Oleh: Turiman Faturahman Nur
Ini fakta sejarah! Sultan Hamid II menjadi tahanan politik Orde Lama tanpa sidang pengadilan, di rumah sempit di gang Tembok Jakarta 1958 karena beda pemikiran politik. Semua yang berseberangan secara politik ditangkap. Rata-rata tokoh politik yang pegang prinsip, namun Sultan Hamid II ikhlas.
Menjelang wafat Presiden Soekarno, Sultan Hamid II minta izin untuk menemui Soekarno itupun berdebat dengan penjaga RS. Akhirnya diberi waktu lima menit apa yang dikatakan Sultan Hamid II, “Bung, ini Hamid, maaf kesalahan saya, dan kesalahan bung juga saya maafkan.” Demikian diabadikan dalam buku Soekarno memoar, betapa ikhlasnya Sultan Hamid II. Sultan Hamid II wafat dalam keadaan sujud pada sholat magrib.
Bagaimana dengan yang memfitnah beliau “pengkhianat” belum tentu husnul khotimah dan menyatakan tidak layak. Semoga Hendro Priyono dan Prof Anhar Gonggong sadar jangan digadaikan akhir hidupnya dengan jejak digital yang memfitnah hamba Allah yang sudah wafat dan sangat besar jasanya kepada bangsa ini, jujurlah dalam menulis fakta sejarah, bukan menyitir pakar sejarah Belanda yang membelokan sejarah.
Prof Anhar Gongong hanya melihat foto Sultan Hamid II bersama ratu Wilhelmina 1946, tanpa tahu bagaimana perjuangan diplomatik sehingga NKRI seluas ini, bukankah 27 Desember 1949 itu “starting point” dari kedaulatan lihat pasal 2A, B Konstitusi RIS 1949, DIKB ini bergabung. 1946 DIKB belum gabung ke NKRI baru gabung sejak 27 Desember 1949 itu fakta sejarah hukum.
Janganlah sejarah Kalbar ini dibelokan semua dokumen sudah diabadikan dalam pasal-pasal konstitusi dan peraturan perundang-undangan itulah dasar hukum tertulis.
Kami bukan mau kembali ke federal tetapi mohon jasa Sultan Hamid II menyatukan Kalbar dalam DIKB dan perjuangan diplomatik di KMB, serta kesediaannya bergabung ke negara 17 Agustus 1945 dalam RIS, tolong dihargai nasionalisme beliau, lihat jejak sejarahnya pertemuan Sultan Hamid II di Muntok sebagai starting point perundingan inter Indonesia 1 dan 2 yang mengantarkan ke KMB dan lihatlah puncak karya beliau lambang negara RI yang dipakai seantero Indonesia dan Kantor kedutaan Indonesia di seluruh dunia.
(*Penulis adalah pakar hukum tata negara, penulis buku biografi politik sultan hamid bersama Anshari Dimyati dan Nur Iskandar, serta pembina yayasan Sultan Hamid II Alkadrie)