Oleh: Yusriadi
Banyak berita yang menggugah rasa kita sebagai manusia. Berita media tentang anak yang terjangkit virus corona melalui orang tuanya yang bertugas menangani pasien positif virus corona, atau berita tentang orang di cluster tertentu yang tertular virus corona dari kegiatan ramai, merupakan sedikit contoh.
Kita tergugah karena orang-orang yang tertular melalui transmisi lokal itu adalah orang-orang yang tidak tahu apa-apa. Orang yang tidak ke mana-mana. Kalau corona dipandang sebagai musibah, orang-orang yang terjangkit itu sebagiannya tidak layak mendapat hukuman karantina dan dikucilkan.
Lebih menggugah rasa lagi ketika kita masih mendengar orang yang sesumbar terhadap corona. Mereka menempatkan “tentara Allah” itu –mengutip seorang penceramah, sebagai makhluk yang tidak perlu ditakuti. Bahkan di dalam postingan media sosial, seorang warga menantang agar corona dimasukkan ke tubuhnya, karena dia yakin berita mengenai virus itulah yang dibesar-besarkan. Tambahan lagi ada beberapa orang yang disebut ahli virus mengatakan virus-virus itu tidak berbahaya karena bisa dihadapi oleh imun tubuh.
Orang-orang ini meletakkan ketakutan orang lain terhadap jangkitan virus corona sebagai narasi Yahudi, dan sejenisnya. Corona dilihat sebagai bagian dari konspirasi yang musykil dipahami orang awam, tetapi, sebagian awam itu tidak merasa awam lagi.
Sungguh, sampai hari ini orang-orang yang tidak takut pada virus corona masih sangat banyak. Hatta, corona sudah membunuh 227 ribu orang di seluruh dunia, dan 729 orang di Indonesia. Meski corona telah menyibukkan rumah sakit dengan pasien yang sangat banyak, dan pertugas yang berjuang menyelamatkan nyawa orang-orang yang memerlukan bantuan.
Mereka yang tidak takut ini memiliki narasi tersendiri tentang kematian ini. Kematian adalah takdir. Kematian kalau sudah tiba waktunya tetap terjadi. Soal jumlah, mereka menganggap bahwa setiap hari pun sebelum corona, banyak juga orang yang meninggal dunia. Malah mereka berburuk sangka bahwa kematian jumlah corona itu adalah angka-angkaan.
Ya, memang, hak setiap orang untuk mengeluarkan pendapat. Hak setiap orang untuk percaya dan tidak percaya. Namun, karena mereka berada di sekitar kita, di sekitar orang-orang lainnya, bagian dari penghuni ruang yang sama dengan ruang yang kita tempati, maka sikap mereka jelas sangat mengkhawatirkan kita. Sikap mereka menambah berat beban pemerintah dalam memerangi pandemi corona.
Semoga dengan melihat perkembangan penyebaran virus corona ini, melihat perkembangan cluster-cluster penularan, melihat bagaimana upaya petugas kesehatan, mereka-mereka yang keukeuh pada kekuatan diri menghadapi virus, tergerak hatinya.
Ini bukan soal berani tidak berani. Ini bukan soal akidah.
Sekarang ini, kita bicara soal kemanusiaan. Soal rasa orang kehilangan anggota keluarga. Soal orang yang bertungkus lumus mengurus orang yang sakit. Soal penyebaran penyakit yang tak nampak oleh mata.
Semakin banyak orang yang membangkang perintah pemerintah untuk menjaga jarak, mengkarantina diri, menghindari kerumunan, mengenakan masker, semakin luas peluang jangkitan. Semakin banyak yang terjangkit, semakin lama kita berkutat dalam suasana yang terbatas seperti ini.
Pasti, kita ingin hidup seperti semula. Hidup normal. Hidup tanpa sekatan. Hidup dengan tenang dan bebas. Inilah kemanusiaan kita. (*)