsa awal perisai jang saja bagi mendjadi lima ruang dan sebagai tanda perisai jang membedakan dari Perisai yang dibuat Mr. M. Jamin, kemudian saja buat dua buah perisai di dalam dan di luar dengan garis agak tebal jang membelah perisai untuk melambangkan garis equator (khatulistiwa) di perisai itu.
Walaupun demikian, saja djuga meminta anggota dalam Panitia Lambang Negara untuk menjumbangkan pemikiran jang berhubungan dengan simbol-simbol ide Pantja-Sila, seperti pesan Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno, ada jang menjarankan simbol keris, banteng, padi kapas, kemudian saja menambahkan Nur Tjahaja berbentuk bintang persegi lima atas masukan M. Natsir sebagai simbol ke-satu Pantja-Sila, djuga masukan dari R.M. Ng. Purbatjaraka, jakni Pohon Astana jang menurut keterangannya pohon besar sejenis pohon beringin jang hidup di depan Istana sebagai lambang pengajoman dan perlindungan untuk melambangkankan sila ke-tiga, karena menurut beliau Pohon Astana memaknai simbol menjatunja rakyat dengan istana itulah djuga hakekat Negara RIS jang sebagian besar ketika itu didirikan di luar Negara Proklamasi RI, 17 Agustus 1945.
Oleh keradjaan-keradjaan dan simbol selanjutnya tali rantai bermata bulatan melambangkan perempuan dan bermata persegi melambangkan laki-laki jang sambung menjambung berjumlah 17 sebagai simbol regenerasi jang terus menerus. Mengenai simbol ini inspirasinya saja ambil dari tanah Kalimantan, jakni kalung dari Suku Dayak, demikian djuga untuk perisainja, setelah bertukar pikiran dengan para Panglima Suku Dayak di Hotel Des Indes, awal Februari 1950 jang saja ajak ke Djakarta ketika itu.
Salah satunya Panglima Burung, Masuka Djanting, J.C. Oevaang Oeray, sahabat saja di Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB), lambang lain kepala banteng, sebagai sila keempat ini, sumbangan sebagai lambang dasar kerakjatan/tenaga rakjat padi-kapas lambang sila-kelima sumbangan dari Ki Hadjar Dewantara sebagai perlambang ketersediaan sandang dan papan/simbol tudjuan kemakmuran, semua itu saja bitjarakan di Hotel Des Indes yang merupakan tempat saja membuat gambar lambang negara sekaligus saja tinggal sementara di Djakarta sebagai Menteri Negara RIS sampai dengan 5 April 1950, saja ditangkap atas Perintah Jaksa Agung jang akhirnja saja ‘terseok’ dalam perdjalanan sedjarah sebagai anak bangsa. Itu mungkin tjiptaan saja terpendam mudah-mudahan pendjelasan kepada Saudara Salam, mendjadi terang adanja.
Saja putuskan tjiptaan pertama berbentuk figur burung Garuda jang memegang Pantja-Sila, seperti masukan Ki Hajar Dewantara jang diambil dari mitologi garuda pada peradaban Bangsa Indonesia, tetapi ketika gambar lambang negara ini saja bawa ke dalam Rapat Panitia Lambang Negara, 8 Februari 1950, ternjata ditolak oleh anggota Panitia Lambang Negara RIS lain, karena ada beberatan dari dari M. Natsir ada tangan manusia jang memegang perisai berkesan terlalu mitologi dan feodal, djuga keberatan anggota lain R. M. Ng. Purbatjaraka terhadap djumlah bulu ekor tudjuh helai, terus terang jang mengusulkan tudjuh helai ini adalah Mr. M. Jamin.
Untuk itu saja mintakan dalam rapat, Mr. M. Jamin ketika itu mendjelaskan makna tudjuh helai bulu ekor selaku Ketua Panitia Lambang Negara, dan ada kesepakatan untuk diubah mendjadi 8 helai bulu ekor, sebagai tjandra sengkala/identitas negara proklamasi 17 Agustus 1945 atas usulan M. A. Pellaupessy jang menurut beliau tak boleh dilupakan.
Akhirnya setelah penolakan itu saja mengambil inisiatif pribadi untuk memperbandingkan dengan lambang-lambang negara luar, khususnjua negara-negara Arab, seperti Yaman, Irak, Iran, Mesir, ternjata menggunakan figur burung Elang Radjawali, djuga seperti Negara Polandia jang sudah sejak ratusan tahun djuga menggunakan burung Elang Radjawali seperti jang saja jelaskan di atas dalam kemeliterannya.
sosoknja lebih besar/gagah dari burung elang jang ada di Djawa dan ini simbolisasi lambang tenaga pembangunan/creatif vermogen negara dengan harapan Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) mendjadi negara jang besar dan setara dengan negara-negara di dunia, sudah mendjadi kewadjarawan dan demikian seharusnya.
Selandjutnya gambar lambang negara saja bisa diterima oleh anggota Panitia Lambang Negara, demikian djuga lambang negara rantjangan Mr Mohammad Jamin jang kemudian kami serahkan bersama kepada Perdana Menteri Mohammad Hatta, untuk dibawa ke Pemerintah dan sidang Parlemen RIS untuk dipilih. Alhamdulillah gambar rantjangan saja jang diterima, 10 Februari 1950 dan esoknja untuk pertama kali diperkenalkan kepada chalajak ramai di Hotel Des Indes, jang kemudian pada rapat Parlemen RIS bersama Pemerintah ditetapkan Parlemen RIS sebagai Lambang Negara RIS, pada tanggal 11 Februari 1950.
Walaupun demikian, ada masukan beberapa waktu kemudian dari Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno ketika beliau sedang berpidato kenegaraan, 20 Februari 1950 melihat lambang negara tersebut jang tergantung di belakang podium Parleman Istana Merdeka Pedjambon, karena kepala burung Radjawali tidak ‘berdjambul’ dan terlihat ‘gundul’. Paduka Jang Mulia meminta saja untuk memperbaiki bentuk kepala, kemudian saja mengubah bagian kepala mendjadi berdjambul, kemudian oleh Kementerian Penerangan RIS atas perintah Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno kepada pelukis Dullah, untuk melukis kembali lambang negara tersebut.
Kemudian lukisan itu saja potret dalam bentuk hitam putih untuk dikoreksi kembali oleh Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno dan ternjata masih ada keberatan dari beliau, jakni bentuk tjakar kaki masih ada jang mentjengkram seloka Bhinneka Tunggal Ika dari arah belakang sepertinya terbalik, saja mentjoba mendjelaskan kepada Paduka Jang Mulia, memang begitu burung terbang membawa sesuatu seperti keadaan alamiahnja.
Tetapi menurut Paduka Jang Mulia, seloka ini adalah hal jang sangat prinsip, karena memang sedjak semula merupakan usulan beliau sebagai ganti rentjana pita merah putih jang menurut beliau sudah terwakili pada warna perisai. Selandjutnya meminta saja untuk mengubah bagian tjakar kaki mendjadi mentjengkram pita/mendjadi ke arah depan pita agar tidak ‘terbalik’ dengan alasan ini berkaitan dengan prinsip ‘djatidiri’ bangsa Indonesia, karena merupakan perpaduan antara pandangan ‘federalis’ dan pandangan “kesatuan’ dalam Negara RIS.
Mengertilah saja pesan filosofis Paduka Jang Mulia itu, djadi djika ‘bhinneka’ jang ditondjolkan itu maknanja perbedaan jang menondjol dan djika ‘keikaan’ jang ditondjolkan itulah kesatuan republik jang menondjol, djadi keduanja harus disatukan, karena ini lambang Negara RIS jang di dalamnja merupakan perpaduan antara pandangan ‘federalis’ dan pandangan ‘kesatuan’ haruslah dipegang teguh sebagai ‘djatidiri’ dan prinsip berbeda-beda pandangan tapi satu djua ’e-pluribus unum’.
Walaupun saja harus susah pajah membuat sketsa kembali untuk pembetulan badan tjakar kaki itu, tetap saja mengerti ini hal bagian jang sangat penting dalam lambang Negara RIS. Karena mengandung tiga konsep lambang sekaligus, jakni pertama, burung Radjawali-Garuda Pantja-Sila jang menurut perasaan Bangsa Indonesia berdekatan dengan Burung Garuda dalam mitologi, kedua perisai ide Pantja-Sila ber-thawaf’/gilir balik, dan ketiga, seloka Bhinneka Tunggal Ika jang tertulis dalam pita warna merah putih.
Untuk itu saja meminta bantuan R. Ruhl untuk membuat sketsa dari lambang negara jang saja buat dengan membawa potret lukisan lambang negara jang dilukis oleh Dullah, karena lukisan Dullah jang gambar rantjangannnya semua tjengkeraman kakinja menghadap ke belakang telah diserahkan kepada Kementerian Penerangan RIS jang ketika itu masih berada di Jogjakarta.
Kemudian dimintakan kepada saja oleh Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno untuk tidak disebarkan dahulu ke pelosok Negara RIS. Setelah itu sketsa transkrip/outwerp jang dilukis D. Ruhl Jr saja adjukan kembali ke Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno, ternyata beliau langsung mendisposisi sebagai Wapen Negara. Waktu itu tanggal 20 Maret 1950, kemudian beliau memerintahkan untuk memanggil Dullah, sang pelukis Istana/pelukis kesajangan Bung Karno untuk melukis kembali berdasarkan sketsa perbaikan R. Ruhl tersebut, walaupun ketika itu kita harus merugi beberapa ribu rupiah lagi untuk membajar pelukis Dullah.
lukisan Dullah jang kemudian oleh Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno diperintahkan kepada Kementerian Penerangan RIS jang ketika itu saja lihat banyak warga bangsa memasang di rumah-rumah, sedangkan saja selaku pembuat gambar rantjangan lambang negara jang saja namakan Radjawali Garuda Pantja-Sila diperintahkan Paduka Yang Mulia untuk memperbaiki seperlunja, jakni membuat skala ukuran, bentuk dan tata warna, serta keterangan gambar jang ada pada simbol-simbol itu, karena mendjadi tanggungdjawab saja selaku Koordinator Panitia Lambang Negara dan Menteri Negara dalam perentjanaan Lambang Negara RIS.
Patut saja sedikit djelaskan, mengapa burung itu menoleh ke arah kanan, hal ini sebenarnja perlambang pandangan negara ke arah kebaikan ke depan, karena kanan dalam tradisi masjarakat selalu diartikan dengan arah kebaikan. Demikian salam menoleh ke kanan ketika sholat orang Islam hukumannja wajib/fardhu ‘ain.
itu dengan terbentuknja RIS diharapkan bangsa ini bisa madju ke arah kemadjuan sebagai bangsa jang lebih baik, sedangkan mengapa diberi nama Burung Elang Radjawali Garuda Pantja-Sila, karena saja menghargai latar belakang gambar jang saja tjiptakan pertama mengambil figur burung Garuda memegang perisai Pantja-Sila, berubah mendjadi figur Burung Elang Radjawali jang dikalungkan perisai Pantja-Sila agar prosesi bangsa ini djangan melupakan peradaban bangsanja dari mana dia berasal/djangan sampai melupakan sedjarah puntjak-puntjak peradabannja, seperti pesan Paduka Jang Mulia.
unik dan penting untuk saja djelaskan, karena banyak jang menanjakan kepada saja, mengapa harus ada dua perisai pada perisai Pantja-Sila, sebenarnya saja hanja mendjabarkan ide Pantja-Sila dari Bung Karno, 1 Djuni 1945 dalam rapat Panitia Sembilan, karena saja teringat pada pesan utjapan Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno kepada saja berkali-kali, jakni Lambang Negara haruslah bisa melambangkan ide Pantja-Sila. Mengenai ide Pantja-Sila itu terus terang saja banjak masukan dari pendjelasan Mr. Mohammad Hatta selaku Perdana Menteri RIS ketika saja konsultasi terus-menerus pada waktu itu.
Adanja dua lambang perisai besar di luar dan perisai jang ketjil di tengah, karena menurut pendjelasan Mr. Mohammad Hatta jang terlibat dalam Panitia Sembilan Perumusan Pantja-Sila 1945 ketika pertukaran pikiran dalam Panitia Sembilan pada pertengahan Juni 1945, dari lima sila Pantja-Sila jang terpenting sebagai pertahanan bangsa ini menurut beliau adalah sila pertama Ketoehanan Jang Maha Esa, barulah bangsa ini bisa bertahan madju ke depan untuk membangun generasi-generasi penerus/kader-kader pedjuang bangsa jang bermartabat/berperikemanusiaan jang disimbolkan dengan sila kedua: kemanusiaan jang adil dan beradab.
Setelah itu, membangun persatuan Indonesia sila ketiga, karena hanja dengan bersatulah dan perpaduan antar negara dalam RIS inilah bangsa Indonesia mendjadi kuat, pada langkah berikutnja, baru membangun parlemen Negara RIS jang demokratis dalam permusjawaratan/perwakilan, karena dengan djalan itulah bisa bersama-sama mewudjudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, jakni dari rakjat, untuk rakjat oleh rakjat, karena berbakti kepada bangsa dan Tuhan Jang Masa Esa.
Atas pendjelasan Perdana Mengeri RIS itu, kemudian perisai ketjil di tengah saja masukkan simbol sila ke satu berbentuk Nur Tjahja bintang bersudut segilima, patut diketahui arah simbolisasi ide Pantja-Sila itu saja mengikuti gerak arah ketika orang ‘berthawaf’/berlawanan arah djarum djam/’gilirbalik’ kata Bahasa Kalimantan dari simbol sila ke satu ke simbol sila kedua dan seterusnja.
Karena seharusnja seperti itulah sebagai bangsa menelusuri/menampak tilas kembali akar sedjarahnja dan mau ke mana arah Bangsa Indonesia ini dibawa ke depan, agar tidak kehilangan makna semangat dan ‘djatidiri’-nja ketika mendjabarkan nilai-nilai Pantja-Sila jang berkaitan segala bidang kehidupan berbangsanja, seperti berbagai pesan pidato Paduka Jang Mulia di setiap kesempatan. Itulah kemudian saja membuat gambar simbolisasi Pantja-Sila dengan konsep berputar-gerak simbolisasi Pantja-Sila dengan konsep beruptar-gerak ‘thawaf’/gilirbalik kata Bahasa Kalimantan sebagai simbolisasi arah prediksi konsep membangun ke depan perdjalanan Bangsa Indonesia jang kita tjintai ini.
Perisai ide Pantja-Sila itu dibawa terbang tinggi oleh Sang Radjawali Garuda Pantja-Sila jang dikalungkan dengan rantai di lehernja dengan tetap mentjengkeram kuat prinsip jang dipegang teguh para pemimpin dalam Negara RIS, namanja “Bhinneka Tunggal Ika” sebagaimana dikehendaki bersama itulah simbol kedaulatan RIS seperti telah diperdjuangkan bersama di Konferensi Medja Bundar (KMB) 1949 dan telah dituangkan dalam Piagam Penjerahan Kedaulatan oleh Ratu Juliana pada 27 Desember 1949 dan diperintahkan dalam Konstitusi RIS itu, jakni Pemerintah untuk menetapkan Lambang Negara RIS.
Pertanjaan lain yang sering ditanjakan kepada saja, bahkan oleh Sekretaris Pribadi saja sendiri, Max Yusuf Alqadrie, setelah keluarnja saja dari pendjara, djuga pertanjaan jang sama oleh Saudara Salam, jakni mengapa ada garis tebal di tengah perisai Pantja-Sila? Apakah sebagai tanda jang membuatnja dari anak bangsa jang berasal Ibukota Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB), Pontianak?
Saja djawab hal ini sebenarnja ingin membanggakan/menjimbolkan letak Negara RIS dilewati garis equator/khatulistiwa jang kebetulan tugunja ada di kota kelahiran saja sendiri, Pontianak, jang didirikan tahun 1928 djauh sebelum negara proklamasi Republik Indonesia merdeka dan Negara RIS terbentuk sampai dengan tahun 1938 disempurnakan oleh opsiter Silaban, sahabat saja, seperti bentuk tugunja sekarang ini, garis itu melewati Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) jang merupakan bagian kesatuan kenegaraan, seperti dinjatakan dalam konstitusi sebelum RIS, 17 Agustus 1945 sampai dengan 26 Desember 1945, agar kelak generasi mengetahui, gambar Lembang Negara RIS ini adalah tjiptaan saja untuk membedakan dengan apa jang dibuat oleh Mr. Mohammad Jamin jang djuga berbentuk perisai hanja gambarannya ada sinar-sinar matahari.
Falsafah ‘thawaf’ mengandung pesan, bahwa ide Pantja-Sila itu bisa didjabarkan bersama dalam membangun negara, karena ber’thawaf’ atau gilir balik menurut Bahasa Kalimantan, artinya membuat kembali membangun/vermogen jang ada tudjuannja pada sasaran jang djelas, jakni masjarakat adil dan makmur jang berdampingan dengan rukun dan damai.
menurut Paduka Jang mulia Presiden Soekarno, arah falsafahnja dimaksud pada udjungnja, jakni membangun negara jang bermoral tetapi tetap mendjundjung tinggi nilai-nilai religius masing-masing agama jang ada pada sanubari rakjat bangsa di belahan wilayah negara RIS, serta tetap memiliki karakter asli bangsanja sesuai dengan ‘djatidiri’ bangsa/adanja pembangunan nation charakter building demikian pendjelasan Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno kepada saja.
sedjudjurnya hanya berupaja mengangkat kembali lambang-lambang/simbol-simbol jang ada di peradaban klasik bangsa Indonesia bersama anggota Panitia Lambang Negara itu sebenarnya semangat gorong-royong lewat perentjanaan gambar Lambang Negara RIS sebagaimana ditugaskan kepada saja selaku Menteri Zonderportofolio.
Karena memang tidak ada tugas lain untuk saja sebagai Menteri selain merentjanakan lambang negara dan menjiapkan gedung parlemen RIS, saja berharap agar kelak bangsa ini ditjintai oleh kita semua bertekad untuk memadjukan-membangun bersama.
Itulah jang dapat saja sumbangkan kepada bangsa ini jang ditjintai oleh kita, hanya sadja saja ‘ketjewa’ dengan kabar di luar jang menerka-nerka Mr. Mohammad Jamin jang membuat lambang Negara RIS, sedangkan file-file serta transkrip lambang negara Mr. Mohammad Jamin jang pernah ditolak oleh Pemerintah dan Parlemen RIS ada di tangan Panitia Lambang Negara jang kemudian file-file lambang negara itu saja simpan dengan baik, sampai kemudian sekitar akhir tahun 1966 saja selamatkan ke Istana Kadriah, Pontianak.
Kemudian saja bawa kembali ke Djakarta sekitar awal tahun 1967, saja titipkan kepada Nona K. Irawati, anak Sjamsuddin Sutan Makmur/pernah Menteri Penerangan periode 30 Djuni – 12 Maret 1956 jang ketika itu satu ruangan pendjara bersama saja mendjadi tahanan politik, di rumah beliaulah di Djalan Radio Dalam, Djakarta Selatan, tempat sementara saja tinggal setelah keluar dari pendjara, jang akhirnja semua file saja bersama file Mr. Mohammad Jamin diserahkan kepada Sekretaris Pribadi jang kebetulan tjutju saja, Max Jusuf Alqadrie, hingga saat ini agar terselamatkan bagi bangsa ini.
Sajapun saat ini apakah ide Pantja-Sila itu hasil rumusan dari Mr Mohammad Jamin dalam Panitia Sembilan seperti jang berkembang di masjarakat seperti jang Saudara tanjakan kepada saja, karena terus-terang saja tidak mengikuti perkembangan di luar. Itu saja meminta Saudara sebagai Wartawan djuga menanjakan langsung kepada Mr Mohammad Hatta sebagai saksi sedjarah dalam ke Panitiaan Sembilan 1945, sebelum sedjarah ide Pantja-Sila itu dibelokkan atau ‘dipalsukan’ orang yang tidak bertanggjungdjawab.
Dan saja berharap transkrip hasil wawantjara itu bisa dikirim kepada saja, sungguh berterimakasih kepada Saudara djika Saudara mau menanjakan hal ini kepada Mr. Mohammad Hatta.
Pendjelasan lain atas file transkrip pembuatan gambar lambang negara jang saja buat ini sudah pernah saja djelaskan kepada Sekretaris Pribadi saja, Max Jusuf Alqadrie. Dan pendjelasan ini hanya untuk melengkapi apa jang sudah didjelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 jang tidak memuat setjacara djelas dan rintji pokok-pokok pikiran tentang lambang negara Radjawali Garuda Pantja-Sila dalam transkrip saja.
Demikianlah djawaban saja atas pertanjaan Saudara Solichin Salam dan semoga mendjadi pendjelasan jang objektif mendjawab surat Saudara. Jikalau kurang djelas, harap Saudara berkundjung ke kediaman saja kembali setiap saat, terimakasih atas hal yang sudah dipertanjakan kepada saja mendjadikan sesuatu jang bermanfaat bagi bangsa jang ditjintai oleh kita.” Djakarta, 15 April 1967. Ttd Hamid. Disalin kembali sesuai aslinya oleh Sekretaris Pribadi Sultan Hamid II, tanggal 1 Djuni 1971, oleh Max Jusuf Alqadrie (Cucu dan Sekretaris Pribadi Sultan Hamid II).Sebagai wartawan terus terang saya puas atas penjelasan Sultan Hamid atas pertanyaan Solichin Salam. Istilah saya dalam bekerja, orang seperti Sultan Hamid ini, sedikit saja pertanyaan diajukan,panjang lebar ulasan dan jawaban. Untaian kronologisnya logis. Tokoh-tokoh yang disebutnya faktual. Tidak ada yang disembunyikan, bahkan Hamid menantang wartawan untuk verifikasi. Siapakah sosok yang dirujuknya untuk verifikasi? Ternyata Moh Hatta. Sosok ilmuan yang jujur tiada ego dan ambisi merajalelanya.
Saya berkesimpulan, dari pertanyaan wartawan, atas nama Solichin Salam, bahwa Sultan Hamid memang cerdas bin brilian. Ia bahkan sudah punya prediksi pula, kalau tak segera diverifikasi, bahasa kita orang Kalimantan, “Ntar sejarah dibengkokkan.” Selalu ada premis mayor sang pecundang. *