Oleh: Farninda Aditya
Tarian pembukaan MTQ XXVII Kalbar pada Minggu, 1 Juli 2018 menyita perhatian khalayak ramai, khususnya di Mempawah sebagai tuan rumah. Sebanyak lebih kurang 300 orang menceritakan kedatangan Islam di Mempawah melalui tarian. Uniknya, tarian tersebut ditampilkan dalam satu waktu dengan tarian yang berbeda-beda, yakni Dayak dan Melayu. Bahkan, dengan berbagai property seperti perahu lancang kuning, berlayar di lapangan Gor Pangsuma. Pada penutupan nanti, akan ada 200 orang penari lainnya.
Di balik kesuksesan tersebut, Irni Septy Zulhilda adalah satu di antara sosok yang melatih siswa dari jenjang pendidikan SMP dan SMA ini.
“Ide tarian dari Pak Yuza Yanis Chaniago, beliau adalah ketuanya. Saya satu di antara 19 asisten pelatih. Pelatihnya ada 4 orang, dari pelatih ini kami mengajarkannya dengan adek-adek,” ungkap Hilda.
Memantapkan tampilan pada MTQ ini, mereka telah melakukan latihan sejak Februari lalu. Walaupun waktu latihan tidak tetap, tidak menjadikan guru Seni di SMK Islam Cendekia Mempawah ini redup melatih, apalagi ketika ia harus berhadapan dengan siswa yang belum terbiasa menari.
“Jadwal latihannya menyesuaikan, sebelum libur sekolah Jam 3 sampai setengah 6, dari hari Selasa sampai Jumat, saat bulan puasa jam 2 sampai jam 5, Senin sampai Kamis.
Alhamdulilah, membuahkan hasil, adek-adek yang awalnya belum bisa, melangkah pun sulit akhirnya bisa tampil”.
Sejak kecil, Hilda memang tertarik di dunia tari. Kembang Tanjung, adalah nama kelompok Tari Hadrah dari Kelurahan Tanjung, yang mengenalkan dunia tersebut padanya. Saat SMP, Hilda mencoba tarian modern, ia bersama teman-temanya sering kali tampil dan ikut lomba, hal tersebut berlangsung hingga dirinya SMA. Seperti memang garis tangannya, dunia ini pun membawanya sebagai mahasiswa Program Studi Seni Tari dan Musik-FKIP Universitas Tanjungpura melalui PMDK.
Bergelut di dunia seni tari menjadikan Hilda semakin mengenal berbagai tarian. Ia pun dapat menarikan tarian Jaipong, Gambyong, Pendet, Madure, Bugis, Cine, Serampang 12 dan Kontemporer.
“Tarian tersebut dasar-dasarnya sih, tapi basic-nya memang Melayu dan Dayak,” ujar anak kedua pasangan Jurhani dan Irham ini.
Kecintaan Hilda pada tarian dibuktikannya dengan menulis tugas akhir mengenai “Revitalisasi Hadrah di Kampung Tanjung”. Berbagai usaha untuk mendapatkan lirik, gerakan, musik Hadrah yang mulai terlupa.
“Sayang kalau Redat atau Hadrah itu hilang dari kampung, banyak pelajaran terutama tentang Islam bahkan sejarah Mempawah dari lirik Hadrah itu, juga melestarikan Tar sebagai alat musiknya,” ujarnya.
Tak hanya menjadi guru di sekolah, pada pertengahan tahun 2017 Hilda membentuk Gubuk Seni. Anak-anak di kampung Tanjung dan beberapa muridnya menjadi anggota tersebut. Berbagai acara di Mempawah baik acara pernikahan maupun ceremony kerap mengundang mereka.
“Alhamdulillah, adek-adek sudah bisa mendapat uang jajan sendiri, tapi jam belajar untuk pelajaran sekolah tetap nomor satu, ginik-ginik tetap guru mereke di sekolah,” ujar pemilik Hantaran Hilda ini. (*)