Oleh: Ambaryani
Sudah lebih sebulan terakhir, Pontianak diselimuti kabut asap. Sulit bisa menghirup udara segar di Pontianak jika sudah musim begini.
Aktivitas luar rumah menjadi sangat tidak nyaman. Mata menjadi pedas, pernafasan menjadi sesak terkena kabut asap tebal. Sudah banyak yang terkena batuk pilek. Banyak juga yang punya penyakit asma dan alergi debu dan asap menjadi akut dengan kondisi ini.Jika orang dewasa saja sangat terasa dampaknya, apa lagi anak-anak.
Anak-anak tak bisa sepanjang hari dikurung di dalam rumah. Tidak ada aktivitas luar rumah. Dunia bermain mereka jadi sangat terbatas.
Alhasil, televisi menjadi santapan sepanjang hari karena harus stay di rumah. Selain televisi, gadget menjadi daya tarik selanjutnya.
Kondisi ini menjadi dilema baru. Anak-anak terhindar asap dan debu, tapi matanya terus terpapar radiasi dan cahaya televisi juga gadget.
Jika sudah begini, bagai buah simala kama. Maju mundur kena. Menghindari satu bahaya, terkena ancaman bahaya lain.
Kemudian, menjadi berandai-andai sendiri. Andai ada belahan bumi lain yang masih asri dan bebas jerebu.
Tapi inilah kampung halaman kita Pontianak dengan dilemanya. Apapun itu, harus terus berusaha meminimalisir kondisi yang sudah parah ini. Harus sama-sama berpikir apa solusi terbaik.
Semoga saja masyarakat akan semakin mawas akan bahayanya membakar lahan. Berapa banyak anggaran negara yang dihabiskan untuk menangani kebaran hutan dan lahan yang terjadi di sana-sini.
Belum lagi, dampak dari asap, akan memaksa masyarakat lebih sering menjalani pengobatan. Karena batuk, pilek dan lebih akut infeksi saluran pernapasan.
Kabut asap selalu menjadi persoalan rutin tahunan disetiap musim kemarau. Entah kapan hal ini akan terselesaikan dan tak lagi menjadi persoalan tahunan.
Ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemimpin yang baru saja terpilih. Jika dulu Gubernur Jakarta, prioritas 100 hari pertama adalah mengatasi banjir dan macet. Mungkin bagi pemimpin Kalbar yang sudah dipilih serentak 27 Juni lalu, hal ini akan jadi PR utama. Agar di tahun depan tidak kembali terjadi. Karena memang, Kalbar masih memiliki banyak hutan. Walaupun sudah banyak hutan yang beralih menjadi lahan perkebunan. Semoga akan ada solusi jitu terbaru. Amin.