Oleh: Nurul Hidayah
Saya terkenang dengan kata-kata ayah yang diucapkannya 6 tahun lalu, ketika ia memutuskan untuk meninggalkan desa dan semua hartanya dijual, lalu pindah ke Pontianak karena ingin mendampingi saya melanjutkan pendidikan.
Bisa dibilang pada saat itu masa-masa terberat dan banyak cobaan yang dilewati karena tidak mudah untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan baru. Pada saat itu, ayah harus membayar hutang sewaktu di kampung dan mencari tempat tinggal di Pontianak.
Ayah harus merencanakan untuk tetap bertahan hidup di Pontianak, sementara saya akan mulai masuk SMP dan harus membayar pendidikan saya. Sedangkan uang yang dibawa waktu itu tidaklah seberapa karena penjualan tanah dan rumah di kampung atau desa sangatlah murah sedangkan kehidupan di Pontianak sangat mahal. Ekonominya jauh berbeda dari desa dan pekerjaan atau mata pencarian tidaklah mudah diperoleh. Pikirku waktu itu hanya ingin membantu orang tuaku dan mencari caranya.
Ibu dan ayah lahir dari keluarga yang biasa-biasa saja. Keluarga ibu dan ayahku hanyalah petani. Orang tua ibu dan ayahku semuanya petani. Ayah bercerita pada saat itu, ayah bersekolah dasar namun sayangnya sekolahnya tidak selesai dan berakhir waktu masih kelas satu SD dikarenakan kedua orang tua ayah meninggal pada saat ayah berusia 5 tahun. Tidak dapat dibayangkan, dari usia 5 tahun ayah berjuang sendiri dan saudara kurang peduli.
Sedangkan ibu menempuh pendidikan hingga SMA. Sayangnya tidak sampai lulus dikarenakan ekonomi keluarga yang tidak memungkinkan.
Dari fragmen cerita ini saya tidak akan berbicara banyak soal bagaimana perjuangan kedua orang tua saya. Tapi bagaimana kedua orang tua saya menanamkan pola pikir tentang pendidikan untuk saya dan adik-adik saya.
Pada saat itu saya pun mulai memasuki bangku sekolah SMP dan kedua orang tua saya berdagang jualan pisang dan gorengan. Namun perjalanan kami tidak semudah itu dan lancar sampai sekarang ini. Pada saat orang tua saya berdagang lalu tutup tokonya karena waktu itu ada isu bahwa tempat orang tua saya berdagang akan digusur. Ayah pusing memikirkan kerjaan apa lagi, mana saya harus membayar daftar ulang karena saya naik kelas dan adik saya banyak keperluan sekolah. Pada saat itu kondisi ekonomi kami sangat kritis.
Ahirnya ayah saya memutuskan untuk kerja bangunan demi pendidikan saya dan adik-adik saya karena kedua orang tua saya selalu bilang: pendidikan yang tinggi maka kamu akan menjadi orang terpandang dan mudah mencari pekerjaan.
“Jangan kalian anak-anakku kedepannya susah seperti orang tuamu ini,” kata mereka.
Saya selalu sedih ketika ayah mengatakan hal seperti itu. Tekat saya sekarang dan selanjutnya mewujudkan keinginan kedua orang tua saya yang ingin melihat saya wisuda dan menggunakan toga. Saya harus tetap berjuang dan harus ikut bekerja membantu ekonomi keluarga saya.
MENGEJAR KESUKSESAN DENGAN PENDIDIKAN DEMI KEDUA ORANG TUAKU.
(Mahasiswa Akuntansi Syariah, IAIN Pontianak).