Oleh: Nur Iskandar
Sesama orang darat alias orang kebun kami saling sapa. Tanya tanya anak siapa dari mana. Rupanya kami keluarga. Inilah pentingnya sapa menyapa. Tidak boleh diam durja. Apalagi menganggap remeh. Memandang sebelah mata. “Saya Ismail,” katanya. Domisili Jalan Penjara. Asal Teluk Pakedai. Dalam dada saya bergemuruh. Teluk Pakedai mana? Saya memburu. “Mesjid Batu.” Begitu lelaki 60th ini menjawab. Dada saya tadi bergemuruh, sekarang runtuh. “Bapak apanya Ismail Mundu?” Ulama besar. Mufti Kesultanan Kubu. “Saya cucu Ismail Mundu.” Ismail ini santuy. Tak ada beban. Saya raih tangannya. Saya bilang, “Sappo kik.” (Bersaudara kita).
Ia cucu Daeng Gadog. Daeng Gadog sepupu Ismail Mundu. Makamnya berdampingan di Mesjid Batu. Beruntung saya menyapa Ustadz Ismail ini. Banyak dia berbagi ilmu. Sampai kepada Guru Ibrahim yang aktif mengajar ilmu agama keliling kampung. Termasuk kampung saya Sungai Raya Dalam. Guru Ibrahim dimakamkan di Sungai Wan Wi Sungai Ambawang. Muridnya sedang membangun Pondok Pesantren di sana. Masya Allah. Giat dakwah jalan terus tiada henti. Senang rasa hati bersua zuriyat genetis Haji Ismail Mundu. *