in

Ismail Gadog dan Ismail Mundu

ismail gadok

Oleh: Nur Iskandar

Sesama orang darat alias orang kebun kami saling sapa. Tanya tanya anak siapa dari mana. Rupanya kami keluarga. Inilah pentingnya sapa menyapa. Tidak boleh diam durja. Apalagi menganggap remeh. Memandang sebelah mata. “Saya Ismail,” katanya. Domisili Jalan Penjara. Asal Teluk Pakedai. Dalam dada saya bergemuruh. Teluk Pakedai mana? Saya memburu. “Mesjid Batu.” Begitu lelaki 60th ini menjawab. Dada saya tadi bergemuruh, sekarang runtuh. “Bapak apanya Ismail Mundu?” Ulama besar. Mufti Kesultanan Kubu. “Saya cucu Ismail Mundu.” Ismail ini santuy. Tak ada beban. Saya raih tangannya. Saya bilang, “Sappo kik.” (Bersaudara kita).

Ia cucu Daeng Gadog. Daeng Gadog sepupu Ismail Mundu. Makamnya berdampingan di Mesjid Batu. Beruntung saya menyapa Ustadz Ismail ini. Banyak dia berbagi ilmu. Sampai kepada Guru Ibrahim yang aktif mengajar ilmu agama keliling kampung. Termasuk kampung saya Sungai Raya Dalam. Guru Ibrahim dimakamkan di Sungai Wan Wi Sungai Ambawang. Muridnya sedang membangun Pondok Pesantren di sana. Masya Allah. Giat dakwah jalan terus tiada henti. Senang rasa hati bersua zuriyat genetis Haji Ismail Mundu. *

Written by Nur Iskandar

Hobi menulis tumbuh amat subur ketika masuk Universitas Tanjungpura. Sejak 1992-1999 terlibat aktif di pers kampus. Di masa ini pula sempat mengenyam amanah sebagai Ketua Lembaga Pers Mahasiswa Islam (Lapmi) HMI Cabang Pontianak, Wapimred Tabloid Mahasiswa Mimbar Untan dan Presidium Wilayah Kalimantan PPMI (Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia). Karir di bidang jurnalistik dimulai di Radio Volare (1997-2001), Harian Equator (1999-2006), Harian Borneo Tribune dan hingga sekarang di teraju.id.

ahmad pecimiring

AHMAD, peci miring ke kiri ala Musso, dan guru politik pertama

Foto saat studi di ITD Amherst Massachusetts 2002

“Happy Thanksgiving”