Oleh: Suhaimi
Perjalanan saya kali ini bukan hanya sebatas pulang kampung akan tetapi tugas dinas dari kampus untuk ikut melakukan survey atau mengidentifikasi lokasi yang akan dijadikan sebagai tempat kegiatan “Kampung Riset” di tahun 2020. Tugas dinas saya dari kampus ke Batu Ampar bukan yang pertama kali. Kedatangan ini merupakan perjalanan yang kesekian kalinya setelah beberapa kegiatan juga pernah dilakukan dan dilaksanakan di Desa Batu Ampar ini– seperti Tour Dakwah Tahun 2010 yang merupakan acara Finalisasi Kegiatan Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswa yang lebih familiar disebut dengan PBAK, dan KKL pada tahun 2017.
Perjalanan cukup jauh karena harus melewati sungai dan laut dengan waktu yang lumayan lama untuk ukuran perjalanan menyeberang sebuah pulau. Akan tetapi bagi saya sebagai anak yang berasal dari pulau tentu sudah terbiasa dan bahkan mengasyikkan, karena banyak kenangan yang harus saya review kembali. Ketika, masa-masa sekolah harus pulang kampung karena bekal (ongkos) atau uang persediaan yang diberikan oleh orang tua sudah habis, maka satu-satunya pilihan transportasi yang harus digunakan adalah kapal motor. Mau tidak mau, suka atau tidak suka karena harus menyesuaikan sisa uang yang ada di kantong.
Batu Ampar adalah salah satu Desa yang pada era 80-an punya nama besar, ini yang saya sebut dengan “Masa Kejayaan” karena dikenal sampai ke Eropa, faktanya memang banyak kapal asing selalu mangkal dan berlabuh persis di sungai yang berhadapan langsung dengan pula Desa Batu Ampar yang dikenal dengan Pelabuhan Internasional Teluk Air. Tak jarang juga beberapa kapal asing tersebut juga berlabuh di persimpangan sungai yang berhadapan langsung dengan pulau Teluk Air, sehingga wajar saja Desa Batu Ampar dulu dikenal sebagai daerah penghasil kayu terbesar didukung dengan perusahaan-perusahaan besar yang beroperasi di pinggiran sungai di wilayah Desa Batu Ampar. Sebut saja PT. Kalimantan Sari, perusahaan paling besar tahun 80-an. Ketika PT. Kalimantan Sari tutup bermunculan perusahaan-perusahaan yang juga fokus pada pengolahan kayu seperti PT. Bamico (Dusun Sungai Limau), PT. MKD (Dusun Tanjung), PT. Bumi Raya Group (Dusun Mastura sekarang Dusun Gunung Kruing), PT. Sinar Timur, PT. Aria Jaya, PT. Satya Dhaya Raya (SDR), PT. Hutan Raya, dan PT. Lapan-Lapan.
Merefleksi kembali ingatan masa kecil yang luar biasa indah, asyik dan menyenangkan, tentu saja sebagian dari kita saat ini tidak akan pernah percaya kalau dulu “Kampung Teluk Air” lebih besar dan lebih ramai dilihat dari kuantitas penduduk dan aktivitas perusahaannya karena sebagian besar perusahaan-perusahaan tersebut berdomisili di Teluk Air.
Walaupun secara struktur organisasi pemerintahan desa, Teluk Air bukanlah sebuah desa melainkan sebuah dusun, akan tetapi saking ramainya penduduk dan aktivitas perusahaan yang luar biasa maka kebijakan Pemerintah Kabupaten pada waktu itu menunjuk lokasi Kantor “Polisi Sektor” Batu Ampar di Teluk Air sebagai tempat mangkal dan beroperasinya para Polisi untuk menjaga keamanan se-Desa Batu Ampar. Sampai saat ini kita masih dapat melihat bangunan Kantor Polsek yang masih berdiri tegak walupun sudah tidak difungsikan lagi, karena Kantor Polsek saat ini sudah dipindahkan ke Desa Batu Ampar.
Desa Batu Ampar ketika perusahaan kayu masih beroperasi dulu hanya dijadikan oleh sebagian karyawan perusahaan sebagai tempat “kunjungan mingguan” dan “rekreasi keluarga” dengan memanfaatkan waktu Sabtu dan Minggu sebagai hari libur kerja untuk menikmati suasana lain setelah penat bekerja. Bioskop pada era tahun 80-an masih menjadi media hiburan yang luar biasa yang hanya ada di Batu Ampar. Apalagi kalau yang ditayangkan film “Rhoma Irama” bisa dipastikan seluruh kampung dan seluruh Karyawan Perusahaan yang ada di sekitaran wilayah Desa Batu Ampar akan hadir di pertunjukan itu dengan menggunakan “Taksi” –istilah yang biasa digunakan oleh masyarakat setempat atau kapal motor komersil dengan bayaran sekali jalan Rp. 500,- (Lima Ratus Rupiah). Tak jarang juga perusahaan memfasilitasi karyawannya menggunakan kapal motor yang dimiliki oleh perusahaan.
Seiring dengan berjalannya waktu “masa kejayaan” itu kini tinggal kenangan saja. Dimulai, tahun 90-an akhir masuk tahun 2000-an satu per-satu perusahaan kayu itu colaps, sehingga memberikan dampak yang sangat siginifikan terhadap perekonomian masyarakat Desa Batu Ampar. Menurut Bang Mulyadi (Panggilan akrab Bang Bol), dulunya penghasilan mereka didapat dari statusnya sebagai karyawan perusahaan yang menerima gaji mingguan, akan tetapi saat ini mereka harus berjibaku dengan berbagai macam pekerjaan apapun yang bisa menghasilkan uang untuk menafkahi keluarga, biaya anak sekolah dan kebutuhan lain yang mereka inginkan tanpa mereka bisa pastikan berapa besaran uang yang mereka dapatkan dari hasil pekerjaan tersebut. Tak jarang mereka harus melakoni dua profesi sekaligus, seperti menjadi nelayan menangkap kepiting, Ikan dan udang, serta menjadi Petani Arang Bakau sebagai sambilan oleh sebagian masyarakat.
Begitu juga pak Abdul Jalil atau biasa disapa dengan “Cek Dulel” beliau sejak saya masih kecil sampai sekarang masih betah menjalani profesinya sebagai nelayan kepiting bahkan kalau boleh saya memberikan penilaian beliau “menikmati” pekerjaannya sebagai nelayan ke.piting, walaupun sebenarnya tidak memberikan perubahan apapun dari sisi ekonominya.
Secara geografis Desa Batu Ampar sangat strategis dan dari sisi ekonomis Desa Batu Ampar menjadi jalur sutra mengingat Desa Batu Ampar sebagai tempat transit transportasi air (Kapal Motor) yang mengangkut berbagai macam kebutuhan sembako selain penumpang untuk menuju Kabupaten Kayong Utara dan Kabupaten Ketapang atau sebaliknya. Oleh karenanya menurut hemat saya sudah seharusnya pemerintah Desa Batu Ampar melakukan kajian secara intensif untuk menggali potensi yang dapat dimaksimalkan untuk kesejahteraan masyarakat, misalnya melakukan koordinasi dan kerjasama dengan Pemda Kubu Raya terkait Pengelolaan Hasil Tangkapan Nelayan (Kepiting, Ikan dan Udang) dalam bentuk oleh-oleh kuliner khas Batu Ampar dan Pengelolaan Arang Bakau agar dapat dikelola secara profesional dan modern, sehingga hasilnya juga memberikan dampak positif bagi keberlangsungan jangka panjang, seperti memberikan pelatihan-pelatihan secara rutin dan berkelanjutan.
Potensi wisata juga sangat menjanjikan baik dari Dalam Negeri maupun Luar Negeri kalau pemerintah Desa dibantu dengan Pemerintah daerah mau menjadikan ini sebagai fokus perhatian yang serius sebagai Pendapatan Asli Daerah, seperti misalnya spot pemancingan ikan air tawar dan air asin. Menurut cerita Bang Is dan Bang Arif, orang-orang yang datang untuk menguji adrenalin mereka untuk mancing di wilayah ini bukan hanya orang lokal saja, bahkan ada dari luar negeri seperti Jepang dan beberapa wisatawan dari manca negara. Oleh karena itu, menurut saya kalau ini dikelola dan diekspose secara profesional dan modern dengan media sosial yang ada tentu ini akan menjadi potensi yang luar biasa untuk Desa Batu Ampar.
Tentu saja kita berharap potensi Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia yang dimiliki oleh Desa Batu Ampar sebagai anugerah Allah yang luar biasa dapat dikelola secara profesional dan modern, sehingga bukan tidak mungkin “Masa Kejayaan” tahun 80-an yang dikenal penghasil kayu terbesar dapat kembali berjaya, walaupun dengan segmentasi yang berbeda: bukan lagi pada kayu, akan tetapi potensi wisata lautnya dan kulinernya.
Allahu a’lam bish-shawab. (Suhaimi, IAIN Pontianak)