Oleh: Agus Kurniawan
Naskah yang bertahun lalu hanya sempat diselesaikan sampai pada pembukaan. Tentang Sandai, tentang tanah air kecilku.
Menulis ini dengan niat filmis agar mudah divisualkan. Seperti Kedang. Satu semesta cerita pula dengan Novel pertama dan masih tunggal sampai bulan ini.
Tapi harus herhenti karena kesibukan dan Pesimis, beberapa tahun lalu rasanya tak mungkin membuatnya menjadi hidup.
Namun optimisme bangkit lagi, melihat kemampuan para pendekar film negeri laye. Mungkin kelak, kalau dah siap, bise diangkat jadi film layar lebar, atau paling tidak layar tancap. Uti Fahrul Hakim
Naskah Benibui
- Pendamaran
Siulan melengking memecah sunyi, berisik dedaunan dan gelisah nafas rusa bertanduk melengkung indah bertimpal sahut siulan lainnya dari pepucuk pohon raksasa. Sekali lagi, Rusa bertanduk melengkung indah itu mendongak, memperhatikan sekelilingnya, gelap-sunyi, litani binatang malam bersahut.
Tak ada apa-apa, ia kembali meneruskan memamah buah-buah kelemunting berasa asam.
Siulan terdengar sekali lagi, Rusa itu tak menyadari isyarat-isyarat panjang di balik reranting yang sedang mengatur nasibnya. Hingga tiba – tiba terdengar suara lantak kencang menembus malam, Rusa bertanduk melengkung indah itu meleguh panjang, lalu berlari.
“Cepat kejar” Seru pemilik tembakan kencang diatas temparaan, seorang pemuda gegas membawa serampang dan parang mengikuti lari buruannya. Bertahun menjadi pemburu rusa di hutan dadap ini, ia telah mengenal benar naik dan turun tanah disela raksasa pepohonan belian, ia telah khatam segar wangi mempelam atau busuknya kentut kelensedu’, segera dia menemukan jejak darah di remah cahaya tuar nya
“Ke rumpun Buloh, Ke Payak Layang…” teriak pemuda dengan serampang, parang dan lampu tuar, pemilik tembakan turun menyusur akar gantung yang telah ada disana sejak ia belajar menembak pada Abahnya, bahkan kata abahnya, akar yang mengantarnya naik turun pohon belian itu lebih tua pula darinya.
Segera ia berlari menuju cahaya, hanya boleh ada satu cahaya dalam gelap itu, jika dua maka yang satunya pasti mata Rusa, begitu petuah para pemburu. Karena melanggar petuah pemburu pula, Kupai yang tak tahan gelap, tertembak punggungnya.
Pemuda itu menunjuk kilat cahaya di kejauhan, 5 Tombak menurun dari mereka, Rusa bertanduk melengkung indah mati langkah.
Atek Nuri senyum puas, lelaki berdestar hitam itu tahu benar bahwa peluru nya telah membuat luka di tubuh buruannya, luka membuat Rusa panik hingga salah langkah.
Rusa berusaha berdiri sendirian, di tengah payak tanpa rimbun, matanya berkerjap memelas. Atek Nuri mengambil ancang, tembakan kedua akan melumpuhkannya sama sekali.
Sekali lagi, suara tembakan memecah sunyi di payak layang, tak sempat lagi terkejut Rusa bertanduk melengkung indah itu sudah terkapar, hanya tersisa leguhan pendek-pendek yang keluar dari tenggorokannya
“Cepat…” Lelaki pembawa serampang, parang dan tuar gegas menuruni lembah, menyusul Atek Nuri yang telah 10 langkah di depannya, ada pekerjaan menunggu, dan dia tak pernah suka, tapi mesti dia lakukan. Kali ini.
Sesampai di dekat buruannya, Atek Nuri segera meminta parang tapi urung
“sekali ini kau yang sembelih”
“tapi…”
“Kau tak pernah mau” Atek Nuri mendengus “cepat!” perintahnya, telunjukna menunjuk leher Rusa, darah mengalir deras dari sana. Si Pemuda masih enggan, bertahun mengikut perburuan berdua atau kadang sekelompok yang dipimpin Atek Nuri, Benibui tak sekalipun mau menyembelih tangkapan mereka.
Benibui tak pernah membuka Mulutnya tiap kali dipaksa atau diejek, dia menyimpan alasannya sendiri. Tiap detik parang digenggamnya erat, memberanikan diri, tiap detik itu pula dia terkenang pasangan rusa yang dilihatnya waktu kecil dipondok ladang bersama sang ibu, tiap mahluk berpasangan
“Tiap mahluk berpasangan” kata ibunya membekas dikepala “dia juga punya ayah” dan setiap berkali rusa terkapar melepas nyawa hasil buruannya, ia selalu melihat mata sayu itu, dan dia terkenang sang ayah.
“Aaaah…” Atek Nuri kesal, parang digenggaman Benibui diambilnya, membaca Bismillah dan syahadat Atek Nuri menyembelih binatang itu, Benibui menutup mata sambil menekan keras kakinya ke tanah.
Bau darah menyelinap di antara aroma daun kopi dan cempedak. (*Penulis adalah pecinta literasi Kalbar)