Enam belas hari terakhir ini layar plasma langit tidak terbuka. Belalai tangga langit tidak juga menjulur turun. Saya habiskan waktunya di lereng seberang dari bukit belakang Puskesmas menikmati laut lepas, Laut Cina Selatan. Kabarnya beberapa kapal perang AS sedang menjelajahi laut ini.
‘Markas’ saya berada di bawah pohon Ketapang (Terminalia catappa). Dalam dunia mistis, banyak kisah di sekitar pohon Ketapang. Namun, bagi saya, itu biasa. Dari kecil saya sudah bermain di bawah pohon ketapang yang tumbuh subur di pekarangan kami.
-000-
Ohh, Maaf, layar plasma langit sudah terbentang. Tergambar di sana saya dan beberapa calon penumpang lain berada di atas motor air menuju ke kapal Bukit Raya. Di kepulauan, kapal penumpang sebesar Bukit Raya tidak dapat bersandar di dermaga. Kapal membuang sauh di tengah laut.
Atas izin Dinkes saya akan mengikuti simposium penanganan MERS (Sindroma Pernapasan Timur Tengah) bagi para dokter Puskesmas. Kebetulan, salah seorang nara sumbernya adalah dokter Frans Tjuka, pembimbing CO-Ass dulu.
Jam telah menunjukkan pukul 22:00. Penungpang di sekitar saya telah tertidur lelap. Maklum, mereka para pekerja kebun cengkeh yang menghabiskan waktunya sepanjang hari di kebun. Bagi mereka malam digunakan untuk mengembalikan tenaganya.
Saya pergi ke buritan mencari angin. Di bangku masih ada beberapa orang duduk-duduk sambil menikmati air kopi instan yang dapat di beli di depot sebelah.
“Silahkan dokter. Tidak bisa tidur, ya?!. Silah duduk di sebelah saya sini” Oh!, rupanya, Bu Camat bersama stafnya.
“Terima kasih, Bu. Maaf, saya bergabung, ya!”
“Tak apa, Dokter. Kami sedang bernostalgia. Ingat masa kuliah. Masa seusia dokter” Sahut pak Sekcam sambil merangkul pundak istrinya.
“Dulu, tidak ada kapal sebesar ini. Cuma, kapal kayu Madura yang datang ke kepulauan membawa sapi dan sembako. Baliknya, kami tumpangi hingga Ponti. Dari sana ganti kapal barang menuju Sunda Kelapa atau Semarang. Tak ada tempat penumpang. Yaaa, nyelip-nyelip di antara karung-karung cengkeh dan getah. Begitu turun dari kapal, kusut dan bau” Lanjut pemumpang lain.
Menjelang tengah malam, satu persatu mengundurkan diri. Penjaga depot pun sudah lama menutup pintu. Malam di tengah laut lepas berhiaskan kerlap-kerlip bintang yang tersebar di seluruh lengkung langit, Kapal Bukit Raya tampak perkasa.
Sambil memandangi batas lengkungan langit terngiang kembali ucapan A Pho Chi. “Kalau seorang wanita itu mencintai seseorang, cintanya utuh. Kelak jika telah berjumpa dengan pilihan hati, dokter akan merasakan betapa tidak mudah melupakan segala sesuatu tentang dirinya. Di rumah ini tersimpan banyak kenangan baik dalam suka maupun dalam duka. Apalagi, ia juga tidur di belakang sana. Aku tidak dapat meninggalkannya. Biarlah anak-anak yang ke sini, jika mau”
Saya menengadah, di tengah langit melintas seberkas terang yang cemerlang. Angin buritan yang dingin mulai menyusup jaket. Saya tinggalkan bangku-bangku yang membisu menanti sepi.
Sampai di dek, sudak tidak ada satu penumpang pun yang masih terjaga. Semua sudah tertidur pulas. Bahkan, ada yang mendengkur kuat. Penumpang sebelahnya menutup kuping dengan lipatan handuk.
Saya intip wajah di balik cermin tas jinjing. Saya tersenyum melihat wajah cerah berseri. “Wie, waktumu telah tiba” Bisik saya lirih ke wajah itu.
Sambil membujurkan badan di kasur, pikiran saya melayang ke masa CO-Ass. Sore itu, saya sendirian di ruang bimbingan, masih ada tugas yang belum terselesaikan.
“Tidak baik sore-sore melamun. Nanti kemasukan roh yang banyak gentayangan di sekitar sini. Dulu, ini ruang operasi, …”. Saya kaget, tergagap. Dokter Frans Tjuka sudah berdiri di depan meja saya.
“Oh, oh, maaf, Dok! Ada penugasan lagi?!”
“Tak apa” Ucapnya tenang kebapaan. “Saya minta tolong. Coba bantu analisis. Saya ingin mengkonfirmasi. Tampaknya pandemi TB bakal datang”
Saya melihat lembaran data yang disodorkan. “Bagaimana menurutmu?” Tanyanya. Selanjutnya, hingga jam kantor selesai, kami terlibat dalam diskusi yang inten tentang TBC.
“Sampai jumpa besok, Wie!” Katanya pendek sambil bersiul berlalu. Saya pandangi lelaki itu dari balik pintu. “Heeemmm, pemuda Manado”.
Saya mendengar dari koleganya, ia pekerja keras dan penuh tanggung jawab. Ketika ia sedang mengikuti program Dokter Inpres, perusahaan ayahnya bangkrut. Tidak lama kemudian ia telah menjadi anak yatim bersama kedua adiknya.
Ia membanting tulang untuk menghidupi dan membiayai pendidikan adik-adiknya hingga tamat sarjana dan berumah tangga. Ia memilih tidak berkeluarga lebih dahulu. Ibunya tak dapat mencegahnya. Sayang, keterusan hingga kini.
CO-Ass putaran bagian itu saya rasakan sangat cepat. Beberapa minggu di rumah menunggu jadwal putaran berikutnya, ibu berkesempatan menyelidik.
“Wie, engkau sendiri yang harus mengambil keputusan”. Katanya di suatu hari.
Tak lama usai wisuda, datang tawaran program Dokter PTT. Dokter Frans menyarankan ambil daerah terluar dan terpencil. Pilihan saya jatuh di Kabupaten Natuna, tepatnya di Puskesmas Kecamatan Serasan.
Seminggu sebelum berangkat, sembari duduk-duduk di teras rumah, ibu bertanya, “Wie apa yang sedang kau pikirkan? Besok kau temui. Berpamitlah”
“Ah, Ibu. Rasanya, saya belum sungguh jatuh cinta” Namun, wajah dokter Frans tidak mau pergi dari bayangan.
“Wie, aku ini ibumu” Ayah membetulkan kacamatanya. Adik berdua berlari berkejaran dengan kucing tanpa tujuan.
“Bu, apakah seorang lelaki setengah baya bisa jatuh cinta pada seorang wanita yang usianya jauh lebih muda?”.
“Wie, cinta itu suatu misteri. Dia bisa menimpa siapa saja. Cinta dapat melintasi jurang perbedaan harta, pangkat, derajad, bahkan usia. Kau ingat, Sastra Jendro Hayuningrat Pangruwating Diyu? Sebuah lakon perjuangan cinta seorang gadis Sukesi kepada Begawan Wisrawa, suadara seperguruan bapaknya?!”.
“Wie, ibu dan ayah akan selalu mendukung pilihanmu. Hanya…, sebelum memutuskan lihatlah lebih dahulu pilihan-pilihan lain yang mungkin ada”.
Terompet kapal membuyarkan lamunan saya. Ternyata saya bergadang sepanjang malam. Pagi subuh, kapal Bukit Raya sudah berlabuh di Pontianak.
Mudah-mudahan, dokter Frans sudah di depan pintu utama. Oh, ternyata tante Ranti yang menjemput. Ia adik sepupu almarhum ayah dokter Frans.
Dua minggu di Pontianak berlalu dengan cepat. Di bawah tangga kapal Sirimau yang akan membawa saya kembali ke kepulauan, dokter Frans mengecup kening. Saya ingat kecupan ayah.
Ia berbisik, “Kutunggu sampai PTT berakhir”.
Di pintu kapal, saya lambaikan tangan sembari berteriak “Sampai jumpa, Sayang!”. Tanpa keraguan.
-000-
Layar plasma langit langsung menggulung. Terlihat sejumlah nelayan siap melaut. Angin darat mendorong layarnya perlahan-lahan memasuki laut lepas. Mereka tahu laut sedang kurang bersahabat, tetapi itulah sebuah misteri kehidupan.
Pakem Tegal, 18 Juli 2020