Oleh: Wajidi Sayadi
Rasulullah SAW. pernah melewati seorang laki-laki yang sedang berada di bawah naungan pohon, dirinya sedang disiram air oleh teman-temannya (seperti orang pingsan). Lalu Beliau bertanya: “Apa yang terjadi pada diri teman kalian ini?” Mereka menjawab: “Wahai Rasulullah, dia sedang berpuasa. Mendengar jawaban itu. Beliau langsung merespon dengan kalimat teguran: “
إِنَّهُ لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ أَنْ تَصُومُوا فِي السَّفَرِ وَعَلَيْكُمْ بِرُخْصَةِ اللَّهِ الَّتِي رَخَّصَ لَكُمْ فَاقْبَلُوهَا
Sesungguhnya bukanlah termasuk kebaikan jika kalian berpuasa sedang dalam perjalanan. Hendaklah kalian mengambil keringanan yang Allah berikan kepada kalian, terimalah keringanan tersebut. (HR. Nasai dari Jabir bin Abdullah).
’Amr ibn ‘Ash, menceritakan, Pada suatu malam cuaca sangat dingin di suatu perjalanan menuju peperangan, Amru bin ’Ash bersama pasukan istirahat. Ia mengatakan, saya bermimpi hingga mengeluarkan sperma, ketika hendak mandi junub, saya khawatir bisasakit dan mati, jika mandi, maka saya bertayammum saja. Kemudian saya shalat subuh berjamaah bersama pasukan. Ketika sampai di Madinah, para sahabat menceritakan kasusku ini kepada Nabi SAW. Lalu Beliau mmemanggilku dan bertanya, wahai ‘Amr, Anda shalat berjamaah bersama sahabatmu sedang engkau junub? ‘Amr bin ‘Ash, “Menjelaskan kepada Nabi SAW. mengenai yang menghalangi dirinya untuk mandi junub karena cuaca sangat dingin, dan saya katakan, bahwa saya mendengar Allah berfirman:
وَلاَ تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“Janganlah engkau membunuh diri kamu sendiri. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepada kalian. QS. An-Nisa, 4: 29). Mendengar penjelasan ‘Amr, Rasulullah SAW. ketawa dan tidak mengucapkan sepatah kata pun. (HR. Hakim).
Diamnya Rasulullah SAW. inilah yang disebut Taqrir, yakni Rasulullah SAW. setuju dan sependapat dengan apa yang dilakukan oleh ‘Amr bin ‘Ash.
Dalam hadis pertama di atas, Rasulullah SAW. menegur seseorang yang memaksakan dirinya untuk tetap berpuasa, padahal ia sudah dalam keadaan sangat haus, kepanasan, letih, loyo, seperti orang mau pingsan pingsan.
Rasulullah SAW. menegaskan, Allah memberikan keringanan untuk tidak berpuasa, tapi wajib menggantinya ketika sudah sehat dan sampai di daerahnya.
Hadis kedua, Nabi SAW. menyetujui sikap ‘Amr bin ‘Ash yang mengganti mandi junub dengan tayammum menggunakan debu karena cuaca sangat dingin yang bisa membahayakan kesehatan bahkan mengancam keselamatan jiwanya.
Atasa dasar hadis inilah para ulama merumuskan dalam ilmu fiqh mengenai syarat wajibnya berpuasa adalah dalam keadaan sehat dan tidak dalam keadaan musafir.
Ketentuan ini juga berlaku dalam pelaksanaan shalat jumat. Bagi mereka yang sakit dan dalam keadaan musafir, boleh tidak shalat jumat, tapi ia tetap wajib shalat dhuhur.
Demikian juga, bagi mereka yang tidak bisa mandi atau berwudhu karena sakit atau cuaca dingin, maka boleh diganti dengan tayammum.
Ketentuan ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama kemanusiaan, agama yang sangat peduli dan perhatian terhadap masalah kesehatan dan keselamatan jiwa manusia.
Para ulama, terutama ulama ushul fiqh, merumuskan lebih jauh bahwa beribadah bukan sekedar untuk mendapatkan pahala sebanyak-banyaknya, akan tetapi semua ketetapan hukum dalam Islam punya tujuan yang mulia, yang disebut sebagai Maqashid asy-Syariah (Tujuan-tujuan ditetapkannya Hukum Syariat).
Secara garis besarnya, tujuannya adalah
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ وَ جَلْبُ الْمَصَالِحِ
Menolak segala macam bahaya dan mendatangkan segala kebaikan.
Atas dasar kaedah inilah muncul perincian Maqashid asy-Syariah, kita beragama dengan menjalankan hukum, tujuannya untuk:
- Menjaga agama (حفظ الدين)
- Menjaga keselamatan jiwa (حفظ النفس)
- Menjaga akal (حفظ العقل)
- Menjaga keturunan (حفظ النسل)
- Menjaga harta benda (حفظ المال)
Semua ketetapan ibadah dalam Islam, pada prinsipnya mengacu kepada lima Maqashid asy-Syariah tersebut. Termasuk yang sangat prinsip adalah menjaga kesehatan dan keselamatan jiwa.
Itulah sebabnya Rasulullah SAW. melarang berpuasa bagi orang yang sakit dan sedang dalam keadaan musafir. Orang yang mau berwudhu atau mandi junub tapi karena cuaca sangat dingin atau karena sakit, maka dibolehkan menggantinya dengan tayammum menggunakan debu.
Hal ini karena kesehatan dan keselamatan jiwa sangat dijaga dalam Islam.
Puasa Ramadhan dan shalat jumat adalah kewajiban, tetapi karena kesehatan dan keselamatan jiwa sangat dipentingkan dalam Islam, maka agama memberikan keringanan untuk tidak melaksanakannya, tapi diganti pada hari lainnya, shalat jumat diganti dengan shalat dhuhur. Apalagi kalau ibadah itu tidak wajib alias sunnat saja, maka jangan memaksakan diri hanya karena ingin memburu pahala yang banyak.
Mengikuti ketentuan agama, termasuk menjaga kesehatan dan keselamatan jiwa itulah sebenarnya pahala yang banyak.
Beribadah dengan modal semangat, tapi salah kaprah, maka bisa jadi justru menyusahkan diri sendiri.
Apalagi kegiatan keramaian yang bukan ibadah bahkan tidak terlalu penting, justru berpotensi penularan virus penyakit, maka seharusnya dihindari.
Pada tanggal 20 Juli 2008 (lebih 11 tahun lalu) ada yang mengirim surat bertanya ke Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Kalimantan Barat mengenai hukum ibu hamil yang diperiksa oleh dokter kandungan yang laki-laki.
Saya selaku Ketua Komisi Fatwa MUI pada waktu itu, memberikan jawaban dan penjelasan, bahwa ibu-ibu hamil yang memeriksakan kesehatannya, bersalin atau operasi cesar yang ditangani oleh dokter spesialis kandungan yang laki-laki adalah boleh, dan tidak haram, dengan catatan sebelumnya sudah berusaha mencari dokter kandungan yang perempuan, namun tidak ada atau sangat susah, pasien harus ditemani oleh mahramnya, tidak membiarkan berduaan dokter kandungan laki-laki dengan pasien perempuan dalam kamar pemeriksaan atau kamar operasi.
Salah satu dasar pertimbangan penetapannya adalah menggunakan kaedah Maqashid asy-Syariah.
Menjaga kesehatan dan keselamatan jiwa janin bayi dan ibunya lebih tinggi kedudukan dan pentingnya dari pada sekedar menutup aurat dan pembatasan hubungan lawan jenis yang bukan mahram.
Dengan kata lain, bahwa menjaga kesehatan dan keselamatan jiwa berada pada level adh-Dharuriyyah (Mendesak), sedangkan menutup aurat dan pembatasan lawan jenis yang bukan mahram berada pada level hajiyyah (kebutuhan), bahkan ada yang menyebutnya pada level tahsiniyyah (kelengkapan).
Para ulama di berbagai negara Islam termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam mengeluarkan fatwa terkait shalat jumat di tengah kondisi wabah virus Corona ini menggunakan kaedah Maqashid asy-Syariah dan kaedah ushul fiqh:
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
Menolak segala macam bahaya lebih didahulukan daripada yang mendatangkan segala kebaikan.
Kebijakan pemerintah yang membatasi ruang gerak (social distancing) dan membatasi kebebasan kita untuk sementara sebagai bagian dari upaya pencegahan penularan virus corona ini, sesungguhnya sesuai dengan ajaran agama berdasarkan kaedah ushul fiqh, sebagaimana yang disebutkan di atas.
Mencegah lebih baik daripada mengobati.
Semoga pemerintah semakin memaksimalkan perannya dalam mengatasi wabah virus corona ini, dan masyarakat juga mematuhi kebijakan, rambu-rambu, dan himbauan pemerintah.
Semoga Pemerintah dan masyarakat bersatu bersama-sama bekerja keras mengatasi wabah virus corona ini sebagai bencana kemanusiaan.
Semoga Allah melindungi dan menyelamatkan kita semua, para petugas medis, dan relawan dari bahaya virus corona ini.
Semoga yang sudah terpapar segera sembuh dan sehat kembali seperti biasa.
Semoga Bermanfaat
Pontianak, 21 Maret 2020