Oleh: Nur Iskandar
Jumat, 27/11/20 tim Departemen Agama Provinsi Kalbar melakukan pendataan mesjid produktif yang tumbuh di atas tanah wakaf. Ini kisah mercusuar Kalimantan Barat dari Kota Pontianak sejak 1936. 10 tahun setelah KH Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama di Indonesia.
Tim diterima nazir dr Nursyam alumni Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Sulawesi Selatan yang karir ASN nya malang melintang di Kalbar. Ia keluarga besar tuan takur yang juga banyak herwakaf H Sakke di Sungai Raya Dalam.
Bersama dr Nursyam ada nazir lainnya Attamimi si Bos Asfatex di mana berhasil menghimpun dana Rp 1.8 miliar untuk renovasi besar besaran mesjid termasuk gedung multifungsi di sebelahnya dan kini aktif meluaskan sayap wakaf sekitar mesjid kebanggaan warga kawasan Singkup Lebat.
Kenapa Singkup Lebat? Era 1930 an Pontianak masih sepi. Pusat kota di Kesultanan dan Residen berjarak 2-3 km arah timur. Kawasan Singkup ini baru disentuh koloni Belanda pada 1930 pertengahan seiring dibangunnya mesin anem di dekat Pasar Mawar. Jalan Anem itu kini PLN Sulung Lelanang. Anem dialirkan di bantaran kanal menuju Rumah Sakit Santo Antonius. Inilah wilayah Singkup tersentuh jalan raya. Kini Jl Merdeka.
Sebelumnya, jalan raya adalah kanal. Orang dan barang hilir mudik pakai sampan. Terutama arah Punggur dan Kota Baru. Jika lelah, mereka rehat di pertigaan Parit Belibis.
Lama kelamaan semakin banyak sampan yang tambat di pertigaan Belibis-Jl Merdeka. Waktu zuhur, apalagi Jumat, mereka shalat berjamaah. Lalu terpikir membangun surau. Dimulai dengan tiang bambu dan layar terpal. Kini menjelma sebagai Mesjid Megah Sirajul Islam namanya. Artinya Matahari Islam.
Wakaf tanah mesjid diberikan dermawan setempat yang sudah tak tertampung mengajar ngaji. Disesuaikanlah dengan pendirian mesjid. Dan mesjid pun penuh, didirikanlah lagi Badan Wakaf Raudhatul Islamiyah. Disingkat Bawari pada tahun 1936. Persis 10 tahun pasca lahirnya NU di Jombang, Jatim. Bahkan Bawari lahir sebelum BWI dan UU Wakaf lahir di NKRI per 2004.
Bawari menjadi lembaga wakaf produktif menyusul wakaf Sirajul Islam. Alumninya banyak menjadi ulama. Dua di antaranya adalah Haji Ahmad Jongkong yang berdakwah di Uncak Kapuas dan melahirkan ilmuan Dr Hermansyah, Dr Ibrahim dan Dr Yusriadi, MA yang kini menggerakkan keilmuan IAIN Pontianak. Juga KH Muhammad Ali Usman. Beliau Rektor Universitas Islam Bandung (Unisba) dua periode. 1962-1972. Banyak ilmuan lahir dari Unisba dengan tagline mujahid (pejuang), mujtahid (penelitian) dan mujaddid (pembaruan). Kaitannya dengan Sirajul Islam si wakaf produktif sejak era kolonial sampai milenial.
Wakaf Produktif Sirajul Islam terus menghadapi peluang dan tantangan. Bersama Nazir At-Tamimi terkumpul dana 1.8 miliar. Dirombaklah mesjid secara besar-besaran pada 1990-an akhir. Megah berdiri sampai kini dan makmur. Setiap Jumat penuh. Celengannya per minggu di atas 5 juta rerata.
Sirajul Islam juga punya gedung multifungsi. Digunakan sebagai Posyandu dan klinik serta Taman Pendidikan Al-Quran. Juga berupa rupa pertemuan. Silaturahmi dan resepsi bisa di aula serbaguna. Kini TPA di era Pandemi Covid-19 menggunakan sistem visual terbatas dan virtual. TPA Sirajul Islam pun sedang bergerak menuju akademi ilmu Quran. Sesuatu yang belum ada Diploma 3 di Kalbar.
Sirajul Islam aktif menata lahan perluasan wakaf secara mandiri dan produktif. Sirajul Islam menjadi basecamp konsorsium pegiat wakaf produktif di Kota Pontianak dengan nama Tawaf Indonesia (Tentara Wakaf Produktif Indonesia). Kolaborasi terus disusun dan digerakkan dengan azas manajemen modern.
Wakaf terbukti dalam sejarah panjang tata kelola aset yang tidak hanya utuh, tapi tumbuh. Dampak sosialnya jauh melebihi ritual dan spiritual. Peradaban wakaf menjangkau muslim dan non muslim sehingga egaliter merekat Keindonesiaan dan Kebangsaan. (Penulis adalah pegiat Literasi Wakaf-Wakaf Literasi. Anggota BWI Kalbar Bidang Wakaf Produktif. Cp-Wa 08125710225).