Oleh: Turiman Fachturahman Nur
(Peneliti Sejarah Hukum Lambang Negara Republik Indonesia)
Sejalan dengan hasil persetujuan Roem-Royen, wakil-wakil negara federal (BFO) oleh Sultan Hamid II akan diikutsertakan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) yang akan diadakan di Den Haag. Kemudian disetujui pula pembentukan suatu “Komisi Persiapan Nasional”, yang terdiri atas wakil-wakil Republik Indonesia dan BFO yang bertujuan “mengorganisir semua persiapan dan kegiatan yang harus dikerjakan selama atau setelah Konferensi Meja Bundar, suatu organ pusat dalam memelihara hubungan antara Republik Indonesia dan BFO.” Selain itu, BFO juga memperjelas dukungannya terhadap tuntutan RI untuk melaksanakan suatu penyerahan secara nyata dan tanpa syarat atas kedaulatan Indonesia dari tangan Belanda.
Di sisi lain, arti penting diadakannya Konferensi Inter-Indonesia adalah menghilangkan segala kecurigaan dan keraguan yang tercipta akibat pengalaman di masa lalu antarmasing-masing pihak. Keputusan penting dari hasil konferensi ini adalah bahasa resmi dari negara RIS yang akan dibentuk ialah bahasa Indonesia dan bendera nasionalnya ialah Merah Putih. Konferensi ini secara jelas menentukan warna dan pendirian pesertanya untuk menjadi alat pamungkas terhadap segala usaha untuk memecah belah, baik yang datang dari luar maupun dari dalam. Konferensi antara Indonesia ini juga menjadi salah satu persiapan untuk diadakannya Konferensi Meja Bundar di Den Haag nanti.
Hal yang terpenting dari starting point ke tiga dari perjuangan diplomatik Sultan Hamid II adalah Konferensi Meja Bundar (KMB). KMB berlangsung sejak 23 Agustus–2 November 1949 diketuai oleh Perdana Menteri Belanda, Drees. Konferensi ini dihadiri oleh delegasi Belanda yang dipimpin oleh Maarseveen, pihak Indonesia oleh Mohammad Hatta, BFO oleh Sultan Hamid II, serta UNCI yang bertindak sebagai mediator. Penunjukan PM Drees disampaikan Ketua Delegasi Indonesia Moh Hatta di awal KMB.
Hasil KMB kemudian diserahkan kepada KNIP untuk diratifikasi. KNIP yang bersidang pada tanggal 6 Desember 1949 menghasilkan keputusan dengan 226 pro, 62 kontra, dan 31 meninggalkan sidang. Perundingan dalam Konferensi Meja Bundar menghasilkan naskah-naskah persetujuan yang secara lengkap mengatur hubungan antara Indonesia (RI dan BFO) dengan Belanda, yang pada intinya terbagi menjadi dua bagian: induk dan anak persetujuan
.
Ketentuan terpenting dalam persetujuan KMB adalah Piagam Penyerahan Kedaulatan, yang diartikan oleh Indonesia sebagai Piagam Pengakuan Kedaulatan. Piagam ini menetapkan penyerahan (baca: pengakuan) kedaulatan selambat-lambatnya tanggal 30 Desember 1949 oleh Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS). RIS terdiri atas RI dan 16 negara bagian yang terdiri dari 8 negara bagian dan 8 daerah otonom, salah satunya adalah DIKB yang dibentuk 7 Mei 1947. Corak pemerintahannya diatur oleh Konstitusi yang dibuat oleh para delegasi RI dan BFO selama KMB berlangsung, atas dasar persetujuan yang dicapai oleh wakil-wakil kedua belah pihak dalam Konferensi Inter-Indonesia di Yogyakarta dan Jakarta.
Selain itu, dibahas pula mengenai status Uni Indonesia-Belanda. UniIndonesia. Belanda dibentuk dengan maksud untuk mengurus kepentingan bersama. Tentang Uni, yang terlihat secara nyata hanyalah adanya Sekretariat Bersama, yang terdiri dari sekelompok Menteri dari kedua belah pihak yang harus mengadakan sidang minimal 2 kali dalam setahun, dan adanya Mahkamah Arbitrase Uni.
Sidang-sidang tersebut bertujuan untuk memecahkan persoalan yang belum terselesaikan dalam KMB dan sebagai saluran untuk memecahkan persoalan-persoalan kepentingan bersama. Keputusan sidang hanya akan diterima secara bulat dan disahkan oleh parlemen kedua belah pihak. Dalam KMB diatur pula tentang kerja sama militer dan penarikan mundur pasukan Belanda ke luar Indonesia secepatnya, sementara KNIL akan direorganisasi (dinasionalisasi). Selain kedua hal di atas, KMB juga memperhatikan hak-hak milik orang asing di Indonesia.
Berdasarkan salah satu naskah KMB, RIS harus memulihkan hak-hak yang diberikan kepada orang asing oleh undang-undang India-Belanda pasal 131 IS. Hak-hak tersebut dapat diperluas atau diperpanjang asalkan tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan ekonomi RIS. Pengambilalihan dan nasionalisasi hanya boleh dilakukan dengan atau dasar undang-undang dan dengan ganti rugi.
Persoalan lain yang paling berat dirasakan oleh RIS adalah mengenai utang-piutang, di mana Belanda menuntut agar RIS menanggung utang India-Belanda sampai penyerahan kedaulatan. Namun, pihak RIS hanya mampu bersedia menanggung bagian hingga Maret 1942 sebab jika sampai 1949 berarti RIS harus membiayai sendiri penyerangan-penyerangan yang dilakukan Belanda terhadap RI.
Indonesia kemudian meminta bantuan kepada UNCI, tetapi Cochran (Amerika Serikat) memaksa agar ia diterima sebagai satu-satunya orang dalam UNCI dengan putusan yang merugikan RIS tersebut. RIS terpaksa menerima kehendak Cochran dengan pertimbangan bahwa AS berjanji akan membantu pembangunan ekonomi Indonesia bila RIS menerima usulannya tersebut.
Apabila RIS menolak usulannya tersebut, maka AS tidak akan membantu RIS dalam hal utang-piutang. Permasalahan lain yang dianggap berat oleh RIS adalah mengenai Irian Barat. Masalah Irian Barat bukan sekadar alasan ekonomi sebab Belanda menganggap bahwa ditahannya Irian Barat sebagai bukti bahwa Belanda masih memiliki kekuatan di Asia.
Akhirnya UNCI turun tangan dan dalam Piagam Penyerahan, masalah Irian Barat ditunda satu tahun untuk dibicarakan lebih lanjut.
Tanggal 15 Desember 1949 diadakan pemilihan presiden RIS dengan calon tunggal Ir. Sukarno, yang kemudian terpilih sebagai presiden pada tanggal 16 Desember 1949 dan tanggal 17 Desember 1949 diambil sumpahnya sebagai Presiden RIS di Siti Hinggil Keraton Yogyakarta yang disaksikan oleh Sultan Hamid II mewakili BFO. Pada 20 Desember 1949 kabinet RIS yang pertama di bawah Perdana Menteri Moh. Hatta, dan dalam Kabinet RIS inilah Sultan Hamid II ditetapkan menjadi menteri negara, yang kelak dipercayakan oleh Soekarno untuk merancang Lambang Negara RIS berdasarkan pasal 3 ayat 3 Konstitusi RIS 1949, inilah sumbangsih Sultan Hamid II dalam bentuk simbol persatuan yang hingga kini kita pergunakan. Selain Lambang Negara juga bertugas menyiapkan gedung Parlemen RIS. Kemudian time line sejarah tibalah hari hal yang bersejarah puncak perjuangan Sultan Hamid II dalam mendukung kemerdekaan RI penuh, yakni Penyerahan Kedaulatan di Belanda. * (Bersambung)