in

Rezeki Jangan Ditolak

IMG 20180308 093029 251

Oleh: Tuti Alawiyah

Azan Maghrib sudah berkumandang. Belajar malam di Mahad akan segera diumumkan setelah Isya nanti.

“Kepala kame pusing Des,” eluhku pada Desty yang sedang membuka laptop.

“Baringlah, nanti ana bangunkan ente,” ucapnya.

Beberapa menit aku terlelap, namun tanpa sadar aku terbangun dengan sendirinya. Ketika itu suara azan Isya tengah berkumandang. Suara muazin di masjid juga disauti oleh derasan air hujan dan hembusan angin malam.

Tidak seperti biasanya, malam itu, hawa angin dingin tidak membuat kami kedinginan. Masih sama seperti tadi sore. Tetap berkeringat dan kepanasan.

“Hidupkanlah kipas angin ente,” pinta Desty malam itu.

“Matikan dulu Des, sesak rasenye,” balasku karena tak bisa memakai kipas angin terlalu lama sekalipun sedang kepanasan.

“Assalamualaikum, ade botol ndak?” tanya Nisa tiba-tiba muncul. Tanpa dipersilahkan masuk sudah mencari-cari botol di kamarku. Dilihatnya di bawah kolong tempat tidur bekas botolnya kemarin.

“Tak deh,” jawabnya sendiri lalu lekas pergi.

“Belum nggak ngomong, ade bah botol di dapok,” ucapku sendiri.

“Bilanglah ente,” sahut Desty.

“Oh, mau ngambil air die tuh,” kataku membatin.

Saat itu keadaan Mahad sedang mengalami musibah kecil. Kami kehabisan air untuk mandi. Sudah sejak pagi air keran mati. Tidak ada inisiatif dari kami untuk menadah air. Padahal, pengalaman semacam ini sudah beberapa kali terjadi.

“Tak deh aek,”kata Zakia meringis, tadi sore.

“Aek untuk mandi ke atau aek untuk minum?” tanyaku saat baru tiba di asrama.

“Dua-duanye”.

“Alah mak, aek ye belum hidup jua”.

Beberapa saat kemudian, suara keriuhan dan tumpahan air terdengar dan Desty pun berjalan membuka pintu. Terlihat di depan kamarku beberapa teman sebaya sedang menjinjing ember berisikan gayung, galon kosong dan ada juga yang membawa botol kosong.

“Ehm .. pastilah tuh lagi nak nadah aek,” ucapku membatin.

Begitulah jika hari hujan. Apalagi air keran mati. Semakin menambah kekuatan anak Mahad untuk sehe menadah air. Meskipun harus menadahnya menggunakan gayung sedikit demi sedikit lalu memasukkannya lagi ke dalam ember yang di atasnya ada kain sebagai penyaring. Setelah penuh ember berisikan air hujan itu dimasukkan lagi ke dalam galon.
Aku pun bergegas menuju pintu dan menongolkan kepalaku sedikit mengintip keluar melihat suasana keributan mengantri air hujan.

“Sehe .. mereka tuh nadah air, tapi memang sih air keran lagi mati. Terlebih lagi air galon anak Mahad sudah pada kehabisan,” ucapku membatin.

Melihat mereka, Desty pun meminta botol kosongku. Kami juga ikut mengantri. Tapi malangnya mereka yang menadah air tak kelar-kelar juga. Terlihat air hujan yang tadinya deras kini semakin berkurang derasnya. Kukira sebentar lagi akan mereda. Kebetulan di depan samping kamarku saja yang bisa ditadah. Hanya tempat satu-satunya.

“Nah, ngantrilah ente, ana nak facebookkan lok,” bilang Desty sembari mengembalikan dua botol kosong berukuran besar padaku.

Aku kembali memperhatikan mereka. Sepertinya ini tak kunjung usai sampai segala tempat sebagai wadah air mereka itu penuh. Maklum sepertinya sampai besok pagi air keran takkan hidup. Mereka mungkin berinisiatif untuk pakai mandi besok pagi.

“Eh, Nanda isikanlah?” mintaku sedikit memohon padanya karena ia paling berkuasa sejak tadi menadah air hujan.
Nanda memberi.

“Alhamdulillah,” syukurku membatin setelah menerima air di dua botolku ini.

“Yeh biselah untuk cuci muke same mandi nih Des,” cetusku ke Desty.

“Hah … Tut, Tut,” balasnya. Karena airnya tak mungkin cukup untuk pakai mandi.

Beginilah keadaan saat kami kekurangan air. Tapi tak menciutkan nyali untuk tetap berusaha mencari air. Tidak hanya menadah air hujan. Kami juga mengangkut air dari tempat lain. Namun, keinginan untuk tetap berada di asrama tetap masih terpatri hingga saat ini. (*)

Written by teraju

IMG 20180308 090905 023

Chinese New Year and Field Trip to Singkawang

images

Mamang Pentol Kuah Korban Jeli