(maaf, saya sengaja WAN, bukan AN. bdk. karyaWAN, usahaWAN, relaWAN).
Oleh: Masri Sareb Putra
Saya sudah malang melintang menjadi pembentang di vak saya, terkait topik Etnologi (Dayak), menulis kreatif, dan perBUKUan. Satu mimbar/ meja dengan Profesor, Doktor, dan orang2 yang double degree.
Simpulan saya: di dunia keilmuan: kita sama-sama pakar di bidang kita, tapi “bodoh” di bidang orang. Untuk itu, kita wajib saling menghargai satu sama lain. Dan jika berbeda sudut pandang, bukan menyerang pribadi, melainkan gagasan. Jika tidak bertemu titik padang, kita saling respek dalam perbedaan. Istilahnya: setuju untuk tidak bersetuju.
Tak pernah gentar saya satu meja/ mimbar dengan profesor, meski dari Amerika dan Eropa. Dua bulan lalu, bersama 2 profesor dari Amerika dan Jerman. Nyatanya, presentasi saya mendapat aplaus dan respons yang cukup semarak dari floor. Saya senantiasa mencari novelty –hal2 baru. Membahasnya dari perspektif seorang filsuf, penuh refleksi, renungan mendalam, sehingga hal yang biasa menjadi tidak biasa. Lalu menyampaikannya menurut ilmu retorika.
Seorang ilmuwan punya ciri memiliki seperangkat pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu.
Jika sudah terbentuk begitu, tak ada beda lagi antara master dan profesor. Saya hanya seorang “master” secara akademik, namun hampir selalu honornya sama, atau disamakan, dengan profesor. Saya tak peduli soal ini. Yang saya concern adalah: tiap kali akan tampil, wajib menguasai masalah dan hafal di dalam (bukan di luar) kepala. Seorang narsum wajib MASTERING (menguasai) topiknya.
Nah, camkan dengan saksama apa makna MASTER itu!