Oleh: Nur Iskandar
Sewaktu SD kelas 1 saya belum bisa baca huruf latin. Tapi saya sudah kenal huruf Ija Iyah. Huruf aksara Arab. Kenapa begitu? Karena mengaji. Belajar membaca kitab suci. Alquranul Karim. Kitab bacaan yang mulia. Membacanya dapat pahala. Lagi mulia dan indah. Sastrawi. Mudah sekali dihapal dan dicerna. Hatta oleh anak anak seperti saya. Berkat pandai Ija Iyah saya mudah sekolah. Mudah baca huruf latin dimana Alif adalah A. Ba adalah B. Ya adalah Y. Dst. Relatif sama. 99 persen. Bedanya hanya tak ada letter lux huruf O kecuali U. Tapi varian S luar biasa. Ada Shod. Ada Syin. Ada Sin. Juga C. Ada Tsa.
Mengenal aksara Arab sejak dini mengolah otak untuk cepat pandai baca kitab latin yang kita pakai di Indonesia. Bahkan jadi tantangan untuk kenal huruf kanji yang dipakai China, Jepang dan Korea.
Soal aksara, sebaiknya kita kuasai agar banyak kitab bisa kita pahami. Bisa belajar ilmu jazirah Arab dan Asia serta Eropa. Belajar adalah keniscayaan kalau mau menguasai dunia. Membaca adalah kunci membuka gudang ilmu. Gudang ilmu adalah buku. Jadi, penggunaan aksara Arab bagi kami adalah budaya baca sejak dini. Hal itu telah berurat berakar. Bahkan menyumbang IPM Indonesia karena melek huruf. Bisa membaca. IPM adalah Indeks Pembangunan Manusia.
Sedari kecil kami diajar haus akan ilmu. Termasuk Latin untuk Belajar Bahasa Inggris. Juga kanji untuk belajar bahasa Mandarin. Tidak ada kamus memusuhi bahasa. Karena bahasa adalah budaya. Budaya tertinggi malahan. Kita bisa melihat ketinggian suatu budaya bangsa ya dari bahasanya. Dari pribahasanya. Dari serat sastranya.
Bahasa Melayu identik dengan Arab. Identik dengan lingua franca. Identik dengan bahasa persatuan. Bahkan kini tergolong Bahasa Internasional. Menyatukan dunia pula.
Kita harus bangga. Dan tahu sejarah Sumpah Pemuda. Tahu sejarah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Tahu kesaktian Pancasila. Tahu reformasi total. Termasuk reformasi total sumpah serapah dan hoaks kepada akhlakul karimah. Budi pekerti mulia yang ibarat PanTun (Sopan dan Santun).
Satu kesatuan sejarah ini ada di Bumi khaTULIStiwa. Jejak kesejarahannya pun ada. Lihat tebing layar Istana Qadriyah. Aksara yang dipergunakan adalah Arab Melayu. Telah terpatri sejak 1771. Itu pula yang diadopsi sebagai aksara dwilingual nama Jalan Tanjung Raya. Itu pula yang diadopsi Rumah Melayu. Tidaklah ada yang kliru abang, kakak, bapak-ibu. Jika kita tarik dari sosiologi historisnya sudah hadir dan mengalir sepanjang Kapuas sejak tempo doeloe. Aksara bilingual ini justru lebih kental di Sambas, Ketapang dan Sintang. Begitulah adanya. Kita semua perlu tahu aspek historis dan akademis itu. *