Oleh: Turiman Fachturahman Nur
(Peneliti Sejarah Hukum Lambang Negara Republik Indonesia)
Pada tanggal 23 Desember 1949, Hatta beserta anggota delegasi RIS, seperti Supomo, Sultan Hamid II, Soeparmo, Kusumah Atmadja, Sukiman, Soejono Hadinoto, A.K. Pringgodigdo, Muhammad Yahya, Batangtaris, Mohammad Arifin, serta Jusuf Barnas berangkat ke Belanda untuk menghadiri upacara resmi penyerahan kedaulatan Indonesia yang dijadwalkan pada 27 Desember 1949. Upacara penyerahan kedaulatan tersebut dilaksanakan di Istana Op de Dam, Amsterdam yang dihadiri pula oleh Ratu Juliana. Mr. Prinsen yang menjadi sekretaris negara membacakan sebuah dokumen yang berjudul “AKTA PENYERAHAN DAN PENGAKUAN KEDAULATAN” sebagai berikut.
“Kami, Juliana, dengan anugerah Tuhan, Ratu Negeri Belanda, Prinses van Oranye-Nassau, dan seterusnya…. Pada hari ini, tanggal dua puluh tujuh Desember seribu sembilan ratus empat puluh sembilan, dalam sebuah upacara yang dilangsungkan di Istana Kerajaan di Amsterdam, Berdasarkan Pasal 211 Undang-Undang Dasar dan seterusnya …. Menetapkan: Dengan demikian, hari ini tanggal 27 Desember 1949, Penyerahan Kedaulatan, sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam Induk Persetujuan dengan Rancangan Piagam Penyerahan Kedaulatan yang terlampir, dinyatakan sah menurut hukum; Dengan demikian pada hari ini juga Uni Belanda-Indonesia, dengan kami sebagai kepala dan jikalau terjadi pergantian, pengganti kami sebagai pewaris Mahkota Kerajaan Negeri Belanda, antara Kerajaan Belanda dengan Republik Indonesia Serikat, dinyatakan sudah berlaku;
Selanjutnya semua ketentuan yang sudah disetujui, yang tercakup dalam Persetujuan Induk bab V dinyatakan berlaku; Memerintahkan: Membuat empat lembar dari akta yaitu, dua lembar dalam bahasa Belanda dan dua dalam bahasa Indonesia untuk kami tandatangani bersama semua menteri dalam kabinet; membuat dua lembar terjemahan dalam bahasa Inggris; satu lembar bahasa Belanda dan satu lembar bahasa Indonesia dengan satu lembar terjemahannya dalam bahasa Inggris disimpan oleh kabinet dan satu lembar bahasa Belanda dan satu lembar bahasa Indonesia dengan satu lembar terjemahan diserahkan kepada delegasi yang diutus Republik Indonesia Serikat menerima penyerahan kedaulatan, untuk disampaikan kepada presiden tersebut; supaya Departemen Kehakiman membuat tembusan-tembusan dari akta bahasa Belanda dan bahasa Indonesia; setelah disahkan dan ditandai, dikirimkan kepada Staaten Geneeral dan Dewan Pertimbangan Negara, gubernur wilayah Suriname dan gubernur daerah Kepulauan Antillen, masing-masing satu lembar bahasa Belanda dan satu lembar bahasa Indonesia.
Dibuat di Amsterdam pada tanggal 27 Desember 1949. Perdana Menteri, Menteri Urusan Umum Willem Drees, Menteri Negara J.R.H. van Schaik Menteri Daerah Seberang J.H. van Maarseveen, Menteri Negara Go tzen ,Menteri Kehakiman Wijers Menteri Dalam Negeri Teulings” kemudian pada sisi lain di Indonesia tercatat fakta sejarah hukum, yakni Penyerahan Kedaulatan di Jakarta.
Pada tanggal yang sama, 27 Desember 1949, di Jakarta juga berlangsung upacara penyerahan kedaulatan di mana Sri Sultan Hamengku Buwono IX didaulat menjadi ketua delegasi yang mewakili pemerintah RIS, sementara dari pihak Belanda diwakili oleh wakil tinggi Mahkota, A. H. J. Lovink. Upacara berlangsung di Istana Koningsplein (Istana Merdeka). Upacara yang dilaksanakan di Jakarta ini dihadiri pula oleh tamu-tamu luar negeri, seperti Pote Sarasin dari Thailand, senator Filipina, menteri perempuan dari India, duta besar Pakistan, dan lain sebagainya, yang ditandai dengan penurunan bendera Belanda dan menaikan Bendera Merah putih dan berkemundanglah Lagu Kebangsaan Indonesia Raya.
Selain Sultan Hamengku Buwono XI, dari delegasi Indonesia, tampak pula hadir Ide Anak Agung Gde Agung, Mohammad Roem, Mr. Kosasih Poerwanegara, Dr. Abu Hanifah, Arnold Mononutu, dan Kiai Haji Wahid Hasyim. Hadir pula anggota-anggota Pemerintah Federal Sementara. Sore harinya dibacakan protokol (seperti yang dibacakan di Amsterdam), yakni berupa pernyataan penyerahan kedaulatan atas nama kedua belah pihak. Wakil tinggi mahkota Belanda di Indonesia, Lovink bersama Sultan Hamengku Buwoono IX, membubuhkan tanda tangan pada Akta Penyerahan Kekuasaan Pemerintah di Indonesia. Diikuti pula oleh tanda tangan Ide Anak Agung Gde Agung, Mohammad Roem, dan Kosasih. Setelah penandatanganan dilakukan, rekaman suara Ratu Juliana yang sebelumnya sudah mengucapkan seruannya di Amsterdam dikumandangkan.
Upacara dilanjutkan dengan penurunan bendera Belanda yang digantikan dengan kenaikan bendera Merah Putih diiringi lagu kebangsaan Indonesia Raya. Pada tanggal 30 Desember 1949, Komisaris Tinggi Belanda di Jakarta, Dr. Hirschfeld, menyerahkan surat kepercayaan kepada Presiden Sukarno. Permulaan tahun 1950 banyak negara besar yang memberikan pengakuan secara de jure terhadap Indonesia, termasuk Amerika Serikat. Lima bulan kemudian, Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina melakukan hal serupa dan pada tahun yang sama Indonesia menjadi anggota PBB ke-60.
Berdasarkan timeline sejarah hukum di atas, tidak bisa dinafikan perjuangan diplomatik Sultan Hamid II sebagai diplomat yang ulung, sebagai ketua BFO, dan Kepala DIKB sebagai satuan kenegaraan yang berdiri sendiri. Otonom sebagaimana diabadikan pada pasal 2 b Konstitusi RIS 1949.
Patut diketahui, bahwa Sultan Hamid II telah menggabungkan DIKB ke negara kesatuan Republik Indonesia dalam wadah RIS sebagai mendukung kemerdekaan RI, sehingga 16 negara bagian yang terdiri dari 8 negara bagian dan 8 daerah otonom salah satunya adalah DIKB resmi melebur dalam RI.
Fakta sejarah hukum DIKB inilah yang tidak muncul dalam sejarah nasional. Patut direkontruksi sejarah hukumnya. Perlu dibaca secara cermat konsideran menimbang dari Undang-Undang Darurat Nomor 2 Tahun 1953 yang disahkan di Jakarta, pada tanggal 24 September 1960 yang dikeluarkan oleh Presiden RI Soekarno, menyatakan, “Bahwa sejak terbentuknya Negara Kesatuan,berhubung dengan telah diselenggarakannya pembentukan sementara dari daerah-daerah otonom kabupaten dan yang setingkat dengan kabupaten di beberapa wilayah di Kalimantan menurut Keputusan Gubernur Kalimantan tanggal 14 Agustus 1950 Nomor 186/OPB/92/14, demikian pula berhubung dengan desakan-desakan dari masyarakat, sekarang perlu segera dibentuk Propinsi Kalimantan yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri”
Secara historis Provinsi Kalimantan Barat, sebagai bagian provinsi di Kalimantan dibentuk dengan Keputusan Gubernur Kalimantan tanggal 14 Agustus 1950 Nomor 186/OPB/92/14 dan desakan desakan dari masyarakat agar segera dibentuk Provinsi Kalimantan yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri (otonom), namun ada norma yang menegaskan di dalam UU Nomor 2 Tahun 1953 pada pasal 1:
Pasal 1 ayat (1): Daerah Propinsi Kalimantan yang bersifat administratif seperti dimaksud dalam Peraturan Pemerintah RIS No. 21 tahun 1950, dan yang meliputi karesidenan-karesidenan Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat, dibentuk sebagai daerah otonom “Propinsi Kalimantan”, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan Undang-undang nomor 22 tahun 1948, yang dalam Undang-undang Darurat ini selanjutnya disebut “Propinsi”.
Jika kita menyitir Peraturan Pemerintah RIS Nomor 21 Tahun 1950 Tentang Pembentukan Provinsi yang ditetapkan pada tanggal 16 Agustus 1950, dalam konsideran mengingat, ada hal yang menarik dari sisi sejarah hukum dan hukum tata negara, yaitu: “Mengingat: a. Piagam-persetujuan Pemerintah Republik Indonesia Serikat dan Republik Indonesia pada tanggal 19 Mei 1950 dan pernyataan bersama tanggal 19-20 Juli 1950, dalam hal mana Pemerintah Republik Indonesia Serikat bertindak juga dengan mandat penuh atas nama Pemerintah Negara Indonesia Timur dan Pemerintah Negara Sumatera Timur; b. Ketetapan dalam sidang Dewan Menteri pada tanggal 8 Agustus 1950”
Berdasarkan konsideran mengingat itu dapat ditelusuri jejak sejarah hukum pembentukan provinsi Kalimantan Barat,bahwa ternyata didasarkan pada tiga hal: 1/Piagam-persetujuan Pemerintah Republik Indonesia Serikat dan Republik Indonesia pada tanggal 19 Mei 1950. 2. Pernyataan bersama tanggal 19-20 Juli 1950. 3. Ketetapan dalam sidang Dewan Menteri pada tanggal 8 Agustus 1950”
Menarik untuk mencermati subtansi Pasal 1 PP Nomor 21 tahun 1950 yang menyatakan: “Daerah Republik Indonesia Serikat, sesudah terbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, terbagi atas daerah-daerah propinsi di bawah ini: 1. Jawa – Barat 2. Jawa – Tengah 3. Jawa – Timur 4. Sumatera – Utara 5. Sumatera – Tengah 6. Sumatera – Selatan 7. Kalimantan 8. Sulawesi 9. Maluku.
Jadi berdasarkan pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1950 di atas subtansinya umum tidak menyebut provinsi Kalimantan Barat, tetapi Kalimantan secara umum, padahal fakta sejarah/de fakto dan secara de jure Kalimantan Barat pada masa itu masih berbentuk Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB), sejak tahun 1947 sebagai satuan kenegaraan yang berdiri sendiri di bawah Konstitusi RIS, 1949 dan yang lebih menarik dari sisi hukum tata negara, bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1950 ini berlaku surut, sebagaimana dinyatakan pada pasal 3 yang menyatakan: “Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal terbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Ini jelas berlaku surut yang secara hukum tata negara.
Pernyataan normatif pasal 3 tersebut di atas, secara tidak langsung, atau secara diam-diam DIKB sebagai Satuan Negara yang berdiri sendiri dan berdaulat diberlakukan secara berlaku surut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1950 pada tanggal 17 Agustus 1945 yakni negara 17 Agustus 1945, ini bertentangan dengan Konstitusi RIS 1949, karena berdasarkan Undang-Undang 1949 Nomor 11 (11/1949) Pengesahan Konstitusi Republik Indonesia Serikat.
Presiden Republik Indonesia dalam konsideran menimbang : menyatakan, bahwa pada tanggal 29 Oktober 1949 dalam persidangan di kota Scheveningen, yang dilangsungkan oleh Delegasi Republik Indonesia dan Delegasi Pertemuan untuk Permusyawaratan Federal (Bijeenkomst voor Federaal Overleg); Kedua Delegasi itu telah membubuhkan tanda-tangan parap pada Piagam Persetujuan, menyetujui naskah Konstitusi Republik Indonesia Serikat yang dilampirkan pada Piagam itu.
Pasal 1 Undang-Undang 1949 Nomor 11 (11/1949) Pengesahan Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Menyatakan: “Mengesahkan dan menerima baik Konstitusi Republik Indonesia Serikat, yang padanya termaktub mukadimmah, Pasal 197 bersama-sama lampiran pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan menurut pasal 51 konstitusi itu. Pasal 2. Undang-Undang ini mulai berlaku pada hari diumumkan. Ditetapkan di Yogyakarta pada tanggal 14 Desember 1949. Presiden RI Soekarno, dan Perdana Menteri RI Mohammad Hatta.
Pasal 51 ayat (1) Konstitusi RIS, 1949: “Penjelenggaraan-pemerintahan tentang pokok-pokok jang terdaftar dalam lampiran konstitusi ini dibebankan semata-mata kepada Republik Indonesia Serikat.
“Pasal 51 ayat (2) Konstitusi RIS, 1949 Konstitusi RIS 1949 Daftar lampiran penjelenggaraan-pemerintahan jang tersebut dalam ajat (1) diubah, baik atas permintaan daerah-bagian bersama-sama ataupun atas inisiatip pemerintah federal sesudah mendapat persesuaian dengan daerah-daerah-bagian bersama-sama, menurut acara jang ditetapkan dengan undang-undang federal”
Pasal 197 (1) Konstitusi RIS, 1949; Konstitusi ini mulai berlaku pada saat pemulihan kedaulatan. Naskahnya diumumkan pada hari itu dengan keluhuran menurut cara jang akan ditentukan oleh Pemerintah.
Pasal 197 (1) Konstitusi RIS, 1949 (2) Djikalau dan sekadar sebelum saat jang tersebut dalam ajat (1), sudah dilakukan tindakan-tindakan untuk membentuk alat-alat -perlengkapan Republik Indonesia Serikat dan untuk menjiapkan penerimaan kedaulatan, sekaliannja atas dasar ketentuan-ketentuan Konstitusi ini, maka ketentuan-ketentuan itu berlaku surut sampai pada hari tindakan-tindakan bersangkutan dilakukan. Berdasarkan norma konstitusional Pasal 197 Konstitusi RIS 1949 secara yuridis konstitusional: Pertama, Konstitusi RIS berlaku sejak pemulihan kedaulatan, berarti 27 Desember 1949. Kedua, Pemberlakuan Surut ketentuan Peraturan Pemerintah RIS dalam hal ini PP No 21 Tahun 1950 di atas, berlaku surut sampai pada hari tindakan-tindakan bersangkutan dilakukan.
Pertanyaannya kapan tindakan penyerahan kedaulatan RI ditanda tangani, yaitu sejak 27 Desember 1949 di KMB. Berarti secara logika hukum tata negara, pernyataan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 1950 yang menyatakan: “Daerah Republik Indonesia Serikat, sesudah terbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, terbagi atas daerah-daerah propinsi di bawah ini: yang salah satunya pada angka 7 yaitu Kalimantan. Jelas bertentangan dengan Pasal 2 huruf b Konstitusi RIS 1949 yang menyatakan Satuan Kenegaraan yang berdiri sendiri di luar Republik Indonesia, pasal 2 huruf a Konstitusi RIS 1949 ( Negara Republik Indonesia 17 Agustus 1945), jelas yang dimaksudkan oleh pasal 2 b Konstitusi RIS salah satunya adalah DIKB.
Demikian juga norma hukum tata negara dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1950 ini berlaku surut, sebagaimana dinyatakan pada pasal 3 yang menyatakan: “Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal terbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Norma ini jelas menyimpang dari maksud Pasal 197 Konstitusi RIS itu sendiri. Kemudian berkaitan dengan Pasal 197 bersama-sama lampiran pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan menurut pasal 51 konstitusi itu, maka dapat dilihat lampiran Pasal 51 mengatur tentang subtansi, apakah termasuk amanah pembentukan provinsi di Kalimantan. * (Bersambung)