Oleh: Nur Iskandar
“Assalam. apakabar Bang Is, ana dapat postingan ini benarkah?”
[Postingan wartawan senior kelahiran Wonosobo, tahun 1961, pernah Redaktur Eksekutif Republika-Farid Gaban soal wakaf yang lagi jadi trending topik nasional karena baru saja peluncuran Gerakan Wakaf Uang Nasional bersama Presiden, Wapres dan Menkeu]. Saya ditanya Kyai di Pontianak mungkin karena aktif menulis tentang wakaf dan punya latar belakang jurnalis.
“Maaf kyai mau tanya ‘part’ mananya nih…?” Begitu tanya saya kepada Sang Kyai, alumni dari Al Azhar, Kairo, Mesir. Gelarnya Lc. Tentu setelah membaca tuntas artikel Mas Farid Gaban.
Artikel Farid Gaban memang viral. Ia melayang-layang di berbagai grup. Saya cek pula di laman FaceBook yang bersangkutan. Klik saja Farid Gaban, akan muncul artikelnya tentang wakaf dan Keling Kumang di Kalbar. Lalu, kepada Sang Kyai saya paparkan pengetahuan saya berdasarkan liputan lapangan. Baik ketika bersama Farid Gaban, maupun liputan profesional selama di media massa pro.
Kepada Sang Kyai saya katakan bahwa Farid Gaban itu orang ICMI. Ia jurnalis. Pernah mengabdi cukup lama di Republika. Kini lebih sering keliling Indonesia menulis buku.
Pada artikel yang viral, isinya soal Keling Kumang adalah benar. Saya biasa liputan ke Keling Kumang. Dari sejak berdirinya ketika saya bekerja di Jawa Pos Media Group, Harian Equator. Saya bolak-balik ke kantor pusatnya yang megah di tapal batas Sekadau dan Sintang. Ilmuan pendiri Universitas Keling Kumang sebagian besar saya kenal akrab.
Saya katakan kepada Kyai, bahwa Badan Hukum CU (Credit Union) sama. Yakni koperasi.
Tentang isi artikel panjang Farid Gaban yang menohok, tapi juga brilian solutif agar menggerakkan potensi wakaf secara signifikan di kelas akar rumput, saya timpali, bahwa segenap usul Farid Gaban dalam artikelnya telah dijalankan Munzalan Mubarakan sebagai Mesjid Billionaire–Mesjid Entreprise–juga di Kalbar. “Sayang Farid Gaban tak meliput Munzalan Mubarakan hehehe….” Begitu kata saya jika Sang Kyai penasaran dengan kebesaran dan kemegahan Keling Kumang. Munzalan juga punya reputasi fantastis. Saya meliput keduanya. Melihat dengan mata kepala sendiri.
Nah, soal tudingan kapitalisasi ‘by’ nazir wakaf uang seperti isi artikel Farid Gaban saya katakan kepada Kyai, “Ini setahu saya tidaklah benar.” Komentar itu saya sampaikan dalam pengalaman internal saya di Badan Wakaf Indonesia (BWI) Provinsi Kalimantan Barat dalam tiga bulan terakhir ini. Saya tahu bagaimana BWI lahir dari amanah UU Wakaf No 41 Tahun 2004. Tahu peranan BWI mengawasi dan mengembangkan wakaf di Tanah Air untuk kemakmuran umat, rakyat, atau masyarakat luas.
Ketua BWI, Prof Dr Ir HM Nuh, DEA kerap kali menegaskan bahwa wakaf adalah instrumen ibadah umat Islam yang plural. Wakaf bisa menjangkau segala lapisan. Apa saja. Lintas etnis dan agama. Termasuk infrastruktur. “Apa saja bisa kita bangun dengan potensial wakaf. Sebab tergantung niat wakif dan profesionalitas nazir,” ungkap Nuh yang juga mantan Mendikbud era SBY. reputasi Nuh kita tahu ‘clear’. Ia NU yang Muhammadiyah. Ilmuan muslim yang sederhana dan punya reputasi tinggi. Ia getol berdakwah soal wakaf produktif dan kemakmuran negara. Petuah Nuh yang saya suka adalah kita mesti ubah paradigma tangan di bawah menjadi tangan di atas. Dari peminta-minta justru jadi penderma. Dari kondisi tangis duka menjadi titik mata bahagia.
Saya justru melihat, bahwa BWI di tahun 2021 di dalam umur berdirinya sejak 2004 atau menginjak 17 tahun adalah terlambat ‘launching’ wakaf uang bersama Presiden. Sebab sebenarnya soal wakaf ini, Indonesia “telat” ketimbang Malaysia, bahkan Bangladesh. Apalagi Turki dan Mesir serta negara-negara Islam-Arab. Mereka telah sampai pada Bank Wakaf di mana umat bisa kredit tanpa bunga! Jual beli dan sadakah mengalahkan riba atau bunga bank konvensional.
Di sana dalam kajian sejarah peradaban wakaf, kreativitas umat Islam pada instrumen wakaf sangat luar biasa, sehingga tidak aneh jika negara meminta pertolongan pada badan wakaf dalam Islam. Begitupun di Turki dan Mesir.
Indonesia baru mulai ‘ngegass’ dengan peradaban wakafnya. Baru melek dan raksasa yang baru sadar bahwa kekuatannya gigastic. 2000 triliun dalam setahun. 188 triliun wakaf uang tambahannya dalam setiap tahun pula jika dihandle dengan terstruktur, massif dan sistematis. Menggiurkan sekali. Setara dan bahkan melebihi kemampuan APBN berjalan saat ini.
Demikian justru tanda-tanda syariat ekonomi dari wakaf di Indonesia menyeruak, di mana nyawa boleh putus tapi pahala mengalir terus telah masuk pada sendi utama negara, yakni kepala negara. “Bagi saye, kepala negara membunyikannya pun sudah patut disyukuri. Sebab peluang mengisi ilmu wakaf ke publik. Tentang alur wakaf uang sejauh ini terbuka untuk dikritisi sesuai syar’i. Saye pon terus belajar dari fasilitas pengajian dll di BWI maupun pegiat wakaf nasional. Sedikit2 mengikuti negeri Jiran dan mancanegara. Terus terang Ziswaf sekarang seksi Yayi. Mari manfaatkan momentum dakwah,” kata saya.
Farid Gaban lahir di Wonosobo, 12 Juli 1961. Pernah bekerja di sejumlah media, antara lain, Majalah Editor (1986-1988), Redaktur Eksekutif Harian Republika (1990-1997), Redaktur Pelaksana Majalah Tempo (1999-2005), dan The Geotimes Magazine (2015-2019). Pernah mengenyam pendidikan di Jurusan Planologi, Fakultas Teknik Sipil, Institut Teknologi Bandung (ITB, tidak lulus), dan Kursus Jurnalisme Ekonomi pada Center for Foreign Journalist, Reston, Virginia, Amerika Serikat (1988). Pengalaman liputan berkeliling Amerika Serikat (1988), Reunifikasi
Jerman/Runtuhnya Tembok Berlin (1989), Perang Bosnia (1990), Jerusalem/Palestina (2000), setahun bersepeda motor (2009-2010) keliling kepulauan Indonesia dalam Ekspedisi Zamrud Khatulistiwa. Kini Direktur Eksekutif Yayasan Zamrud Khatulistiwa, yayasan yang bergerak di bidang advokasi dan implementasi ekonomi biru di Indonesia; menjabat Ketua Dewan Riset Daerah Kabupaten Wonosobo (2020-2025) dengan kajian utama pertanian, ekonomi lokal, dan koperasi. Menulis sejumlah buku, antara lain, Dor! Sarajevo: Sebuah Rekaman Jurnalistik Nestapa Muslim Bosnia (Mizan, 1993); Belajar Tidak Bicara: Solilokui (Mizan, 1997); Pemilu Legislatif 2004 (bersama Tabrani Syabirin, 2004); dan Taman Laut Indonesia (Zamrud Khatulistiwa, 2017).
Mendapat respon saya begitu, Sang Kyai cuit begini via WhatsApp,” Insya Allah Bang Is, kita berkompetisi dg waktu, pemerintah sekarang sdh ikut campur proyek keummatan yg sangat strategis ini, tp tahulah kalau pemerintah sdh campur tangan “agak ragu”, insya Allah gerakan wakaf yg SDH mulai menggeliat ini, support dg BWI dan Tawaf Indonesia. Insya Allah.”
Saya terharu. Sang Kyai mau konfirmasi tentang hal aktual seperti ditulis Farid Gaban. Saya kebetulan pernah bersentuhan dengan jurnalis senior ini saat ekspedisi bersepeda motor ke Bumi khaTULIStiwa. Saya tahu dia orangnya kritis dan cerdas. Sederhana. Lebih dari itu juga cinta Indonesia dengan melahirkan banyak artikel termasuk buku-buku serius. Untuk itu saya tak ragu membuat “pembelaan” dari apa yang saya tahu tentang isi artikel Farid Gaban dengan setting lokasi Kalbar–Keling Kumang. Terlebih soal wakaf kini saya geluti di BWI Kalbar.
Soal koperasi sekelas Keling Kumang yang hebat–tembus 1,04 triliun adalah karya kelas pemikir dan kerja keras hebat yang patut diacungi jempol lagi inspiratif. Pegiat di Keling Kumang juga adalah rekan-rekan sejawat yang bergiat membangun ekonomi Kalbar yang juga dihantui dengan kemiskinan dan kerusakan lingkungan hidup.
Pun sejurus waktu yang lalu saya menulis tentang kesamaan konsep wakaf dengan tembawang, yakni tanah hutan adat yang tak boleh diperjual-belikan dan dirusak melainkan hanya diambil manfaatnya secara kepentingan bersama. Persis wakaf dalam syariat Islam: tahan pokoknya, bagikan atau sedekahkan manfaatnya. Visi-misi kita sama. Mungkin ini kaifiat syar’i–hukum agama langit. Sama-sama agama wahyu ilahi.
Saya juga menulis ketokohan pendiri Pancur Kasih AR Mecer. Sebuah gerakan CU yang senior, guru dari Keling Kumang, Lantang Tipo dan berbagai CU lainnya di Kalbar.
Semoga tulisan ini menambah manfaat dan turut menjernihkan niat baik wakaf uang yang diluncurkan pemerintah namun tata kelolanya perlu dapat masukan sehingga terwujud implementasi lapangan seperti reputasi Keling Kumang, Pancur Kasih, Lantang Tipo, tak terkecuali Munzalan Mubarakan Ashabul Yamin di Kalbar. BWI tentu mengawal ketat, karena BWI adalah wasit wakaf di Nusantara, tak terkecuali wakaf uang yang baru diluncurkan petinggi negara ini. * (Penulis adalah pegiat literasi wakaf–wakaf literasi,anggota BWI Kalbar Bidang Wakaf Produktif. CP-WA 08125710225)–Foto Dok Internet Presiden dalam GWUN–Gedung CU Keling Kumang di tapal batas Sekadau-Sintang–Jurnalis Senior Farid Gaban dan penulis bersama Bidang Sosial Yayasan Mujahidin dan Prof Dr H Kamarullah, SH, MH Ketua BWI Kalbar.