Oleh: Yusriadi
Beberapa waktu terakhir ini saya membawa enumerator melakukan wawancara terhadap kepala dan anggota rumah tangga. Kami mendatangi kampung terpilih dan menemui responden satu per satu.
Kampung yang kami datangi sudah ditentukan melalui sistem acak dan karenanya kami tidak dapat memilihnya. Begitu juga dengan rumah tangga dan responden, mereka juga sudah ditetapkan melalui sistem acak. Di setiap titik, lebih 100 orang responden diwawancarai.
Sistem acak ini membuat semua kampung dan semua orang berpeluang ditemui. Tidak soal kampung di mana, bukan soal suku dan agama apa.
Sistem acak ini mengantar kami menuju tempat terpencil. Tempat yang sulit dihubungi. Tempat yang hanya bisa dijangkau dengan sepeda motor dalam keadaan susah payah. Tempat yang tidak ada sinyal. Tempat yang hanya ada genset pukul 6 sore hingga pukul 9 malam. Setelah itu kampung di pinggir hutan atau di antara batang sawit, terbungkus gelapnya malam.
Sistem ini pada mulanya membuat saya ngeri-ngeri sedap. Ngeri membayangkan perjalanan serta makan minum di sana. Perjalanan pasti jauh, susah dan berat.
Di sisi lain saya juga antusias karena pergi ke tempat baru yang belum pernah dikunjungi, menghasilkan banyak bahan untuk tulisan. Saya pasti mendapatkan pengalaman baru dan penting.
Tetapi, ternyata bayangan tentang kesulitan makan minum tidak menjadi kenyataan. Hampir semua kampung yang sebelumnya dikenal sebagai kampung bukan Islam ternyata ada muslimnya. Baik pendatang ataupun penduduk kampung yang konversi.
Atau, kalaupun tidak ada muslim, tetapi mereka itu amat toleran. Ada enumerator yang menginap di rumah orang bukan Islam, dia disediakan alat masak dan dianjurkan memasak sendiri.
Saya melihat mereka sangat membantu dan pengertian, sehingga pekerjaan wawancara terasa mudah. Saya merasakan batas agama dan suku tidak menghalangi bantuan itu. Inilah kebaikan. Itulah kedamaian. Itulah sikap mereka.
Pengalaman ini mengajarkan saya dan enumerator soal kebaikan dan toleransi. Kami melihat nilai-nilai kemanusiaan dikedepankan meskipun hiruk pikuk perbedaan agama dan suku terdengar.
Kami harus belajar bagaimana menerapkan kebaikan kepada sesama manusia tanpa pandang bulu, dan menebarkan kebaikan dan damai di bumi khatulistiwa ini. (*)