By Hermayani Putra *
Desa Kelakar adalah satu dari 15 desa yang terletak di Kecamatan Hulu Gurung, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Desa ini membuat sebuah terobosan inovatif terkait penanganan Covid-19. Dalam mengantisipasi potensi kerawanan pangan akibat pandemi ini, Kepala Desa Sahrani bersama perangkat desa, didukung oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD), tokoh agama dan masyarakat serta ibu-ibu yang tergabung di dalam Kelompok Wanita Tani (KWT) Desa Kelakar, mulai menanam padi di lahan sekitar 8-10 ha. Lahan ini milik 7 warga desa dalam satu hamparan, dan digarap dengan skema bagi hasil.
Hasil panen yang diperkirakan akan dilakukan Agustus mendatang, 20% akan menjadi milik ketujuh pemilik lahan. 80% selebihnya dibagi dua: 32% utk yang menggarap lahan, mulai dari penyiapan lahan, menanam hingga panen nanti; dan 48% akan menjadi milik desa. Semua input produksi berupa penyiapan lahan, pupuk, bibit, dan tenaga kerja serta biaya operasional lainnya disediakan oleh desa. “Kami sudah mengalokasikan 25-30 juta utk program antisipasi kerawanan pangan ini,” jelas Pak Kades Sahrani ketika kami bertemu akhir Juni lalu. Tak puas menjelaskan di kantor desanya yang saat itu ramai karena ada pertemuan rutin bersama Bintara Pembina Desa (Babinsa) dari TNI dan Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas) Polri, kades muda ini mengajak saya dan Bang Tsafiuddin, konsultan tata ruang dari WWF untuk melihat langsung ke sawah tempat lokasi penanaman padi untuk mengantisipasi kerawanan pangan ini.
Dengan perkiraan produksi 12 ton, dan harga gabah kering Rp 5.000,-, maka diperkirakan produksi akan senilai Rp 60 juta. Dipotong biaya produksi 25-30 juta, desa masih bisa mendapat untung sekitar Rp 30-35 juta. “Keuntungan inilah yang nanti akan dibagi merata kepada seluruh warga Desa Kelakar,” sambung kades yang enerjik ini. “Bagaimana kalau sekiranya kerawanan pangan ini tidak terjadi, Pak Kades?” tanya saya. “Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah. Sisa keuntungan dari produksi ini akan kita simpan sebagai lumbung pangan desa atau skema lainnya hasil kesepakatan bersama pengurus dan warga desa,” jawab Sahrani lugas, sambil menunjuk beberapa bangunan huma di tepi sawah milik para pemilik lahan yang juga sudah setuju huma mereka dipergunakan sebagai lumbung desa.
Sejak menjabat Kepala Desa Kelakar sejak 2016 lalu, pria kelahiran Landau Kumpang, desa lainnya di Kecamatan Hulu Gurung pada 10 Oktober 1981 ini memang tak henti berinovasi dan berkreativitas. Seiring dengan masa kepemimpinannya, WWF-Indonesia bekerja sama dengan Bappeda Kapuas Hulu meluncurkan program Green Economi di Kawasan Strategis Kabupaten Agropolitan Hijau di 7 kecamatan di wilayah selatan Kapuas Hulu sejak 2016, dibantu oleh program International Climate Initiative (IKI), Jerman. Sebuah program yang coba menghadirkan pembangunan rendah karbon dalam skema ekonomi hijau di wilayah Jantung Kalimantan (Heart of Borneo). Salah satunya adalah Kecamatan Hulu Gurung, dan Desa Kelakar menjadi salah satu desa pilot pembangunan desa dengan skema ekonomi hijau ini.
Nama desanya boleh Kelakar, tapi Sahrani beserta perangkat desa, BPD dan warga desanya membuktikan bahwa mereka serius dan penuh optimisme mengatasi berbagai kendala yang dihadapi di desa mereka.
#kskagropolitan #heartofborneo #kapuashulu #kabupatenkonservasi #wwfindonesia #duniadesa