Oleh: Yusriadi
Geram iya. Kasihan juga iya. Putus asa, entah!
Rasanya itulah gambaran perasaan saya saat menerima beberapa mahasiswa di ruangan dalam beberapa hari ini. Perasaan saya kayaknya sedang campur aduk.
Persoalan bisa dibilang sederhana, bisa juga mendasar dan kompleks. Saya, dalam pekan ini menerima mahasiswa bimbingan di bawah istilah Penasehat Akademik (PA). Mereka minta tanda tangan sebuah daftar -yang disebut kartu, berisi rencana studi.
Nah, seperti biasa saya tak hanya memberikan teken tetapi juga tanya ini itu. Toh, mahasiswa juga jarang yang bertanya. Kalau ada pun, mereka –mahasiswa lain, bertanya soal nilai.
Kesan saya, mereka pura-pura: “Pak, mengapa nilai saya rendah?”
Untuk mahasiswa yang datang saya minta membuat tulisan tentang pencapaian semester lalu. Saya ingin tahu apa yang didapat selama ini. Jika kurang saya bisa menasehati, dan jika sudah ada yang diperoleh atau dicapai, bisa memberi apresiasi atau penguatan. Kayaknya, itulah tugas dosen PA.
Tentang pencapaian, bagi semester awal, pencapaian umum tak jadi soal. Asal ada. Misalnya, kalau mereka katakan selama semester lalu, sudah bisa ini. berubah soal ini, okee….
Tapi bagi mahasiswa semester lanjut, pencapaian harus berkaitan dengan jurusan atau bidang. Bagian ini harus ada.
Mereka harus punya pengetahuan -ilmu, dan keterampilan, sesuai jurusan. Jika tidak, saya anggap tidak ada pencapaian.
Nah, di sinilah masalahnya. Beberapa mahasiswa datang dengan tanpa pencapaian. Dari sisi pengetahuan mereka tak nampak. Sebagai contoh, saya minta sebutkan dalil –ayat Quran dan Hadits tentang salah satu bidang dalam jurusan mereka. Semenit, dua menit, mereka mengingatnya. Ada yang tak ingat sama sekali, ada yang ingat separoh.
“Kena balek kampung lupa,” itu alasannya.
“Kemarin, waktu setoran, hafal, Pak,” kata yang lain. Tuh, jawabannya?!
“O, sudah ya. Lulus tak?”
“Lulus”.
“Nilainya?”
Ada yang B, ada yang C.
“Seharusnya… tidak lulus. Saya mau bilang ke dosennya, agar nilai Lulus itu dibatalkan. Sebab, tak ingat apa pun,”
“Untung bukan A. Kalau A, malu. Kalian malu, dosen pun malu. Masa’ nilai A tak tahu apa-apa”.
“Kasihan ‘kan?”
Mereka diam, sambil senyum kecut. Saya setengah bergurau, tetapi sebenarnya geram.
Rasanya, ingin mendrill mereka agar tetap hafal atau ingat atau sedikit menguasai apa yang sudah dipelajari. Tapi, waktu. Teken harus diberikan untuk urusan Daftar Rencana Studi, karena penyerahannya ada batas waktu.
Setakat ini saya hanya bisa menasehati. Semoga berbuih-buih mengingatkan mereka, satu dua diingat juga. Kalau tak pun, saya sudah melepaskan kewajiban: mengingatkan. Plus bonus rasa geram dan kasihan. Selanjutnya, serahkan pada Allah, karena Dialah yang memberi cahaya untuk hati manusia. (*)