Oleh : Khatijah
Refreshing adalah kata yang tepat untuk lari dari kekosongan bahan tulisan (alasan). Menyapa orang-orang yang pernah memberikan motivasi juga bukan ide yang buruk, meminta saran kepada mereka menambah tali silaturahim. Tapi tetap saja ada yang kurang puas di benakku, aku belum menemukannya. Menurutku mungkin belum dapat bahan tapi bukan alasan yang tepat. Keluar rumah pilihanku, tempat yang sudah lama tak aku kunjungi Jl Karimata Kafe Zee tujuanku.
Lama sekali rasanya tidak ke sini, bahkan abang yang biasanya menyapaku ketika memberikan menu juga sepertinya tidak mengenalku lagi. Entahlah apa yang berubah dari diriku. Sepi tidak seperti biasanya, musik juga tidak dinyalakan oleh pemilik Zee ini.
Mataku hanyut ke jalanan melihat orang berlalu lalang, pikiranku tengelam pada kalimat apa yang akan kubungkus setelah ini. Tak lama pesanan kami sampai, kuucapkan terima kasih ke abang pengantarnya, ia hanya menganguk sepertinya benar dugaanku ia tak lagi mengenaliku. Karena kalau ia masih mengenalku pasti ia menyapa dan tak lagi bertanya apa pesananku.
Sekitar pukul 20:10 WIB, di persimpangan jalan tepat di samping kanan Kafe Zee di depan tempat aku duduk. Ada seorang kakek-kakek dengan berpakaian kumuh, celana pendek, berselimutkan sarung, botol air minum di depannya dengan di bungkus kantong hitam, duduk dipertigaan jalan di bawah lampu merah sedang membaca buku.
Awalnya kukira ia pengemis, ada sedikit rasa malu kepada diriku sendiri saat melihatnya terlintas dengan seketika pikiran “Kakek pengemis itu saja membaca”. Tak lama datang beberapa remaja yang mendekatinya, entah apa yang mereka tanyakan kepada kakek tersebut. Aku tak bisa memastikan apalagi mendegar dengan jelas karena jarakku yang lumayan jauh belum lagi suara hiruk pikuk kendaraan, yang pastinya beberapa remaja tersebut memberinya uang.
Setelah ditinggal remaja, kakek tersebut kembali membaca. Bahkan kali ini lebih tampak serius, aku jelas sekali sangat penasaran dengan buku apa yang dibacanya. Tak menunggu lama lagi aku langsung mendekati kakek tersebut, kebetulan kendaraan kosong di jalan menuju arah kakek. Sekitar 5 langkah jarakku dan jarak kakek, tiba-tiba perasaanku menjadi tidak enak bahkan rasa takut menghantuiku. Entahlah rasa apa itu, sulit untuk kujelaskan yang pastinya langkahku mundur. Dua langkah mundurku, kakek itu langsung melihatku bahkan bertanya “Ada apa Cuk?”.
“Tadak Kek,” jawabku.
Susunan abjad terlihat olehku, tulisan-tulisan Arab.
Aku kembali ke Zee, mataku tetap terfokus ke kakek yang asik membaca diterangi cahaya lampu jalanan. Tak lama mobil Dinas Sosial datang, 2 orang laki-laki separuh baya mendekatinya, ditambah lagi bapak pemilik Zee menyusul mereka.
Entah apa yang mereka bicarakan, yang pasti bapak-bapak tersebut membujuk kakek agar tidak duduk di sana. Satu orang laki-laki yang mengemaskan botol minuman kakek tersebut sepertinya dimarahkan kakek, sebab kakek menunjuk-nunjuk bapak yang memegang botolnya dengan santai, sedang bapak satunya yang sedikit gemuk mengunakan topi menelepon memasang wajah gelisah entah siapa yang diteleponnya, pemilik Zee tetap membujuk kakek. Tak lama kakek mengambil sendal swalow berwarna orange di bawah pantatnya, sembari menutup buku yang dibacanya lalu pergi dengan tergesa-gesa meninggalkan ketiga bapak tersebut.
2 bapak yang keluar dari mobil dinas sosial mengejarnya, sedang bapak pemilik Zee membereskan koran bekas kakek duduk. Bapak pemilik Zee pun kembali ke kafe istrinya yang menunggunya di belakangku sepertinya tidak sabar menanti cerita dari suaminya.
“Kemane die nak pegi tu?” tanya sang istri kepada suami sembari menunjuk kakek yang berjalan tergesa-gesa memaksakan kaki kirinya yang pincang.
“Tak tau gak, ade bah surat-surat dari Kubu Raya nyatekan die tu udah tak bise dengar agik, penglihatan e udah tak jelas,” jawab suaminya. Aku mendekati mereka, sembari mengusir rasa penasaranku.
“Siape kakek itu tu Pak, Bu?”
“Orang udah tue dahbe Dek, tak ade keluarge dah,” jawab si istri.
“Baru malam ini bah die ade tu, ade yang nelepon petugas tadik tu ngasik taukan kalo die dikasik duit,” lanjut sang bapak. Aku semakin bingung mendengar ceritanya. Tak kuambil pusing, kudengarkan saja. “Buku primbon pulak dibacehe tu, entah nampak ke tadak,” heran si bapak.
Ingin sekali kutanyakan kejelasannya permasalahannya kepada si bapak Zee, tapi sayang belum sempat bertanya beliau dan istri langsung masuk ke dapur Zee. Selesai.
Tidak dengan perihalku, aku merasa kasihan kepada kakek tersebut. Banyak pertanyaan yang bermunculan di benakku, kemana istrinya, kemana saudaranya, kemana anak dan cucunya, gak mungkin rasanya gak ada satupun kerabat yang peduli dengannya. Tapi itu urusan Tuhan, nikmat yang diberikan kepadanya. Tiba-tiba saja aku teringat orangtuaku. Semoga di hari tua nanti tidak ada sanak saudaraku yang ditelantarkan seperti itu. Iya. Mungkin ini masalahku, perihal yang selalu aku abaikan, keadaan yang selalu aku ketepikan. Anak seperti apa aku, berani menyapa dan menanyakan kabar ibu bapak orang lain, orang yang aku anggap sebagai motivasi sedang ibu dan ayahku. Aku tak berani menanyakan kabar mereka, bukan tak berani tepatnya aku malu. Ingin sekali aku menyapa dan berbagi cerita kepada mereka tapi ada sesuatu yang selalu menjanggal jika aku ingin berkeluh kesah kepada mereka, al-hasil jika ingin menghubungi mereka aku hanya berani jika ada kabar yang membuat mereka gembira, launching buku baru misalnya.
“Ridho Allah ada di ridho orangtua”. Iya, itu jawaban semua perihalku saat ini.
Pontianak, 25 Maret 2018