Oleh Tanto Yakobus *
Hari hari terakhir saya sering dengar orang omong soal KB 1. Apa sih KB 1?
Pokoknya untuk KB 1 harus ini. Karena begini. Ini harga mati. Tak bisa ditawar tawar. Kita harus rebut. Saatnya kita. Kita sudah lama ngalah. Kita sudah kasik kesempatan. Kita tetap pertahankan apa pun halangannya. Giliran lagi. Jangan tamak. Kita tidak boleh kalah. Itu hak kita. Kita bisa bah. Ini kesempatan terakhir.
Begitulah bunyi dialog yang saya dengar dengan kuping saya sendiri dan saya rekam dengan otak saya sendiri. Diskusi itu ada yg saya temui di warung kopi, ada di medsos maupun grup grup komunitas tertentu.
Bagi saya, diskusi seperti itu boleh boleh saja dan menyehatkan kalau masih dalam bingkai demokrasi. Dalam bingkai NKRI. Artinya siapa pun pemenang demokrasi itu harus di dukung, harus diakui sebagai juara dari sebuah pertandingan yang sehat dan sportif.
Tapi mana kala melihat pesta demokrasi dalan tataran pilkada (gubernur) dilihat sebagai perebutan kekuasaan untuk kalangan tertentu. Untuk dominasi kelompok tertentu. Untuk superior kalangan tertentu. Suku tertentu. Agama tertentu. Yang lain dianggap tidak boleh bahkan tidak ada sama sekali, saya kira pemikiran seperti itu tidaklah tepat. Saya berharap pesta demokrasi kita betul betul arena pertarungan terbuka tapi kita taat asas dan taat aturan yang sudah kita sepakati bersama yang akan dijalankan KPU, Bawaslu dan parpol parpol serta masyarakat pemilih itu sendiri.
Disisi lain rakyat tetap dengan otoritas kebebasannya menentukan figur pilihannya pada saatnya tiba. Masyarakat memang tidak boleh menkotak kotakkan diri pada suku, agama dan golongannya sendiri sendiri. Tapi kita tetap dalam satu bingkai demokrasi dan NKRI. Pendapat boleh beda, tapi bukan untuk membuat jurang melainkan lem perekat. Selamat pagi dan selamat berlibur ria. (Penulis adalah mantan wartawan yang kni menjadi Ketua Fraksi Demokrat di DPRD Kalbar. Naskah tulisan dikutip sebagaimana aslinya di FB Tanto Yakobus)