Oleh: Ambaryani
Beberapa minggu lalu, teman lama saya beserta istri dan anaknya main ke rumah yang saya tinggali di Teluk Nangka. Dia tinggal di Teluk Nangka A TR 18.
Dulu, dia beserta istrinya sempat merantau ke Batam Riau. Bekerja di pabrik garmen. Tapi, kemudian memutuskan pulang kampung dan mengarap kebun kelapa milik orang tuanya.
“Awale soro Mbak…pas pertama nderes. Loro kabeh awakku”, dia bercerita pengalaman pertama kali noreh kelapa, yang menurutnya berat. Badannya sakit semua karena belum terbiasa.
Tapi, sekarang tidak lagi. Apa lagi sekarang harga gula kelapa di Teluk Nangka menjanjikan. Begitu menurut dia. Lelah seharian bekerja di kebun terbayar dengan harga yang memadai.
Terlebih hasil nira kebun kelapanya mencapai 35 kg perhari. Dulu per kilonya hanya Rp. 3.500, sekarang sudah Rp. 9000 perkilo. Itu sebabnya banyak warga yang tak tertarik noreh dan memproduksi gula kelapa dulu.
Tapi sekarang hampir rata-rata perekonomian warga dari hasil gula kelapa. Yang tidak punya kebunpun, rela menyewa. Sewa kebun per tahun, untuk ditoreh.
Sewa kebun yang sudah ada pohon kelapa siap toreh rata-rata Rp. 9 hingga 12 juta per tahun. Tergantung luas kebunnya.
Kebangkitan gula kelapa Teluk Nangka, tidak lepas dari adanya pabrik kecap. Karena berapa pun hasil produksi gula warga setempat selalu ditampung oleh pengepul, yang kemudian dijual ke pabrik kecap. Pabrik kecap di Pintianak hingga pulau Jawa.
Untuk kebutuhan pabrik kecap, pengepul tidak pilih-pilih kualitas gula. Hasil maksimal atau tidak, tetap ditampung.
Ya, hasil produksi gula tidak selau maksimal. Bagus. Kering dan masir, bahasa warga setempat. Kadang kala, kalau curah hujan tinggi, gula tidak mengeras maksimal. Agak lembut, molor atau menali. Pecak. Harga tetap sama.
Warga tidak khawatir lagi akan dijual ke mana hasil produksi gula mereka.
Karenasetiap minggu, sudah pasti akan ada pengepul yang mengambil ke rumah-rumah warga. (*)