Oleh: Heyder Affan
Semenjak mendalami tasawuf di tahun 80-an, Kang Jalal — begitu panggilan akrabnya — mengaku cenderung memilih tasawuf, dan bukan fikih, sebagai materi dakwahnya.
Ada beberapa alasan yang melatari dia memilih jalan tawasuf, di antaranya: fikih dianggapnya tidak memberikan kehangatan dalam beragama.
Fikih juga disebutnya sering menjadi sebab pertentangan di antara umat Islam.
“Biasanya perbedaan-perbedaan antar mazhab itu terletak pada perbedaan fikih, itu yang selalu ditonjolkan,” ungkapnya kepada saya, dalam wawancara khusus pada pertengahan Juli 2013.
Berangkat dari pijakan itulah, Ketua Dewan Syura Ikatan Jamah Ahlul Bait Indonesia, Ijabi, ini meminta “agar ulama di antara berbagai mazhab, dalam pergaulan sesama, meninggalkan aspek fikihnya saja dan menyesuaikannya dengan fikih yang lain”.
“Misalnya di Ijabi, kita minta orang-orang Ijabi harus melakukan salat sama seperti salat mereka (kaum Sunni), berpuasa seperti puasa mereka, sehingga kita tidak memberi celah untuk memperbesar perbedaan diantara kedua mazhab itu,” tegasnya.
Menurutnya, saat ini yang lebih penting, bagaimana para pemimpin mazhab “bisa di dataran yang sama, yaitu di dataran akhlak”.
“Mari kita jadikan Islam ini agama untuk memuliakan akhlak (berbuat baik),” kata Jalaluddin Rakhmat.
Mendalami tasawuf
Dalam berbagai kesempatan, Jalaluddin mengaku dibesarkan dalam keluarga Nahdiyyin (NU), kemudian sempat terlibat dalam aktivitas yang berorientasi pada Muhammadiyah, sebelum mendalami tasawuf dan akhirnya menganut Islam dengan mazhab Syiah.
“Ketika muda, saya memang dibesarkan dari keluarga NU, dan saya pergi ke kota dan bergabung dengan orang Muhammadiyah,” ungkapnya, mulai bercerita.
Ketika aktif di Muhammadiyah, Jalaluddin mengikuti gerakan-gerakan “yang saya sebut Islam-siasi, yaitu Islam politik, di mana saya ingin mendirikan syariat Islam di negeri ini”.
Namun demikian, Jalaluddin muda mengaku berulangkali kecewa, karena “di berbagai negara Islam, tidak ada yang berhasil mendirikan Syariat Islam”.
Di tengah situasi seperti itulah, Jalaluddin mengaku takjub ketika terjadi peristiwa penting di Iran pada 1979, yaitu runtuhnya rezim monarki otoriter Raja Shah Pahlavi oleh apa yang disebut belakangan sebagai Revolusi Islam Iran.
“Tiba-tiba saya melihat para ulama di Iran menang. Kok bisa ulama Iran bisa memenangkan sebuah pertarungan poltik dan bisa mendirikan negara Islam? Wah itu menginspirasi saya yang saat itu sudah putus asa,” jelasnya.
Dalam perjalanannya, dia kemudian berangkat ke Iran, persisnya ke kota Qum, untuk belajar tasawuf. “Saya tidak belajar Syiah, saya belajar tasawuf di Qum.”
“Dan ternyata,” ungkapnya dengan mata berbinar, “di kalangan orang-orang Persia, saya menemukan khazanah tasawuf yang sangat kaya. Jadi saya mulailah tertarik tasawuf”.
Mengapa menjadi Syiah
Kembali dari Iran, Jalaluddin — yang di masa mudanya sudah membaca karya-karya filosof Baruch Spinoza (1632-1677) dan Friedrich Nietzsche (1844–1900) di perpustakaan negeri peninggalan Belanda — mendirikan yayasan tasawuf.
“Dalam tasawuf, seluruh agama bertemu, bukan hanya seluruh mazhab Islam,” katanya.
Menurutnya, dalam ranah tawasuf atau mistisisme, semua penganut agama akan mengatakan ‘kayaknya kita saling mengenal, kayaknya kita adalah bagian dari keluarga besar, yang menegakkan agama atas dasar cinta’.
Kepada saya, Jalaluddin menekankan bahwa “saya tidak bermaksud mengajarkan Syiah dalam tasawuf, karena menurut saya, tasawuf itulah yang mempersatukan Sunni dan Syiah,” tegasnya.
“Jadi arah saya dari dulu, kepada persatuan kelompok Sunni dan Syiah,” katanya lagi.
Belakangan, persisnya pada Mei 2011 lalu, Jalaluddin dan beberapa orang mendirikan Majelis Ukhuwah Sunni Syiah Indonesia, Muhsin, pada Mei 2011 lalu, untuk mendekatkan dua mazhab Islam tersebut.
Namun demikian, ketika mempelajari dan mendalami dunia tasawuf itulah, Jalaluddin mengatakan: “Karena Syiah di sini minoritas, saya tentu berusaha mengenalkan Syiah ini, tidak seperti yang mereka tuduhkan”.
Di ujung perjalanannya, Kang Jalal yang pernah mendirikan pusat kajian tasawuf Yayasan Tazkiya Sejati, akhirnya sampai pada satu titik: “Akhirnya secara fikih dan akidah, saya sekarang ini Syiah”.
Selamat jalan, Kang Jalal… 😥
(Selengkapnya klik di sini: https://www.bbc.com/indonesia/laporan_khusus/2013/08/130820_tokoh_jalaluddin_rakhmat)
Keterangan foto: Usai wawancara khusus dengan Kang Jalal di rumahnya di Jakarta Selatan, Juli 2013, saya mengajak foto bersama. “Untuk kenang-kenangan, Kang Jalal,” kataku. (Penulis adalah jurnalis senior. Bekerja di CNN Indonesia. Naskah dikutip dari laman FB Heyder Affan)