Oleh: Wajidi Sayadi
Judul dan materi ini disampaikan dalam Webiner dengan tema: “Pancasila dan Kerukunan Umat Beragama”.
Sebagai narasumber bersama Dr. KH. As’ad Said Ali mantan Wakil Ketua Umum PBNU, Gubernur Kalimantan Barat, Kapolda, Pangdam XII Tangjungpura, Ka. Kanwil Kementerian Agama, Ketua FKUB, Keuskupan Pontianak/KWI, PGIW, Walubi, Matakin, dan PHDI Kalimantan Barat. Saya sendiri wakil ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Kalimantan Barat, mewakili MUI.
Ada dua hal yang saya sampaikan dalam forum ini:
PERTAMA, Pancasila sebagai puncak kearifan kebangsaan nasional, sudah disepakati dan sudah final. Titik.
Missi utama kehadiran Islam adalah Rahmatan lil ‘Alamin, (QS. al-Anbiya’: 103) Islam sebagai rahmat, kasih sayang untuk SEMUA semesta alam. Bagaimana cara mengimplementasikan missi Rahmatan lil ‘Alamin ini?
Para ulama merumuskan kaedah Maqashid Syariah, artinya tujuan penetapan hukum syariat. Seluruh tatanan hukum dalam Islam; hukum haram, hukum wajib, hukum sunnat, hukum makruh, dan hukum mubah, semuanya bermuara pada tujuan untuk menolak segala kemudaratan (bahaya) dan mendatangkan kemaslahatan (درء المفاسد وجلب المصالح).
Dalam konteks berbangsa dan bernegara, maka Pancasila sudah sangat tepat disepakati sebagai dasar negara dengan kaedah Maqashid Syariah, untuk menolak segala kemudaratan dan mendatangkan kemaslahatan (درء المفاسد وجلب المصالح).
Tidak bisa dibayangkan bangsa Indonesia yang sangat plural, majemuk terdiri dari 1.340 suku, 17.480 pulau, dan 546 bahasa tanpa dasar yang merekat dan mempersatukan mereka, maka sangat bisa terpecah-pecah, maka dengan Pancasila, kemudharatan bisa ditolak dan kemaslahatan dalam berbangsa dan bernegara bisa diselamatkan. Maka itulah sebabnya Pancasila sebagai puncak kearifan kebangsaan nasional nasional dan dasar negara sudah Final. Titik.
Dalam bahasa Islam, sudah muttafaq ‘alaih (sudah disepakati), yakni kesepakatan kebangsaan, sudah Qath’i dalam istilah Ushul fiqh.
Pancasila sebagai puncak kearifan kebangsaan nasional, karena Pancasila pemersatu dan perekat seluruh keragaman yang ada pada diri anak bangsa Indonesia yang sangat plural, majemuk, dan beragam dari berbagai sisi kehidupan.
Seluruh elemen anak bangsa ini, apapun agama, suku, dan latar belakangnya semuanya merasa aman dan nyaman dengan Pancasila.
KEDUA, Implementasi Pancasila dalam kerukunan kebangsaan, khususnya kerukunan antarumat beragama.
Masalahnya, sekarang, bukan pada Pancasilanya, tapi pada Implementasinya.
Bagaimana implemetasi Pancasila dalam berpolitik, pendidikan, ekonomi, sosial, budaya, dan seluruh aspek kehidupan kita dalam berbangsa dan bernegara.
Salah satu implementasi Pancasila adalah kerukunan kebangsaan, rukun sesama anak bangsa, rukun sesama dalam penganut agama yang sama, rukun antar penganut agama yang berbeda, dan rukun penganut agama dengan pemerintah.
Sila Pertama Pancasila; Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam ajaran Islam dinilai sesuai dengan prinsip
قل هو الله أحد (Katakanlah, Allah itu maha Esa).
Sila pertama ini( menjiwai seluruh sila dalam Pancasila. Oleh karena itu, dengan Sila pertama ini sangat jelas bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang beragama, maka setiap ajaran apapun dan dari mana pun apalagi komunis yang anti agama sangat jelas dan tegas bertentangan dengan Pancasila, tidak boleh ada, dan tidak boleh diadakan di Indonesia.
Dalam konteks mewujudkan kerukunan antar umat beragama, ada beberapa hal yang perlu dilakukan antara lain.
1. Memelihara prinsip kebebasan beragama.
Dalam Islam, al-Qur’an sudah tegas:
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ
(Tidak ada paksaan dalam menganut agama, QS. al-Baqarah: 256).
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
(bagi kamu agama kamu, bagiku agamaku, QS. al-Kafirun: 6).
Dalam implemetasi dan prakteknya disebutkan dalam Piagam Madinah, Konstitusi Madinah: Pasal 26: “… Bagi kaum Yahudi diberi kebebasan menjalankan agamanya, dan bagi umat Islam diberi kebebasan menjalankan agamanya. (وأن يهود بني عوف أمة مع المؤمنين لليهود دينهم وللمسلمين دينهم)
2. Memahami dan menghormati identiatas, simbol dan ajaran setiap agama.
Dalam al-Qur’an, Allah melarang:
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ
Dan janganlah mencaci maki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan mencaci maki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. (QS. al-An’am: 108).
3. Mengedepankan persamaan dan persaudaraan
Dalam Piagam Madinah pasal 1: Sesungguhnya mereka (warga negara Madinah) adalah satu umat (bangsa), bebas dari kekuasaan) manusia lainnya. (أنهم أمة واحدة من دون الناس).
Pasal 18: وأن كل غازية غزت معنا يعقب بعضها بعضا
(Setiap penyerangan yang dilakukan terhadap kita (negara) merupakan penyerangan terhadap semuanya, antara satu golongan dengan golongan lainnya harus saling memperkuat).
Demi kepentingan negara yang lebih besar, maka seluruh identitas dan perbedaan harusnya lebur dalam satu kepentingan yang sama, yaitu untuk negeri NKRI.
4. Membangun komunikasi dan bahasa yang santun dan beradab
Dalam al-Qur’an diajarkan dengan bahasa dan komunikasi yang santun dan beradab sesuai dengan konteksnya masing-masing:
Ada bahasa قَوْلاً بَلِيغًا (qaulan balighan) artinya perkataan yang berbekas pada jiwa mereka (QS. an-Nisa: 63),
قَوْلاً لَيِّنًا
(qaulan layyinan) artinya kata-kata yang lemah lembut (QS. Thaha, 20: 44),
قَوْلاً مَعْرُوفًا
(qaulan ma’rufan) artinya kata-kata yang ma’ruf, sopan, dan terhormat (QS. al-Baqarah: 235)
قَوْلاً سَدِيدًا
(qaulan sadidan) artinya perkataan yang benar dan tepat sasaran (QS. an-Nisa: 9),
قَوْلاً كَرِيمًا
(qaulan kariman) artinya perkataan yang mulia, penuh kebaikan dan kehormatan (QS. al-Isra’: 3),
dan قَوْلاً مَيْسُورًا (qaulan maysuran) artinya perkataan yang mudah, tidak menyinggung perasaan, membangkitkan harapan dan semangat optimisme (QS. al-Isra’: 28).
Banyak masalah tidak bisa diatasi, bahkan justru memunculkan masalah baru, karena faktor bahasa dan komunikasi yang buruk, apalagi dengan bahasa emosional, sentiment, dan fitnah.
Semoga.
Pontianak, 22 Juni 2020