Oleh Hermayani Putera
“Ikan segar… ikan segar…” suara menjajakan dagangan ikan ini khas milik Bu Desi. Ibu muda berusia 32 tahun kelahiran Punggur yang tinggal di belakang bagan samping
kelenteng besar di dekat pelabuhan nelayan tradisional Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya ini beberapa waktu terakhir akrab menyapa warga di komplek kediaman kami dan sekitarnya di bilangan Jl. dr. Wahidin Sudirohusodo Pontianak.
Dia bergerak dari komplek ke komplek, dan dari satu gang ke gang lain di sekitar jalan ini. Begitu terus ia lakoni dengan sepeda motornya selama tiga tahun ini. Setiap komplek atau gang yang ia sasar biasanya akan ia datangi tiap 3-4 hari sekali.
Selama waktu ini, Bu Desi menjual ikan keliling dengan sepeda motor yang ia beli secara mencicil Rp 748.000 per bulan, selama 36 bulan. “Cicilannya akan lunas 3 bulan lagi,” cerita Bu Desi, penuh semangat.
Setiap hari ia menyisihkan keuntungan dari menjual ikan untuk mencicil motornya. Setelah disisihkan untuk belanja ikan tiap sore, sisanya ia gunakan untuk belanja kebutuhan sehari-hari keluarga kecilnya bersama sang suami, Murjani (33 tahun) dan kedua anaknya, Mega (11 tahun) dan Rizky (6 tahun). Mega baru masuk SMP tahun ini, dan adiknya Rizky baru masuk SD. “Ada juga yang saya tabung, walaupun tidak banyak,” kata Bu Desi.
Sebelumnya, Bu Desi juga berjualan ikan keliling dengan berjalan kaki. Dari rumahnya di Kakap ia naik oplet, dan turun di simpang Jalan dr. Wahidin Sudirohusodo-Jalan Husein Hamzah. Bawaannya tetap sama dari dulu: dua buah ember putih bekas tempat cat ukuran 20 kg yang tertutup rapat untuk menjaga kesegaran ikan-ikan yang dijualnya.
Ia bertekad membeli sepeda motor setelah melihat prospek jualan ikannya. Ditambah faktor makin jarangnya oplet yang melayani trayek dari rumahnya ke daerah ‘teritorial’ jualannya.
Tiap sore, ia dan suaminya yang memang berasal dari Sungai Kakap dan bekerja di bagan selalu menunggu kapal-kapal nelayan yang tiba dari melaut. Tak banyak jenis ikan yang mereka beli. Ikan yang sudah dibeli disimpan di box stereoform ukuran sedang dan diisi es batu untuk menjaga kesegarannya, karena akan dijual keesokan paginya.
“Jam 05.30 biasanya saya sudah berangkat dari rumah di Kakap membawa ikan gembong, kakap, ikan merah, bawal, dan sotong. Ikan-ikan inilah yang banyak diminati pembeli,” lanjut Bu Desi bercerita.
“Alhamdulillah, ikan yang saya bawa jarang yang tersisa, selalu habis,” sambungnya.
Bagaimana dengan penjualan ikannya di masa pandemi ini? “Alhamdulillah nyaris tidak ada pengaruh, karena tiap hari kan orang perlu makan ikan. Buktinya, dagangan saya jarang ada yang tersisa.”
“Yang penting saya sudah usaha, hasil akhir saya serahkan sama Allah. Berapa pun yang laku, itulah rezeki yang Allah kasih untuk keluarga saya,” jawabnya, mantap.
Dari Bu Desi kita belajar kegigihan dan keyakinan sebuah usaha yang insya Allah penuh barakah.
“Ikan segar… ikan segar…”