Teraju.Id, Pustopi – Buku Sastra Lokal Kalimantan Barat (dari Sudut Kantor) yang ditulis peneliti Balai Bahasa Kalimantan Barat, Khairul Fuad secara resmi dilaunching (diluncurkan) pada Sabtu, 8/10/16 di Pusdiklat TOP Indonesia di hadapan 50-an pegiat literasi dan sastra. Peluncuran ditandai dengan sejumlah sambutan berikut penandatangan buku dilengkapi dengan foto bersama.
Pimpinan Pijar Publishing, Pay Jarot Sujarwo memimpin acara launching dengan ceria. “Bahwa langka pertemuan sastra yang ramai dan persiapan singkat. Hal ini bisa terjadi karena ada semacam kerinduan untuk bersastra-ria. Apalagi komunikasi kita ditunjang aplikasi WA (WhatsApp),” ungkapnya.
Pay pun memperkenalkan judul buku dan latar belakang kelahirannya. Ia juga memperkenalkan kehadiran Dr Yusriadi sebagai pembahas isi buku, senior “kritikus” sastra, Adri Aliayub , Jimmy, Ilham dan peserta yang hadir dari berbagai komunitas.
“Sekarang semangat anak muda Kalbar luar biasa. Terbit buku puisi, sastra, bahkan novel. Malam ini kita kumpul massal sebagai buktinya,” ungkap Pay disambut tepuk tangan meriah peserta. Disampaikan Pay, bahwa sejawat pegiat literasi dan sastra Kalbar, Khairul Fuad menulis, bahwa geliat sastra di Kalbar itu ada. “Malam ini buktinya. Spirit ini mari kita rawat sehingga sastra itu tidak hanya estetis, indah, dan menghibur, tapi juga mendidik sehingga terjadi pertumbuhan peradaban yang evolusioner atau bahkan revolusioner,” tegasnya.
“Mari kita rawat spirit itu, sehingga kita tidak sekedar kumpul-kumpul,” timpalnya seraya menambahkan bahwa apa yang dilakukan dengan peluncuran buku Sastra Lokal ini sebagai bagian dari gerakan perubahan sosial. Contoh lain di Jogjakarta. Sastrawan Romo Mangun Wijaya bisa melakukan perubahan sosial. Begitupula Pramudya Ananta Tour hingga Prof Dr Buya Hamka. “Ini yang sering kita bahas dalam banyak pertemuan,” ujar pria yang terkenal dengan buku laporan perjalanannya berjudul Sepok.
“Dulu kita bilang berkarya-berkarya saja untuk tahap awalnya. Nah, sekarang karya itu ada, namun mari kita tingkatkan ke esensialnya. Oleh karena itu perlu melihat sejarahnya, berkait ideologi, kolonialisme, hingga reformasi. “Apakah di Kalbar akan muncul sastra revolusioner? Sastra yang berpihak pada rakyat? Atau malah absurd?” Pay menantang audiens. Lalu dia menutup dengan kalimat tanya, “Mau kemana kesusasteraan kita?”
Pay berharap dengan peluncuran buku Sastra Lokal Kalbar, semoga jadi pemantik bertumbuhnya karya sastra esensial dengan dampak perubahan sosial yang mendidik selain rona keindahan yang dipancarkannya. (Nuris)