Oleh: Yani Sukarno
Tak banyak orang tahu bahwa sejarah pers Indonesia sempat mencatat kiprah seorang blasteran bernama Dominique W. Berretty. Lelaki flamboyan ini sukses menguasai jalur penyebaran informasi di Batavia sebelum tewas mengenaskan pada 1934. Sebuah kurun waktu yang singkat namun menyimpan sisi dramatis dalam karier dan kehidupan pribadinya.
Berrety lahir di Yogyakarta pada 20 November 1890 dari rahim seorang perempuan Jawa bernama Salem. Ayahnya, Auguste Dominique Leonard Berretty, adalah pria Italia yang mengajar di sebuah sekolah swasta. Sedikit sekali yang diketahui orang tentang Berretty kecil dan saat dia masih remaja.
Lulus dari hogere burger school (HBS) di Surabaya, Berretty bekerja di kantor pos Batavia sebagai juru tulis, bidang pekerjaan yang banyak digeluti orang-orang Indo-Eropa yang baru lulus. Di tempat inilah dia mulai mengenal telegraf yang waktu itu menjadi alat komunikasi yang menghubungkan Hindia Belanda dengan belahan dunia lainnya.
Pada tahun 1910, Berretty diterima di suratkabar Bataviaasch Nieuwsblad sebagai korektor dan kemudian menjadi seorang wartawan. Talenta dan ambisinya mengantarkan dirinya ke Java Bode sebagai editor lima tahun kemudian. Di koran inilah dia sempat ditugaskan ke Amerika Serikat untuk meliput perkembangan dunia. Rencana mendirikan sebuah kantor berita pun lahir di negeri Paman Sam itu.
Koran-koran Hindia Belanda pada awal abad 20 sangat bergantung pada layanan berita dari agen Reuters, kantor berita Inggris. Kebutuhan terhadap berita-berita dari luar negeri sangat besar, terlebih-lebih selama Perang Dunia I. Sayang, berita-berita itu sering terlambat sampai di Hindia Belanda. Berretty melihat kondisi itu sebagai peluang bisnis yang menjanjikan.
Dengan uang pinjaman, Berretty lalu mendirikan Algemeen Nieuws- en Telegraaf-Agentschap (Aneta) di Batavia pada 1917. Sejak hari pertama, fokusnya adalah bagaimana mendapatkan berita yang lebih beragam dan lebih cepat ketimbang dua pesaingnya: agen Reuters dan kantor berita bentukan pemerintah, NIPA.
Cara berpikir Berretty yang eksentrik membuatnya menemukan cara jitu. Dengan bantuan kenalannya di perusahaan pengiriman paket, Berretty memperoleh informasi dunia terbaru yang dikirim koran-koran Singapura lewat telegram. Dia juga bekerjasama dengan seorang reporter The Fatherland di Den Haag yang secara diam-diam mengirimkan informasi terbaru tanpa diketahui sang pemilik koran.
Pengetahuannya tentang telegraf saat bekerja di kantor pos juga menguntungkan Berretty. Jika jaringan telegraf dari Singapura sibuk, dia bisa tetap mendapatkan pasokan berita dengan cepat karena jalur telegraf dipindahkan rutenya: dari Belanda ke Afrika Selatan, lalu ke Australia, dan berakhir di Batavia.
Kecepatan layanan Aneta menarik minat koran-koran di Hindia Belanda. Pelanggan pertamanya adalah The Guardian di Batavia, yang lalu diikuti oleh puluhan koran lain yang terbit di Pulau Jawa. Tak heran jika Berretty meraup sukses dalam rentang waktu dua tahun saja. Dua pesaingnya diambil alih, sehingga Aneta menjadi satu-satunya pemain di bisnis itu.
Kesuksesan Berretty mengantarkan dirinya pada kekayaan. Kantornya di kawasan Weltevreden (baca: Pressbureau Aneta) dibangun dengan megah pada tahun 1920. Gedungnya yang tinggi menantang langit adalah simbol kesuksesannya. Di salah satu dindingnya tertulis moto Napoleon yang terkenal: “Activité Activité … … Vitesse!” (Bergerak, Bergerak….Cepat!). Di gedung ini, Aneta beroperasi dengan 20 orang karyawan.
Kesuksesan Berretty tentu membuat dirinya dekat dengan pejabat-pejabat pemerintahan. Kedekatan ini membuat gerah lawan-lawan bisnisnya, termasuk sejumlah koran yang menjadi pelanggannya. Mereka menuduh Aneta sudah menjadi “corong pemerintah”.
Sejak itu, bisnis Berretty mulai terganggu. Apalagi di awal tahun 1920-an teknologi komunikasi global mulai berkembang dan mengancam layanan telegraf Aneta yang waktu itu terkenal cukup mahal. Akibatnya, Aneta jadi sangat tergantung pada pembayaran langganan berita saja.
Koran-koran pelanggannya mulai berteriak. Berita-berita Aneta dianggap bias dan penuh penyalahgunaan kekuasaan akibat kedekatannya dengan pemerintah. Berretty melawan “pemberontakan” ini dengan membiayai penerbitan Indische Courant pada 15 Desember 1921 di Batavia. Berretty menambah amunisi perlawanannya setahun kemudian dengan menerbitkan majalah mingguan De Zweep. Sesuai namanya yang berarti “cambuk”, De Zweep “mencambuk ” siapa pun yang menjadi lawannya. Sayang, majalah ini gagal di pasaran karena tidak dilirik pengiklan. Isinya pun dikritik karena memuat pornografi dan mengobarkan semangat anti-Semit.
Meski gesekan terus berlangsung, Berretty tetap bertahan karena kedekatannya dengan pemerintah. Pukulan balik malah dilancarkan oleh korannya sendiri, Indische Courant, yang meminta Berretty untuk menghentikan peredaran De Zweep karena telah menghina editorial yang dibuat Courant. Konflik Courant-De Zweep semakin runyam setelah wakil direktur Aneta P.R.A. Bekker menghentikan pasokan berita ke Courant saat Berrety tengah berada di luar negeri. Kasus ini akhirnya dibawa ke pengadilan pada tahun 1923. Aneta kalah dan diharuskan membayar kompensasi dan melanjutkan pengiriman berita. Kasus itu jelas mencoreng nama Berretty. Setelah tiba ke Batavia, dia melakukan “pembersihan”. Bekker dipecat dan Berretty memulihkan hubungannya dengan Courant. De Zweep lalu dijual dan Berretty menerbitkan mingguan baru bernama d’Orient.
Masalah Berretty tak berakhir di situ. Pada Februari 1930, seorang anggota parlemen menuduh Aneta menjalankan bisnis secara monopoli. Sebuah komite yang dibentuk untuk menyelidiki tuduhan itu menemukan bahwa Aneta dengan telah menyalahgunakan dominasinya untuk menekan koran-koran. Akhirnya parlemen mengeluarkan peringatan keras kepada Aneta agar tidak lagi “secara langsung maupun langsung mengganggu urusan internal pers atau bisnis mereka”.
Hasil penyelidikan atas Aneta merusak citra dan reputasi Berretty. Menurut editor Bataviaasch Nieuwsblad, J.H. Ritman, Berretty yang saat itu berusia 43 tahun mengalami depresi mental yang sulit disembuhkan.
Di tengah kesulitan yang menghadang bisnisnya, Berretty tetap menjalani kehidupan yang sensasional. Pria yang pernah kawin-cerai sebanyak enam kali ini sempat membangun sebuah vila megah di jalan Bandung-Lembang, Jawa Barat. Tempat peristirahatan yang diberi nama Isola itu mulai dibangun pada tahun 1933 di atas tanah seluas 12 hektar dan menghabiskan biaya sebesar 500.000 gulden (setara 250.000 dolar AS dengan kurs saat itu).
Berretty hanya menikmati keindahan vila itu sejenak saja. Pada tahun 1934, dia pergi ke Eropa untuk menjajaki penjualan Aneta yang kondisinya sudah tak tertolong. Saat kembali ke Batavia, pesawat Douglas DC-2 Uiver yang ditumpanginya jatuh di gurun Suriah dan menewaskan taipan media dari Batavia itu…(dikutip dari laman FB Andreas Harsono, 3/8/20)