in

Surat Terbuka (tentang Sultan Hamid II) untuk Rakyat Jelata dan Para Pemimpin Negara Jelang HUT ke-75 Republik Indonesia Tercinta

WhatsApp Image 2020 08 05 at 09.25.08
Umbul-umbul yang terpasang dalam gerakan rakyat di bumi khaTULIStiwa dan merebak ke Kalbar serta belahan kepulauan Nusantara


Oleh: Nur Iskandar

Sultan Hamid, Beliau ‘rrruar’ biasa pengorbanannya bagi Bangsa dan Negara tercinta ini. Lahir dan dimakamkan di Kota Pontianak. 1913-1978. Ia figur pendiri Bangsa bersama Soekarno-Hatta di kala muda dan mengelola negara. Bersama Bung Karno sejak di ITB, lalu ia memperoleh beasiswa di Breda-Belanda, hingga merancang Lambang Negara Republik Indonesia dalam Kabinet RIS. Ia tokoh federalis yang kini diejawantahkan ke dalam struktur NKRI dengan bentuk parlemen bikameral, ada Dewan Perwakilan Daerah (DPD-RI) yang seyogianya memasang bendera yang melekatkan gambar Sultan Hamid sebagai tokoh pejuangnya. Berkatalah ilmuan demokrasi Chusnul Mar’iyah di pentas Indonesia Lawyers Club “Secara ketata-negaraan NKRI sekarang ini terus terang berbentuk presidensial rasa parlementer.” Begitupula analis ekonomi Indonesia Faisal Basri menegasikan federalis dengan otonomi yang hakiki. Otonomi sepenuh hati.

Sultan Hamid nyata merupakan Bapak Pemersatu Bangsa. Kaji perannya sebagai Sultan VII Qadriyah Pontianak yang kemudian memegang amanah sebagai Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) serta Ketua BFO se-Nusantara. Ia tinggalkan karir militernya di KNIL. Ia menggantikan ayahnya Sultan Moehammad–sultan ke-VI Qadriyah yang tewas dibunuh Dai Nippon – Jepang (1942-1944) dan jenazah ayahnya baru diketemukan pada tahun 1946.

Dalam kondisi duka, Sultan Hamid meroket cita nasionalisme kebangsaannya atas derita rakyat akibat penjajahan. Ia di umur muda ia berhasil memimpin 15 negara bagian seluruh Indonesia dan kasih bubuh tanda-tangan di KMB-Den Haag – Belanda dengan keberhasilan pengakuan kedaulatan dari Ratu Wilhelmina. Jika bukan karena kedekatan dan nasionalisme kebangsaan Indonesia dari hati nurani terdalam Sultan Hamid–kemudian KMB gagal–maka perang berkecamuk di Indonesia dengan Belanda serta sekutu-sekutunya. Pahlawan yang seangkatan dengannya–sudah harum namanya di Taman Makam Pahlawan–mungkin tak sempat bernapas menghirup udara kemerdekaan sebagai menteri dll karena gugur berperang. Kita juga demikian, akan terus jadi warga terjajah–setidaknya akan semakin banyak harta dan nyawa melayang.

Sultan Hamid pantas dinobatkan sebagai Pahlawan Diplomasi. Sultan Hamid bisa disaksikan tampil bicara berapi-api dengan patriotik nasionalisme republiken–yang jauh dari kebelanda-belandaan–toh istrinya Didi Van Delden adalah blasteran antara Kapten Van Delden dengan anak turunan Kerajaan Bugis–Sidenreng–Sulaesi Selatan.

Segala tuduhan terlibat APRA Westerling jelas tidak terbukti secara hukum, Hamid pun tetap menerima dengan sabar. Ikhlas. Semua keputusan politik kepaanya.

Ia tidak pernah bikin repot Negara. Begitu kata budayawan Betawi, Ridwan Saidi. Hal ini pula diakui putri Sang Proklamator Meutia Hatta. “Sepanjang masa hidupnya, Bung Hatta tidak pernah mengatakan Sultan Hamid pengkhianat.” Begitu uraian Meutia yang bisa disaksikan di chanel YouTube teraju.id dalam webinar Sultan Hamid pahlawan atau pengkhianat negara…. Sultan Hamid wafat husnul khotimah secara indah–bersujud–kala rakaat terakhir ibadah shalat Magrib. Saat saat yang paling dirindukan seorang hamba kepada Tuhannya. Hamid sadar kekuatan besar tidak bisa dilawan dengan kekuatan seorang diri melainkan kejujuran dan keikhlasan akan bersinar terang pada waktunya. Inilah hukum alam yang telah dijanjikan Tuhan lewat sejarah anak manusia di muka dunia. Sejak Adam sampai kiamat kelak. Hamid meninggalkan sebuah “legacy” bagi NKRI. Tidak melawan melainkan diam. Tidak mengganggu kerjaan kabinet berkuasa, melainkan turut menyokong penguasa dengan cara diam, namun berkarya.

Hamid meninggalkan satu kebanggaan bersama bagi kita anak-anak Bangsa, yakni Lambang Negara. Elang Rajawali Garuda Pancasila. Garuda di dada kita. Garuda di ijazah kita. Garuda di paspor kita. Garuda di surat nikah kita. Garuda di mana-mana seantero Nusantara. Sejak 11 Februari 1950 karya adiluhungnya ditetapkan Bung Karno selaku Presiden Republik Indonesia Serikat melengkapi struktur ketata-negaraan Indonesia Merdeka insya Allah sampai kiamat kita bersama universalitas makna-makna di dalamnya.

Ada bintang simbol keesaan Tuhan. Ada rantai kemanusiaan yang adil dan beradab. Ada beringin persatuan Indonesia. Ada kepala banteng tanda kerja keras, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan. Ada padi dan kapas butir nilai universal: keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Ngeri kita jika menatap kembang sayap 17 keemasan, dengan ekor 8 (agustus) serta bulu leher yang ’45. Negara Merdeka 17-8-45.

Bergidik kita merenungkan 75 tahun Indonesia Merdeka tidak pernah ada ucapan terimakasih sepatah-katapun dari Presiden? Dari Menteri Sosial yang mengurus gelar kepahlawanan? Dari Dewan Gelar yang bisa buka buku-buku sejarah dan artefak YouTube lintas kampus, lintas perpustakaan, lintas museum? Bahkan di museum negeri kita sendiri Museum Konferensi Asia Afrika yang bertahun-tahun lalu telah mengakui Sultan Hamid II berjasa merancang Lambang Negara Elang Rajawali Garuda Pancasila?!

Tidakkah Presiden RI punya hak prerogatif menggoreskan Surat Keputusan bahwa Hamid layak didudukkan pada tempat terhormat secara adil-seadil-adilnya sebagai pahlawan nasional kita?! Bukankah tuduhan makar kepadanya tidak terbukti melalui putusan primair Mahkamah Agung pada saat dia pun masih hidup ketika itu? Bukankah yang dialami Hamid adalah peradilan politik di zaman itu? Di zaman now ini semakin terasa sakit jika dia dibaca anak-anak Bangsa?! Maukah kita simpan luka ini berketerusan tanpa mau mengobati dengan cara mengakuinya, agar anak cucunya, agar kampung kelahirannya ada sedikit muka dan marwah ke pelataran Nusantara? Tidakkah bilamana luka ini dibiarkan melebihi 75 ahun Indonesia Merdeka bisa meletup sebagai rasa amarah dan kecewa? Kemana Negara? Kemana Negara hadir mengurusi tetek bengek rakyatnya? Kemana nilai Ketuhanan Yang Maha Esa? Yang kasih tidak pandang pilih itu? Mana nilai universal Sang Maha Penyayang yang sayang-Nya tak terbilang? Mana adat Ketimuran? Mana sila Kemanusiaan yang adil dan beradab? Mana itu Persatuan Indonesia? Mana itu hikmat kebijaksanaan? Mana itu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia? Adil ka’talino–bacuramin ka’ saruga–basengat ka’ jubata? Adil kepada yang masih hidup ataupun yang sudah tiada?

Mohon Bapak-Ibu pembaca maupun pejabat tinggi negara, para wakil rakyat di DPRD, DPR-RI, DPD dan MPR-RI menjawab di tengah kita gegap gempita memasang bendera merah putih di halaman rumah kita? Di kantor tempat kita cari nafkah di era kini merdeka? Mohon. Mohooon kiranya direnungkan dan dijawab dengan hati nurani lantas ambil keputusan sendiri maupun ketata-negaraan untuk turut menghargai. Bahwa apa yang diwariskan dalam lambang negara mendekatkan kita semua kepada hati-nurani Pancasila–idiologi Bangsa kita. Agar Bhinneka Tunggal Ika tidak bercerai berai, baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat. Bukankah kita yang relijius di Indonesia diajarkan, setiap lewat kuburan, membaca Ya ahlil kubuur, wainnaa insya Allah hubikum lahifuun. Wahai para penghuni kubur Insya Allah kami juga akan menyusul….. Doa yang mendidik kita, bahwa ada jalinan komunikasi verbal antara yang hidup dan yang mati.

Sebagai penulis – jurnalis – yang dapat kesempatan menemukan goresan tangan Bung Karno di atas kertas rancangan Sultan Hamid (1994) saya bersaksi, bahwa para pahlawan yang sudah diakui maupun yang belum diakui, bisa melihat apa yang kita perbuat di Bumi Pertiwi ini. Siapa berbuat dia dapat rahmat, siapa santai dan ‘santuy’ tidak ada itikad baik dan bulat, lihat saja akan dapat laknat. Lihat api dengan mudah membara dalam bentuk suhu udara menaik karena angkara murkanya korupsi kekayaan alam, kolusi dan nepotisme lingkungan yang menggerogoti kas negara. Bangkut dan ‘bokek’ kita sebagai bangsa. Apalagi di tengah Pandemi Covid-19 negara negara dunia mengalami resesi di mana korelasi menggurita secara global. Mari kita cari berkah dari Tuhan Yang Maha Kuasa sesuai spirit relijius Pancasila sila pertama. Melewati badai pandemi lewat semua cara. Aktual akhlakul karimah kenegaraan maupun spiritualitas kejuangan kita sebagai warisan “atas berkat rahmat Allah” sesuai preambule UUD 1945.

Semoga “api” menjadi sejuk, semoga banjir tidak melanda. Semoga gunung api tidak meletus. Semoga gempa tidak melanda. Semoga 75 tahun Indonesia Merdeka seirama dengan peringatan Quran Surah 75 tentang Kiamah. Mari kita renungkan arti harfiahnya: 1. Aku bersumpah demi hari kiamat, 2. dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri). 3. Apakah manusia mengira, bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang belulangnya? 4. Bukan demikian, sebenarnya Kami kuasa menyusun (kembali) jari jemarinya dengan sempurna. 5. Bahkan manusia itu hendak membuat maksiat terus menerus. 6. Ia berkata: “Bilakah hari kiamat itu?” 7. Maka apabila mata terbelalak (ketakutan), 8. dan apabila bulan telah hilang cahayanya, 9. dan matahari dan bulan dikumpulkan, 10. pada hari itu manusia berkata: “Ke mana tempat berlari?” 11. sekali-kali tidak! Tidak ada tempat berlindung! 12. Hanya kepada Tuhanmu sajalah pada hari itu tempat kembali. 13. Pada hari itu diberitakan kepada manusia apa yang telah dikerjakannya dan apa yang dilalaikannya. 14. Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri, 15. meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya. 16. Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. 17. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. 18. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. 19. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya. 20. Sekali-kali janganlah demikian. Sebenarnya kamu (hai manusia) mencintai kehidupan dunia, 21. dan meninggalkan (kehidupan) akhirat. 22. Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. 23. Kepada Tuhannyalah mereka melihat. 24. Dan wajah-wajah (orang kafir) pada hari itu muram, 25. mereka yakin bahwa akan ditimpakan kepadanya malapetaka yang amat dahsyat. 26. Sekali-kali jangan. Apabila nafas (seseorang) telah (mendesak) sampai ke kerongkongan, 27. dan dikatakan (kepadanya): “Siapakah yang dapat menyembuhkan?” 28. dan dia yakin bahwa sesungguhnya itulah waktu perpisahan (dengan dunia), 29. dan bertaut betis (kiri) dan betis (kanan), 30. kepada Tuhanmulah pada hari itu kamu dihalau. 31. Dan ia tidak mau membenarkan (Rasul dan Al Quran) dan tidak mau mengerjakan shalat, 32. tetapi ia mendustakan (Rasul) dam berpaling (dari kebenaran), 33. kemudian ia pergi kepada ahlinya dengan berlagak (sombong). 34. Kecelakaanlah bagimu (hai orang kafir) dan kecelakaanlah bagimu, 35. kemudian kecelakaanlah bagimu (hai orang kafir) dan kecelakaanlah bagimu. 36. Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)? 37. Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim), 38. kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya, 39. lalu Allah menjadikan daripadanya sepasang: laki-laki dan perempuan. 40. Bukankah (Allah yang berbuat) demikian berkuasa (pula) menghidupkan orang mati?

NB: Begitu petunjuk-Nya kepada kita semua. Bahwa kita diciptakan dari setetes air yang hina, masa hidup ini mari kita berbuat sekuat tenaga untuk cinta-mencintai atas sesama anak Bangsa demi kejayaan Bangsa dan Negara serta lahirnya zuriyat Bangsa yang kuat, yang sehat tanpa luka sejarah. Yang kelak akan mati dan bersusun kembali jari-jemari kita dan bertanggung jawab atas apa yang telah kita perbuat ke haribaan Tuhan. Seperti lambang cahaya nur ilahi bintang bersudut lima yang pancarannya menerangi kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kepaklah sayap Garuda. Terbang tinggi sampai batas negeri. Adil makmur sejahtera. Lahir batin. Dunia akhirat. Insya Allah, Sultan Hamid Pahlawan Bangsa juga akan tersenyum dari simpul khusnul khatimahnya. Shallu’alan Nabii. Alfatihah. Tabarakallah. *

Written by Nur Iskandar

Hobi menulis tumbuh amat subur ketika masuk Universitas Tanjungpura. Sejak 1992-1999 terlibat aktif di pers kampus. Di masa ini pula sempat mengenyam amanah sebagai Ketua Lembaga Pers Mahasiswa Islam (Lapmi) HMI Cabang Pontianak, Wapimred Tabloid Mahasiswa Mimbar Untan dan Presidium Wilayah Kalimantan PPMI (Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia). Karir di bidang jurnalistik dimulai di Radio Volare (1997-2001), Harian Equator (1999-2006), Harian Borneo Tribune dan hingga sekarang di teraju.id.

WhatsApp Image 2020 08 11 at 07.58.34

“Kita Baru Mulai”

WhatsApp Image 2020 08 10 at 10.07.48

Media Perjuangan