Oleh: Yusriadi
Selasa (13/3/18) Club Menulis IAIN Pontianak menerima kunjungan dua (2) mahasiswa dari Universitas Hamburg Jerman. Dua mahasiswa itu, Leon Benhard dan Carina Lang. Mereka didampingi pendampingnya Bang Nur Iskandar, Mbak Dwi Syafriyanti dan Bang Huntung Dwiyani.
Pertemuan seperti itu merupakan pertemuan yang agak biasa. Sudah banyak orang luar datang ke Club Menulis.
Agustus tahun lalu, kami juga menerima kunjungan dua orang mahasiswa dari Hamburg, Luna dan Amel. Keduanya datang dalam rangka mendalami budaya masyarakat Asia Tenggara.
Setiap kali pertemuan –seperti dalam pertemuan kali ini, kami melakukannya hampir semuanya dalam bahasa Indonesia. Tidak banyak dalam bahasa Inggris.
Mahasiswa dari luar negeri itu berkomunikasi dalam bahasa Indonesia yang terbata-bata. Kadang –maksudnya sesekali, tidak sering, mencari-cari kosakata yang mau diungkapkan. Kadang juga dibantu oleh pendamping. Kadang juga disampaikan dalam bahasa Inggris untuk mencari padanannya. Justru itu pertemuan menjadi lebih cair dan banyak gelak tawa.
Apapun levelnya, mereka selalu mengagumkan. Leon misalnya penguasaan bahasanya luar biasa. Kosakata bahasa Melayu Pontianak juga dikuasainya.
Padahal dia juga mengaku baru belajar bahasa Indonesia, selama satu semester. Untuk ukuran saya, benar-benar singkat, baru.
Kiranya, yang membuat kemampuan berbahasa Indonesianya bertambah adalah dia datang langsung ke Indonesia sehingga bisa berbahasa Indonesia dengan banyak penutur langsung dan di lokasi di mana bahasa itu digunakan. Dia berada di pusat wilayah di mana bahasa yang mereka pelajari, digunakan.
Saya sering membandingkan kemampuan mereka ini dengan kemampuan saya dan mahasiswa di Pontianak–mungkin juga di Indonesia.
Di tempat kita, di sini, bahasa Inggris dipelajari selama beberapa semester. Berdasarkan pengalaman saya, saya belajar sejak tahun- tahun awal sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas. Bahkan hingga kuliah saya juga belajar bahasa Inggris. Ada Bahasa Inggris 1 hingga Bahasa Inggris 4.
Tapi, mungkin saya yang lembab, susah paham. Saya tidak bisa bahasa Inggris aktif sampai hari ini. Rasanya, kawan sekelas saya juga begitu. Tak banyak bisa.
Mengapa? Mungkin potensi dan dukungan menguasai bahasa asing terbatas. Kita tidak terbiasa dengan bahasa asing. Agak jarang ada orang di sekitar kita yang merupakan jenis orang bilingualis –Indonesia dan Inggris. Jarang juga yang poliglot, tahu banyak bahasa.
Ketika kerisauan ini saya sampaikan dalam percakapan dengan mahasiswa, mereka merasakan hal yang sama.
Katanya, “Kami hanya tahu sedikit, ini, ini… itu”.
Ya, benar. kurang lebih sama. Mungkin benar ada kelemahan metodologis dalam pengajaran. Guru dan dosen belum (banyak) mengajar sebagaimana yang diharapkan.
Eit, tunggu! Masalahnya mungkin juga pada kesungguhan siswa dan mahasiswa dalam belajar. Mereka, saya juga dahulu rasanya juga, kurang sungguh-sungguh dalam belajar.
Contoh, saya tak punya kamus bahasa asing. Saya tak menghafal kosakata bahasa asing itu secara khusus. Saya pun tidak pernah benar mempraktikkannya.
Jauh panggang dari api kalau saya bandingkan apa yang kami lakukan dengan apa yang dilakukan mahasiswa Hamburg ini dalam belajar bahasa.
Lalu apa solusinya? (lanjut, lain waktu). *