Oleh: Yanti Mirdayanti
Sejak bayi hingga dewasa kedua putri kami hobi bercorat-coret di kertas. Usia mereka berbeda dua tahun (percisnya 23 bulan). Karakter individu keduanya sangatlah berbeda, tetapi hobinya sama, yaitu: menggambar.
Saat mereka kecil dulu, kertas-kertas yang telah dicoreti atau digambari berserakan di mana-mana: di dapur, di ruang makan, di kamar tidur, di mobil, di teras, bahkan di lantai kamar mandi sekali pun.
Kemana pun pergi, kertas dan pensil (yang biasa atau berwarna) harus selalu tersedia dan dibawa. Jika tidak, mereka sangat resah dan gelisah. Tangan mereka selalu harus bergerak untuk bercorat-coret.
Namun, lalu tak terhenti saat mereka kecil. Hobi menggambar pun kemudian menjadi medium penyaluran tumpahan segalanya dalam hidup mereka selanjutnya: kesedihan, kebahagiaan, stres, impian, inspirasi, kesan, pengalaman, dll.
Sebuah hobi yang sangat menolong saat mereka harus melalui masa remaja (SMA) yang tidak selalu mudah. Sebuah masa yang memang paling berat dilalui oleh kebanyakan usia remaja di mana pun, sebelum mereka memasuki dunia ‘orang dewasa’
Saya ‘colong’ gambar-gambar berikut ini dari instagram mereka. Yang kiri adalah karya si bungsu, Wulan. Yang kanan karya kakaknya/si sulung, Shanti.
Keduanya unik, keduanya kreatif. Tak boleh dibandingkan karena setiap hasil karya seni individu sangatlah subjektif, personal, dan memiliki maksud masing-masing.
‘Ntah berapa ratus sudah koleksi gambar mereka jika dikumpulkan sejak mereka bayi hingga sekarang saat umur 21 dan 23 tahun. Kebanyakan gambar-gambar lama mereka tersimpan di dus-dus dalam bentuk kertas-kertas lepas.
Cukup senang bahwa saat ini pun saya masih bisa menyaksikan kakak adik bersaudara akrab ini masih tetap melakukan coretan tangan mereka dengan santai di sela-sela kesibukan kegiatan utama masing-masing (kuliah dan bekerja).
Jika diperhatikan, karya si bungsu di gambar ini tampak sangat dipengaruhi aspek Indonesia (batik, jilbab, seragam SMA, serta situasi bergaul gaya remaja Indonesia). Lebih realis. Mungkin kesan dia tentang remaja Indonesia masih tertancap kuat di pikirannya saat dia ikut kami berlibur sebulan di Indonesia pada bulan Agustus tahun 2018 lalu.
Sementara karya si sulung tampak sedang bereksperimen dengan aspek-aspek teknik menggambar atau aspek studi tertentu, misalnya bentuk dan posisi tangan serta kaki gambar-gambar para gadis; serta formasi wajah-wajah, mata, mulut, dan warna-warna boneka-boneka yang sepertinya terinspirasi boneka Rusia.
Hobi menggambar si sulung berlanjut dengan studi animasi di perguruan tinggi seni dan desain. Lalu sejak tamat kuliahnya yang tepat waktu bulan Mei 2019, si sulung pun langsung diterima bekerja di perusahaan media seni di kota Boston. Dia bertanggung jawab di bagian perancangan dan pembuatan film animasi untuk proyek-proyek kantornya.
Jika tidak ada aral melintang, si sulung akan terlibat sebagai pembicara tamu awal Oktober mendatang ini dalam sebuah perkuliahan workshop pembuatan film pendek di jurusan Asia Tenggara, Universität Hamburg. Dia sudah menyetujui undangan kami dan sudah melakukan meeting virtual dengan kami.
Terima kasih, anakku, sudah mau berbagi ilmu dengan para mahasiswa kami nanti walaupun perbedaan waktu 6 jam ya!
Bagaimana dengan si bungsu? Walaupun hobi juga menggambar, dia lebih tertarik dengan bidang studi ‘Social Work’ dan ‘Asian Studies’ di universitas di Massachusetts. Kini sudah menginjak tahun keempat, tahun terakhir. Karena studi utamanya sangat dekat dengan bidang psikologi dan pengabdian masyarakat, maka saya kira, untuk kerja profesionalnya nanti dia pun sepertinya akan mengintegrasikan hobi coretannya itu.
Kembali teringat kata-kata si sulung yang telah diucapkannya beberapa kali kepada kami:
“Saya lebih suka bercerita dengan gambar daripada dengan kata-kata.” (18 September 2020) (*Penulis adalah kontributor teraju.id, mengajar di Hamburg University, Jerman)