Oleh: Ambaryani —
Pondok Pesntren Mathla’ul Anwar. 10 tahun lalu saya menyelesaikan pendidikan Madrasah Tsanawiyah di sana. Di sanalah pertama kali saya merantau dari kampung untuk melanjutkan sekolah.
Hampir 3 tahun terakhir, saya lumayan sering berkunjung ke sana. Menjenguk sepupu yang sedang mondok. Tiap bulan, kadang lebih.
Tampilan fisik pesantren sudah banyak berubah dibanding pertama kali saya datang tahun 2000. Bangunannya sudah mentereng. Fasilitasnya juga memadai.
Ingat saat saya pertama datang dulu. Asrama putrinya hanya 3 kamar. 1 kamar berisi 5 barak bertingkat. Ranjang tingkat 2. Jumlah seluruh santrinya juga tidak sampai 100 orang.
Tapi sekarang, kata sepupu untuk santri barunya hampir mencapai 200 orang. Saya takjub. Luar biasa.
Hari ini saya ke sana, di samping kiri jalan masuk sedang dibangun asrama. Dulunya rumah ustadz Arif Hasbillah, dan rumah Pak Ya’kub.
Di depan sekali sudah dibuat gerbang tinggi. Kalau bukan pas jam besuk, wali santri tak akan bisa masuk ketemu santri. Ada koperasi, dan kantin yang cukup lengkap. Katanya kelak akan dibuat mini market.
Di depan teras ada pos kecil. Pusat informasi. Setiap ada wali murid, sebut saja nama santrinya. Di ruang itu kemudian sumber suara menggema menggunakan 2 bahasa — Arab dan Inggris, menyebut nama santri yang dimaksud.
“Ila ukhtina Arum, bintidhori ukhtiha! Marrotan ukhro, ila ukhtina Arum, bintidhori ukhtiha!” Begitu kira-kira suara yang menggema.
Di pesantrenlah cikal bakal tumbuhnya kecintaan pada dunia tulis menulis pada diri saya. Dulu belum ada handphone. Untuk komunikasi dengan orang tua di kampung, harus menulis surat.
Setelah surat ditulis, jalan kaki dari Gg. Pak Benceng ke kantor pos lama belakang SPBU Bundaran Kota Baru.
Sekarangsudah tidak ada, berganti jadi rumah makan. Tak jarang pula harus naik oplet ke kantor pos besar, depan Masjid Jihad.
Selain itu, saat dilanda rindu kampung, diary jadi teman. Dear diary. Kadang saya senyum-senyum sendiri mengingat masa itu. Masa-masa labil, galau, alay. Ah, macam-macamlah.
Tapi, alhamdulillah saya pernah mencicipi dinamika di pondok pesantren. Jadi santri. Kemandirian, kedisiplinan, keterampilan, kepercayaan diri ditempa di sana. Ilmu agama, sudah barang pasti. Bekal dunia akhirat. Semoga selalu bermanfaat. Amin. (*)