in ,

Ketika Sekarung Ubi cuma Rp20 Ribu

IMG 20171129 201757 678

Oleh: Yusriadi

“Bapak pilih sendiri,” Bu Rini, petani di Jangkang memberikan karung beras ukuran 10 kg. Dia mempersilakan saya memilih sendiri ubi jalar kuning.

Sebelumnya, saya memang sudah menyampaikan minat membeli ubi jalar yang ditumpuk di bawah rimbunan pohon durian di seberang rumah beliau.

“Minta bagi harga Rp20 ribu,”
“Bisa,” katanya sambil mengambil karung di rumahnya. Dan karung itu diberikan kepada saya, lengkap dengan perintah, pilih sendiri.

Perintah ini membuat saya terkejut, sekaligus bingung.

Berapa banyak yang harus saya pilih?

Takjelas. Bu Rini tidak memberitahukan harga per kilo. Saya juga belum bertanya. Daripada tak jelas, lebih baik urusan takaran ini diserahkan ke beliau.

“Ibu jak yang pilih,” saya mengelak.

“Kalau bapak yang pilih, bisa pilih yang bagus-bagus,”

Saya masih mencoba mengelak.

“Sama, kalau ibu yang pilih. Saya ikut saja”.

“Tekena’ yang jelek?”

“Nasiblah”. Saya tertawa. Beliau ikut tertawa.

Akhirnya Bu Rini yang memilih. Saya membantunya.

Sambil memilih beliau cerita harga ubi jalar atau dia sebut telo, cuma Rp4.000. Yang ditumpuk dan kami pilih adalah sisa pilihan yang tidak dibeli pengumpul. Jika pun dibeli ubi yang kecil ini harganya Rp2.000. Telo ditumpuk di pinggir jalan, diecer.

“Mungkin ada yang beli,” katanya.
Kadang kala yang membeli itu, tetangga, kadang kala pelintas. Maklum, Jangkang adalah salah satu wilayah pelintasan dari Rasau -Sungai Bulan -ke Kubu. Pelintasan ini lebih dekat dan enak dibanding lewat Bintang Mas.

Saya sempat berandai: Andai ubi ini dijual langsung ke Pontianak, mungkin Bu Rini bisa mendapat nilai lebih. Dari Rp2000 per kilo mungkin jadi Rp5000 per kilo. Andai terjual 100 kilo, dapatlah selisih Rp300 ribu. Andai lebih banyak, banyak lagi yang didapat.

Andai Bu Rini dan keluarga di sini mengolah ubi menjadi keripik, dodol, stik, atau apalah bentuk olahannya, mungkin nilai tambah menjadi lebih tinggi untuk ekonomi keluarga. Taklah ubi-ubi yang sebenarnya masih cukup bagus teronggok menunggu pelintas.

Tetapi… entahlah, mungkin saya hanya bisa mengandai. (*)

Written by Yusriadi

Redaktur pada media online teraju.id dan dosen IAIN Pontianak. Direktur Rumah Literasi FUAD IAIN Pontianak. Lulusan Program Doktoral ATMA Universiti Kebangsaan Malaysia, pada bidang etnolinguistik.

jalan bintang mas kubu raya

Doktor, Dokter dan Jalan Rusak Bintang Mas

IMG 20171130 052748 062

Internship at AFS Germany 18+ Program Department