Oleh: Hermayani Putera
Pak Lacik adalah sosok sederhana. Seperti penduduk Bungan lainnya, sehari-hari ia mendulang emas secara tradisional. Ia juga mahir menembak ikan dengan cara menyelam dan menombak di Sungai Bungan dan Sungai Kapuas Koheng yang jernih. Bekalnya hanya kacamata google dan senapan sederhana yang dirakit sendiri untuk menembak ikan.
Namun demikian, di balik kesederhanaannya, sosok Pak Lacik adalah pahlawan bagi masyarakat Bungan. Kegigihannya menentang kehadiran para penambang emas tanpa izin (PETI) yang beroperasi di desa mereka, diapresiasi oleh pemerintah.
Ia pernah mendapat anugerah Kalpataru, penghargaan tertinggi pemerintah di bidang lingkungan hidup, untuk kategori perintis lingkungan. Ia hanya warga biasa, namun mampu menggerakkan masyarakatnya untuk bersama-sama melestarikan lingkungan hidup di kawasan ini dari praktek PETI.
Tentu saja PETI harus ditertibkan dan dicarikan solusi yang tepat pagi para pekerjanya. Cara kerja mereka sangat merusak lingkungan. Mereka menggunakan mesin pompa dan selang berdiameter besar untuk menyemprot dinding sempadan sungai, mencari emas. Lapisan atas tanah dibuka, vegetasi penutup tanah dibabat, mengeruk dan menggali lubang.
Selain tebing sungai yang rawan longsor, para penambang juga meninggalkan lubang-lubang menganga sedalam 3-4 meter, bahkan ada yang lebih. Lahan-lahan mulai tandus karena vegetasi penutup tanah habis dikuliti, menggerus lapisan atas tanah yang subur. Akibatnya, erosi dan pendangkalan sungai pun semakin masif.
Para pekerja PETI juga memodifikasi mesin mobil menjadi mesin penyedot material pasir di dasar sungai, berharap menemukan serpihan-serpihan emas. Mereka menggunakan air merkuri untuk memisahkan logam emas dari material lainnya. Merkuri ini sangat berbahaya bagi saluran pencernaan, sistem saraf, dan ginjal.
Emas memang kadang didapat oleh para penambang yang bertungkus lumus, makan dan tidur di lapangan. Kulit mereka gelap, karena setiap hari terpapar terik sinar matahari. Hasilnya disetor kepada pemodal yang menunggu di rumah mewah mereka yang ber-AC.
Masyarakat harus membayar mahal akibat dari PETI ini. Air keruh mengental bak kopi susu dan tercemar merkuri. Air sungai yang sejak lama digunakan untuk keperluan sehari-hari, mandi dan mencuci, nyaris tidak bisa dipakai lagi. Air bersih menjadi barang mewah dan mahal. Bisa dibayangkan jika merkuri larut dan hanyut dibawa air Sungai Kapuas ke hilir. Sebuah ketidakadilan ekonomi dan ekologi yang nyata.
Malam kedua di Nanga Bungan ini aku habiskan bersama Pak Lacik, mengulang cerita seminggu di Taman Negara Batang Ai pada tahun 2003. Ia tertawa sambil tetap menahan senyum, ketika aku ceritakan beberapa kejadian lucu selama di sana. Sekitar 4-5 warga Nanga Bungan dan beberapa warga dusun lain yang datang memenuhi undangan dialog dengan bupati, ikut meramaikan obrolan kami. Belakangan, Lerry dan 4 rekannya sesama anak muda Bungan turut bergabung.
Malam kian larut, pembicaraan tambah ramai. Obrolan kami mulai diselingi hal-hal serius. Tawa dan senyum Pak Lacik berubah, ketika ada seorang warga yang mengangkat permasalahan PETI. “Dulu, saya masih mampu mengajak masyarakat menghalau para pekerja tambang emas dari luar yang membawa mesin dan selang, karena mereka mencoba menghancurkan kehidupan kita. Waktu itu jumlah mereka belum banyak. Tidak seperti sekarang, jumlahnya sudah berpuluh kali lipat,” keluhnya, pasrah.
Wajahnya mengguratkan kesedihan dan kemarahan mendalam, karena tidak kuasa melawan para perusak lingkungan tersebut.
Keluhan Pak Lacik disambung oleh Lerry. “Kami juga mulai galau, karena hasil dari mendulang emas secara tradisional, panen gaharu dan sarang walet di gua-gua sudah semakin berkurang,” ungkapnya. Ketiga komoditas inilah yang menjadi sumber penghidupan mereka selama beberapa generasi.
Kami bubar menjelang jam 23.30 WIB. “Kita istirahat ya. Kasihan Nak Herma dan kawan-kawan yang besok masih melanjutkan perjalanan ke Tanjung Lokang. Terima kasih banyak sudah bersedia mendengar isi hati kami ya Nak,” kata Pak Lacik, sambil menyalami dan memelukku erat. Adegan yang persis sama ketika kami baru tiba dua hari sebelumnya. Salam dan pelukan terakhir dari seorang pejuang lingkungan di hulu sungai.
Gambaran kusam masa depan Orang Punan menjadi pengantar tidurku. Perumpamaan salah satu warga dalam obrolan tadi terus terngiang, “Kami tidak mau masa depan anak cucu kami seperti tikus mati di lumbung padi.”
Salam Lestari, Salam Literasi