Oleh: Nur Iskandar
“Nur masih ade ndak buku biografi politik Sultan Hamid II?” begitu bunyi suara Sekda Kalbar Drs HM Zeet Hamdy Assovie, MTM menelepon saya di suatu pagi menjelang siang akhir tahun 2013. Langgam Melayu Pontianaknya cetar membahana badai.
“Wah sabar lok ye, cobe saye cek di rak buku. Kalo’ tak salah dah habes dibagi saat launching buku di PCC (Pontianak Convention Centre) dan sampai sekarang belom dicetak ulang.” Begitu saya menerawang. Balas beraksen Ponti-city.
“Care’a lok. Perekse agek. Kalo’ dapat cepat datang ke sinek. Bawa bukunye.”
“Ade ape Pak acam genteng (genting) benar? Bapak dimane ni?”
“Di ballroom Kapuas Palace. Agik same dosen Lambang Negara dari Kemenpan-RB. Agek makan ni, cepatlah sinek!”
Saya yang sedang di kantor redaksi Harian Borneo Tribune segera periksa rak buku di lemari pustaka, memang tak ada. Pesai sudah buku ini karena dicari-cari banyak kawan dan kalangan. Banyak stok yang saya sayang-sayang buat hadiah kalau memberikan materi diklat jurnalistik ludes. Saya pun berdesut pulang ke rumah dari kawasan kantor perempatan Jl Purnama – Pinangsia ke Kompleks Purnama Agung VII. Tidak jauh memang, tapi saya berkelahi dengan waktu lantaran orang penting wanti-wanti menunggu.
Sepanjang di atas motor saya membuka ingatan masih ada gak ya bukunya? Rasanya masih ada 1. Buku semata wayang yang benar-benar hanya tinggal punya saya sebagai penulis. Masak penulis tak ada simpan barang sebuah buku pun?! Sak rasa di hati, tapi harus juga diberi. Apalagi terselip kalimat Pak Sekda, “Berape hargenye, nantek Aku ganti…”
Wah. Payah. Pak Sekda orang baik. Dia banyak mempermudah upaya penulisan hingga pameran beruntun tiga bulan tentang Sang Perancang Lambang Negara, bahkan membuka pameran di Gedung Arsipda dalam rangka peringatan Hut RI 17 Agustus 2013 hingga Hut Kota Pontianak 23 Oktober 2013 pasca launching buku biografi politik Hamid. Ia alumni S2 Australia yang juga tak lain tak bukan negeri persemakmuran/commonwealth/atawa federal.
Ingatan saya tak meleset. Memang masih ada 1 buku di lemari pustaka pribadi. Begitu jejak di tangan, segera saya bolak-balik apakah di antara hampir 600-an halaman buku tersebut ada secarik kertas oret-oret saya yang terselip. Maklum jurnalis alias wartawan terbiasa oret-oret info dan ditaroh di mana-mana terutama di buku yang sedang dicinta, apalagi dibedah di berbagai acara media, atau bersama sejawat kawula muda.
Yamaha hitam saya pacu dari Purnama Agung VII ke pusat niaga Bumi Khatulistiwa Jl Gajahmada. Daerah Pecinan.
Fokus mata pada peta jalan di otak dus, menusuk masuk Hotel Kapuas Palace. Saat itu jam di pergelangan tangan menunjukkan angka 10 lewat. Saya segera mencari lokasi kosong parkir motor, dan sejauh mata memandang di lokasi halaman parkir penuh kendaraan roda empat. Sebagian besar plat merah. Memang biasa begini jika ada acara pemerintah.
Saya segera masuk pintu utama. Melangkah ke ruang lobby yang megah seraya mencari-cari masih di ruang Ballroom atau manakah mereka? Rupanya pembukaan acara telah selesai dilakukan Sekda dari Function Hall, dan kini sedang rehat di resto.
Rupanya sama dengan saya yang sedang menebar pandang mencari-cari sosok penelepon. Maka yang order buku juga awas pada titik pintu masuk resto dari lobby yang luas berplafon tinggi hampir 30 meter itu. Tangannya melambai di ketinggian sehingga tampak dari kerumunan orang mengelilingi meja-meja bundar, di mana ratusan pegawai sedang menikmati juadah rehat plus ciak kopi atau teh panas.
“Nooor, sinek…” Suara Sekda setengah berteriak. Beliau memang ceplas-ceplos. Orangnya periang. Juga pencerita kelas wahid. Jika bersamanya bisa meledak-ledak tawa kita. Ada ada saja kisahnya. Termasuk sejarah.
Saya segera merudu meja VIP itu. Tabek-tabek beruluk salam.
Kepada tamu pentingnya, Sekda mempersilahkan saya duduk di sebelahnya. Kemudian saya diperkenalkan sebagai wartawan, satu dari tiga penulis buku biografi politik Sultan Hamid disamping seorang dosen hukum Untan (Turiman Faturahman Nur) dan Ketua Yayasan Hamid (Anshari Dimyati). Di hadapan saya juga diperkenalkan seorang dosen dari Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB), namanya Mahendra Petrus.
Buku biografi Hamid saya buka dari tas dan berpindah tangan ke Sekda. Dari Sekda diserahkan ke Mahendra Petrus.
“Pak Mahendra mau baca sampai tuntas. Beliau juga tertarik untuk meneliti sejarah Sultan Hamid terkait beliau aparatur sipil pengajar ASN tentang naskah/dokumen dinas dan lambang negara.”
Kami ngopi. Saling bertukar cerita. Dan tentu saja berbagi nomor kontak.
Kami berpisah karena acara harus segera dimulai dan Sekda akan bergerak ke acara lainnya yang harus dia hadiri di lain tempat. Saya tak berusaha mengingatkan bahwa Sekda super sibuk ini lupa kasih ganti cetaknya hehehe.
Telepon Nokia Communicator saya berdering. Saya tengok kembang-kempis aksara terbaca Om Max. Saya angkat. “Oi Nooor. Kau ade jumpe Mahendra kah? Di Kapuas Palace? Semalam?”
“Oiya Om. Ada. Minta buku Sultan Hamid.”
“Iye. Memang Om kasih tahu, kalo ke Pontianak kontak jak Nuris. Die wartawan. Salah satu penulis buku Hamid. Syukorlah kalok dah ketemu. Tros dah kau kasikkan bukunye?”
“Udah Om. Buku semata wayang. Dah habes. Ana pon dah tak megang kecuali softcopy di laptop.”
“Nantek kite cetak agek. Biar cetak terbatas.”
Max Jusuf adalah sekretaris pribadi Sultan Hamid. Ia tinggal di Jakarta kawasan Jeruk Purut. Rumahnya sederhana yang dari teras depan nampak menara ESQ 165 yang bertuliskan kalimah Allah dan merupakan bagian mesjid. Tak jauh dari gang sempit sebelah rumahnya ada pemakaman muslim yang luas.
Max sehari-hari bekerja sebagai orang media. Dia adalah orang Kalbar yang berkhidmat di ibukota. Sebagai pusat informasi dan bisnis dia beroleh akses untuk terima order iklan bagi radio dan koran di Jakarta. Hal itu mudah dia lakukan karena dia aktif di PRSNNI maupun wakil Akcaya atau Pontianak Post di DKI Jaya.
Saya mengenal Max Jusuf secara dekat sejak 1997 ketika saya menjadi reporter di Radio Volare. Sebab dia setiap kali terbang ke Pontianak selalu ada waktu ke studio di kawasan Jalan Sumatera No 28 Pontianak. Pemilik kepala plontos ini suka kasih masukan soal penggunaan kata Bujang Dara yang seharusnya disebut Bujang Dare pakai e. Ia orang vokal dan suka mengkritik. Katanya, itu warisan Sultan Hamid, kakeknya sekaligus gurunya.
“Orang Kalbar aros diritik supaya maju. Siape yang suke terima kritik die cepat sukses. Kalo pendek tongkeng, ‘a tekesop dari kemajuan.” Begitu bahasa keramatnya kalau berkhutbah kasih petuah.
Max Jusuf sebenarnya sudah saya kenal lebih surut ke belakang. Sejak usia SD. Sejak saya bisa baca koran. Yakni Koran Masuk Desa masa Orba. Nama Max Jusuf ada di dalam boks redaksi. Tapi baru sekali dua kali jumpa di tahun 1992 ketika saya mulai menjadi aktivis pers kampus di Tabloid Mahasiswa Mimbar Untan. Ada sahabat di Mimbar Untan yang sudah jauh lebih awal mengenalnya yakni Syafaruddin Usman. Lewat Syaf saya mengenal figur Max lebih dekat, karena Syaf selain aktif di Mimbar Untan dia juga “dihire” Akcaya Pontianak Post sebagai wartawan. Akcaya milik Pemprov Kalbar kemudian dibeli Dahlan Iskan big boss Jawa Pos.
Sejak kenal dekat di masa itu, setiap kali Syaf dikirimi bahan berita atau naskah sejarah, saya juga dapat dari Om Max. Termasuk sekali dua kali dengar nama Mahendra Petrus dari Om Max.
Dari Jeruk Purut saya dapat buku kisah peradilan Sultan Hamid yang diterbitkan Kejaksaan Agung dengan nama penerbit “Persadja” dan judul bukunya Peristiwa Sultan Hamid II. Ketika dikirimi buku itu via pos, terus terang ogah saya baca. Untuk apa dibaca, buang-buang waktu. Toh Sultan Hamid II adalah pelaku makar. Pemberontak. Pengkhianat negara. Saya tahunya begitu karena itu yang saya baca dalam buku 30 tahun Indonesia Merdeka kala SMP. Buku empat seri yang saya miliki dari hadiah lomba baca puisi di Gedung Taman Budaya kala masuk SMP tahun 1986 memperingati Hut 17 Agustus 1945-17 Agustus 1989.
Mata saya terbelalak saat bersama Syafaruddin Usman dan Sri Nur Aeni bertakziah ke kediaman Al Ustadz Almukarram KH Asfiyah Mahyus di pinggir jalan utama beberapa ratus meter sebelum sampai Istana Kesultanan Qadriyah Pontianak, Pontianak Timur. Saat itu tahun 1994, kami sedang menyiapkan laporan utama menyongsong Hut Emas NKRI, 17 Agustus 1995. Sebuah naskah pengakuan sang perancang lambang negara Garuda Pancasila seperti yang kita kenal sekarang ini adalah buah karya Paduka Jang Moelija Sultan Hamid Alkadrie. Bak disambar petir halilintar di siang bolong. Pengakuan datang dari orang nomor satu Indonesia Soekarno.
Kami bertiga bergegas pulang ke Gedung Rektorat Untan. Lapor dengan Kepala Humas, Drs Suryadi Suwinangun. Dan dari Beliau kabar menyebar sampai ke Rektor, Prof H Mahmud Akil, SH. Rektor pun terkejut dan memanggil kami. Cross check copy dokumen dari almarhum yang tak lain dan tak bukan selain juru dakwah adalah kolektor barang-barang bersejarah. Asfiyah Mahyus juga adalah sohib ayah saya yang bekerja di Departemen Agama, dan Beliau, Pak Asfiyah ahli pantun. Kalau berceramah tak akan bosan, karena pantunnya sambung menyambung dari yang keras, sampai lucu dan kocak. Gigi serinya renggang-renggang. Orangnya humoris. Wafat mendadak setelah bersikeras melakukan pameran benda bersejarah dan hendak mewujudkan Museum Peradaban Islam Pontianak. Niat hebat Beliau yang sampai kini tak ada penerusnya…
Satu pantun yang khas darinya saya masih ingat: Bukan kurma sembarang kurma, ini semua kurma madinah, bukan ceramah sembarang ceramah, ini ceramah semua bernilai ibadah. Hadirin pun tersenyum senang dibuatkannya. Alfatihah.
Syafaruddin Usman anak muda pecinta sejarah. Kini dia menjadi Ketua DHD 45 di Kalimantan Barat. Ia berhubungan dekat dengan Prof Dr Anhar Gonggong, Asvi Warman Adam, Fadli Zon dll. Dia orang hebat, narasumber sejarah di Kalimantan Barat yang ia warisi dari para tokoh DHD 45 sebelum-sebelumnya. Kami berkawan. Akrab.
Di saat mahasiswa dulu saya mendengar dari kisah-kisahnya soal para raja dan kesultanan Pontianak. Soal Peristiwa Mandor. Soal tewasnya ayahanda Hamid, yakni Sultan Muhammad di tangan fasisme Jepang (1942-1945). Darinya saya tahu bahwa Kalbar turut dalam pergerakan nasional merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Kami sama-sama ke Taman Makam Juang Mandor dan sama-sama memperjuangkan Hari Berkabung Daerah.
Sekedar catatan, bahwa Jepang melakukan genosida di Kalbar dengan jumlah korban 21.037 jiwa. Yang dibantai adalah para cerdik-cendikia. Lebih awal kisah pembantaian sadis ini dari Peristiwa Westerling di Makassar dengan jumlah sebanyak 40.000 nyawa. Syaf menulis buku diterbitkan Grup Gramedia berjudul Mandor Bersimbah Darah.
Terkait Peristiwa Westerling yang melibatkan nama Sultan Hamid, menurut awak media yang kini juga mengajar di prodi komunikasi Fisip Untan, tak terbukti bersalah. Baik pemberontakan APRA di Bandung, maupun Peristiwa Westerling di Makassar-Sulawesi Selatan. “Westerling dia tampar! Dia marahi karena kenapa membunuh saudara-saudaranya sebangsa setanah air tanpa sepengetahun dirinya?”
Sebagai jurnalis muda saya hanya mendengar dan tidak bisa konfirmasi kepada Sultan Hamid maupun Westerling apakah benar peristiwa penamparan itu. Kalau betul tentu tak patut mengait-ngaitkan Hamid dengan keganasan Westerling seperti tuduhan viral Prof Dr AM Hendropriyono, Youtube, 11 Juni 2020.
Namun belakangan saya tahu kalau Sultan Hamid memang suka menampar orang yang menurutnya salah. Salah seorang yang ditamparnya dengan telapak tangan dan punggung tangan adalah Van Mook, Gubernur Hindia Belanda! Kisah ini dituturkan oleh Baroamas Djabang Balunus Massuka Djanting, seorang tokoh muda yang menguasai adat Dayak khususnya Kapuas Hulu / Dayak Taman dan bersahabat dekat dengan Sultan Hamid kala diskusi terfokus di Pusdiklat TOP Indonesia (2013). Bahkan sampai akhir hayatnya Massuka Djanting masih menyimpan dengan rapi dua hadiah Hamid kepadanya, yakni gelas kaca bening beraksara Arab dan sebuah baju kaos tanpa kerah.
“Saya keramatkan dua benda ini sebagai kenang-kenangan terindah dari sosok putra daerah Kalbar yang luar biasa reputasinya,” katanya penuh aksentuasi menjelang diterbitkannya buku biografi politik Sultan Hamid II. FGD ini ajang cek silang data dan fakta yang saya, Anshari dan Turiman tuliskan.
Cerita Massuka Djanting bahwa Van Mook digampar menjelang upacara di kawasan Residen Pontianak yang kini Kantor Walikota. Sebabnya Van Mook merokok secara tidak sopan di depan Hamid yang punya disiplin militer tingkat dewa. Wajar dia punya karir cemerlang di bidang militer Breda-Belanda, dan warga pribumi pertama berpangkat Mayjen, sekaligus pengawal istimewa Ratu Wilhelmina.
Kejadian penamparan Van Mook ini di benak saya terbaca sebagai Hamid tidak merasa inferior atau rendah diri di hadapan warga kulit putih, Belanda. Pejabat Gubernur pula. Ia merasa setara. Bukan warga bangsa terjajah. Kisah “tempeleng” Van Mook ini menjadi penting karena seolah-olah ide federal yang dianut Hamid adalah titipan Van Mook semata-mata. Lalu Hamid diklaim pro Belanda. Yakni untuk kepentingan politik kekuasaannya sebagai raja atau Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB).
Peristiwa lainnya saya dengar langsung dari Sultan Abubakar Alkadrie. “Saya juga pernah ditampar Sultan Hamid dengan keras sekali sampai rontok gigi saya,” kata Sultan Kedelapan Istana Qadriyah Pontianak. Peristiwa itu terjadi di rumah pribadi Sultan Hamid di Jakarta.
“Saya ditampar karena saat malas belajar. Maklum masih muda,” kenangnya seraya menunjukkan posisi giginya yang copot itu. Selain saya ada Anshari Dimyati dan Turiman Faturahman yang melihat kosongnya gigi graham ini.
Sebuah paket diantarkan Pak Pos ke kediaman saya Kampoeng English Poernama. Tentu dikejar rasa ingin tahu siapa pengirimnya, dan apa isinya.
Rupanya dari Jeruk Purut. Dari Om Max Jusuf Alkadrie. Isinya sebuah buku. Judulnya Sejarah yang Hilang. Penulisnya Mahendra Putra. Diterbitkan Penerbit PT Kanisius. Sudah cetakan yang ketiga tahun 2017. Tebalnya 365 halaman. Cetakan pertamanya 2015 dan disusul kedua pada 2016. Ini buku teranyar tentang Hamid sepengetahuan saya.
Masya Allah sudah jadi buku Pak Mahendra Petrus pikir saya? Edisi ketiga pula.
Pada bagian cover depan diambil kutipan Hamid: “Saja dimaki-maki, ditjertja, diedjek sebagai pengkhianat negara…”
Pengantar pada buku ini begawan hukum Indonesia Prof Dr Adnan Buyung Nasution. Kredebilitas Buyung tidak diragukan, sebab pemilik rambut putih sehingga kerap dia melawak bahwa dirinya Golput (golongan berambut putih) adalah saksi mata persidangan Hamid. Kala itu Buyung masih remaja. Masih SMA. Namun dia belajar banyak soal hukum sejak saat itu. Ia mengaku di bagian pengantar, bahwa banyak sekali sisi positif Hamid yang dibenamkan dalam lumpur sejarah Indonesia. Ia menganjurkan hasil riset Mahendra Petrus dibaca banyak kalangan pecinta sejarah.
Dari buku ini saya amat sangat sadar, bahwa pernyataan Prof Dr AM Hendropriyono yang juga dibuzz oleh Denny Siregar hingga Permadi Arya tidak ada yang baru. Sebab Sultan Hamid sendiri konkret menyatakannya. “Saja dimaki-maki, ditjertja, diedjek sebagai pengkhianat negara…”
Karena tidak ada yang baru tidaklah kaget dan tidaklah naik darah demi mendengar suara Permadi Arya yang nadanya tinggi nyaris mencak-mencak. Justru teks di bawah mereka yang cuat-cuit bahwa Hamid adalah pengkhianat negara, tidak layak jadi Pahlawan Nasional makin menambah rusak akhlak kita sebagai anak-anak bangsa Indonesia kalau membaca tanpa cross-check data penelitian sejarah yang lurus-selurus-lurusnya.
Membaca komen miring, saya bergumam, agaknya kita macam kurang bersyukur bahwa ada peranan Hamid yang signifikan bagi kemerdekaan Indonesia, yakni pengakuan kedaulatan, pengakuan kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 melalui perannya sebagai Ketua BFO di KMB serta serangkaian perjanjian 1945-1949. Lebih tepatnya ketika para tokoh nasional lainnya tidak berdaya.
Demi membaca buku Mehendra Petrus yang saya kenal murni sebagai pengajar ASN sekaligus peneliti dokumen dinas serta Lambang Negara di mana tak ada kepentingan politik tertentu kecuali meluruskan sejarah lewat metode penulisan ilmiah, semakin saya ngeri. Jangan-jangan figur tertentu yang kita puja-puja selama ini sebagai pahlawan, ternyata dia adalah pecundang. Kemudian sosok yang kita hujat sebagai pengkhianat negara sesungguhnya adalah benar-benar pahlawan.
Saya ngeri dengan subjektivitas kelompok tertentu yang mencari popularitas dunia namun tak dikenal di langit. Saya lebih baik menulis apa yang saya tahu sebagai bentuk kontribusi kepada sejarah Bangsa Indonesia agar tidak tersesat atau disesatkan dalam membaca sekaligus memaknai sejarah. Kalaupun masing-masing manusia ada plus/minusnya, di sinilah makna kita belajar sejarah, untuk diambil hikmahnya. Untuk kedewasaan kita melangkah sebagai bangsa besar, bangsa yang tidak lupa akan sejarahnya.
Tadi malam, Rabu, 17 Juni 2020 saya, Ketua Yayasan Hamid – Anshari Dimyati, Muhammad Yaser Tsaifuddin, Untung Dwiyani dan Wawan menikmati kopi hitam di panggung Kampoeng English Poernama. Kami membahas perkembangan terkini dari pernyataan Prof Dr AM Hendropriyono yang terus viral, disambut cuitan FaceBook Denny Siregar maupun Permadi Arya. Rupanya kami semua sama, tidak terbakar api emosi demi membaca dan mendengar kalimat yang keras-keras, pedas-pedas. Termasuk kalimat bahwa pengusulan Sultan Hamid II adalah salah alamat. Bukannya ke Indonesia tapi ke Belanda. Masya Allah….
Bahkan ada yang mendoakan pengusul gelar pahlawan nasional untuk Hamid dicap sama-sama pengkhianat negara. Tak apa-apa. Kami tak bergeming karena kami punya temuan faktuil yang mau diapakan, memang begitu adanya. Kami hanya bersandarkan kepada perlundungan Allah SWT, seperti amanah leluhur Bangsa Indonesia di sila pertama, bahwa kita ini punya Tuhan Yang Maha Esa. Yang oleh Sultan Hamid dalam memberikan simbol, bukannya bintang bersudut lima, tetapi nur cahaya ilahiah. Pada nur cahaya ilahi ini kami mohon kekuatan dan kesabaran. Mohon diberikan petunjuk – pencerahan agar mampu melaksanakan nilai-nilai Pancasila yang luhur, yang dengan cahaya ilahiah itu kami bisa lebih beradab dalam kata-kata dan tindak-tanduk berkehidupan kebangsaan Indonesia, persis nilai universal di sila kedua Pancasila: kemanusiaan yang adil dan beradab. Kami bicara pelurusan sejarah adalah bicara sila kedua Pancasila yakni menegakkan keadilan dan keadaban.
Soal keadilan dan keadaban ini ada kisah menarik antara Sultan Hamid dan Bung Karno. Wabilkhusus saat Soekarno menjelang sakaratul maut. Kita tahu Soekarno diasingkan Soeharto dengan klaim Gestapu. Gugur 7 Pahlawan Revolusi. Keluarga batihnya dihambat untuk menjenguk dan merawat Sang Proklamator. Adalah Hamid Alkadrie, mantan Menteri Negara Zonder Porto Folio di masa Kabinet RIS yang sudah bebas dari tahanan–yang notabene ditahan di masa Soekarno berkuasa–datang mendampingi masa jaza’ alias sakaratul maut. Di kuping Sang Proklamator Hamid yang didampingi sekretaris pribadinya Max Jusuf Alkadrie membisikkan kata, “Bung saya minta maaf atas segala salah dan khilaf, dan kesalahan Bung juga sudah saya maafkan.”
Kisah sentimentil itu disampaikan Max Jusuf kepada kami. Juga dapat Anda simak di Chanel Youtube dengan judul Garuda Pancasila Indonesian Symbol sebuah episode sejarah bangsa yang menujukkan keadaban tingkat tinggi berupa maaf memaafkan. Bukannya tontonan saling cerca dan caci-maki. Benar-benar bukan keteladanan leluhur yang luhur.
Kisah Max, Bung Karno saat akhir hayat itu meneteskan air mata tanda Beliau mendengar. Kemudian turunan Nabi SAW dari trah Alkadrie ini membimbing kalimah syahadah. Hingga Bung Karno menghembuskan napasnya yang terakhir. Saya pikir ini episode indah dua sahabat di Kabinet RIS, sesama pejuang Indonesia Raya. Insya Allah keduanya husnul khatimah, di mana Bung Karno di akhir hayatnya wafat mengucapkan kalimah syahadah sedangkan Hamid Alkadrie wafat di kala Beliau sedang sujud, shalat magrib di Jakarta dan dimakamkan di makam keluarga Istana Kesultanan Qadriyah-Batulayang-Pontianak Utara. Alfatihah.
Saya pikir dengan keadilan dan keadaban kita bisa rekatkan “Persatuan Indonesia”. Mari kita pelajari sejarah dengan mengambil hikmah dan kebijaksanaannya. Bukan menang-menangan. Bukan pula tujuan akhir kami memperjuangkan Hamid sebagai pahlawan nasional sebagai hanya gelar pahlawan, sebab apalah arti gelar itu sebab yang bersangkutan pun telah lama tiada. Kalau pun masih hidup tak akan mau Hamid dihadiahi gelar pahlawan nasional, sebab pahlawan bukannya gelar yang dicari, tapi pengabdian tanpa pamrih buat negara dan bangsa yang kita cintai.
Pernyataan itu pula yang keluar dari Sultan Melvin Alkadrie maupun Mahmud Alkadrie yang melaporkan pencemaran nama baik atas AM Hendropriyono ke Mapolda Kalbar, 12/6/2020. Dapat dipahami. Dengan adil dan adab, dengan hikmat kebijaksanaan kita sebagai rakyat Indonesia insya Allah bisa mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, falsafah hidup dan idiologi kita, Pancasila. Semoga.
Pertemuan tadi malam di Panggung Kampoeng, Rabu, 17/6/20 sambil mereguk kopi hangat berbagi informasi soal perkembangan terkini meluruskan sejarah Hamid yang disebut Mantan Kepala BIN AM Hendropriyono sebagai pengkhianat negara. Meeting memutuskan bahwa kami akan membuat webinar yang bisa diikuti 100 orang secara terbuka. Insya Allah waktunya pada Sabtu, 20 Juni 2020 sejak pukul 09.00 sampai 12.00. Link dan pendaftarannya akan kami umumkan sebagai tanda bahwa kita semua ingin terbuka dan uji fakta.
Untuk ini kami minta tolong, bagi pembaca yang punya akses dengan Prof Dr AM Hendropriyono yang getol menolak pengusulan Sultan Hamid sebagai pahlawan nasional hendak kami tempatkan sebagai pemberi testimoni dari sisi fakta sejarah dari sudut pandang dan pengetahuannya bahwa Hamid pengkhianat. Kemudian kami juga akan berikan kesempatan kepada Yayasan Hamid untuk mendederkan fakta-fakta bahwa Hamid layak menjadi pahlawan nasional.
Insya Allah jika tidak ada aral melintang banyak tokoh Kalbar yang sudah menyatakan akan ikut menyimak di dalam 100 orang kuota tersebut. Juga sejumlah tokoh nasional sudah konfirmasi. Ikuti informasi selanjutnya. Tabarakallah. *