Oleh: Leo Sutrisno
Banyak sekolah, pertengahan Maret 2020 ini, mulai melakukan belajar dalam jaringan (daring) di rumah masing-masing. Dengan harapan para siswa tidak terlalu sering berkumpul dalam kelompok besar sehingga dapat membantu memperkecil penyebaran Covid-19.
Ada beberapa informasi yang dikirim lewat WA, SMS, dan e-mail yang intinya mengabarkan bahwa banyak siswa yang merasa kesulitan. Dalam tulisan ini disajikan hal ihwal membaca. Selain itu, disajikan pula hasil survai PISA 2018 tentang kemampuan membaca anak usia sekitar 15 tahun (kelas 8 atau kelas 2 SMP) secara internasional (78 negara).
Belajar dalam jaringan, bagi sebagian besar siswa di Indonesia merupakan hal yang baru. Ada sejumlah perubahan dari belajar di dalam kelas. Salah satu di antaranya adalah berubah dari mendengarkan dan membuat catatan atau menyalin dari papan ke membaca dan membuat catatan sendiri.
Perubahan ini membuat banyak siswa susah untuk menyesuaikan diri. Karena, mereka sudah terbiasa menerima total inti sari materi yang telah dibuat olah guru. Sementara, belajar dalam jaringan, memaksa mereka ‘harus’ membaca, memahami isi teks, dan membuat catatan sendiri.
Membaca, memahami isi bacaan, dan membuat catatan memerlukan ketrampilan khusus yang perlu dilatih dan dibiasakan. Kita tidak ada waktu mendiskusikan apa yang menjadi penyebabnya. Karena, pembelajaran dalam jaringan sudah dimulai. Mulai saja berusaha meningkatkan sendiri ketiga ketrampilan itu. Buku ‘Quatum Learning’ Bobbi de Porter dan Mike Hermacki, 1999, (dalam edisi bahasa Indonesia) bisa membantu menyelesaikan. Silahkan ikuti sarannya.
Para guru dan dosen kiranya akan lebih kaya jika melengkapi diri dengan ‘Quantum Teaching’ dari pengarang yang sama. Selain memahami bagaimana cara belajar membaca dan membuat catatan siswa (lewat Quatum Teaching), juga memperoleh panduan bagaimana cara merancang sajian dalam teks yang sesuai dengan kebutuhan pembaca (lewat Quantum Teaching).
Khusus bagi siswa dan mahasiswa, kesulitan membaca juga timbul dari kebiasaan ‘ber-HP ria’. Sajian yang tersedia dalam HP pada umumnya ‘ringan’ dan ‘pendek’. Sementara, sajian teks pembelajaran dalam jaringan lebih berat dan lebih panjang. Namun, juga tidak perlu mengeluh, usaha menyesuaikan diri lebih baik. Agak sulit di awal tetapi di belakang hari, kelak, akan menjadi mudah.
Kesulitan kedua berasal dari alat yang digunakan. Sajian dalam HP jauh lebih kecil dari sajian dalam buku apa lagi papan tulis atau sajian pada layar proyeksi. Tentu terasa berat untuk membaca teks terus-menerus, ber-jam-jam sesuai dengan lama waktu sekolah.
Bagi yang di rumah tersedia perangkat komputer atau laptop, sajian lewat HP sebaiknya dipindahkan ke perangkat itu. USB pada kabel pengisi baterai, Charger, yang biasa dihubungkan ke PLN dipindah dihubungkan ke USB CPU atau USB Laptop.
Khusus kesulitan dalam memahami isi bacaan (reading comprehension) tidak mudah diselesaikan. Ini, perlu usaha yang lebih keras.
Survai PISA 2018 menemukan bahwa kemampuan memahami bacaan siswa Indonesia pada urutan ke-72 dari 78 negara peserta (Skor 371). Rerata skor kemampuan membaca, standar PISA, sebesar 500. Dua pertiganya berada di antara 400 dan 600. Dengan skor rerata 371 berarti kemampuan membaca mereka sangat rendah.
Posisi ini berturut-turut diikuti: Maroko (359), Kosovo (353), Republik Dominikan (343) dan Pilipina (340). Negara-negara ASEAN yang berada di atas Indonesia berturut-turut: Thailand (ke-56, skor 391), Brunei (ke-50, skor 408), Malaysia (ke-36, skor 491), dan Singapura ( ke-2, skor 549). Posisi sepuluh teratas berturut-turut ditempati: RRT (555), Singapura (549), Macao (525), Hongkong (534), Estonia (523), Kanada (520), Finlandia (520), Irlandia (518), Korea Selatan (514) dan Polandia (512).
Ada tiga elemen membaca yang diperhatikan, yaitu: format teks, proses membaca, dan konteks atau situasi yang disajikan. Elemen format teks terdiri dua macam, yaitu kontinyu dan terputus-putus. Format yang kontinyu berupa bacaan yang disajikan dalam bentuk kalimat berserta paragraf-paragrafnya baik secara deskripsif, naratif maupun argumentatif. Format yang terputus-putus berupa sajian berbentuk: daftar, peta, grafik, serta diagram.
Elemen teks yang kedua berkaitan dengan proses membaca. Siswa diharapkan mampu menunjukkan kemampuan yang memadai dalam: (a) ‘menemukan informasi’, (b) menginterpretasi teks dan menyusun pemahaman umum isi teks, serta (c) merenungkan dan menilai: isi, bentuk, ‘fitur’-nya.
Elemen ketiga menyangkut konteks atau situasi dari bacaan. Ada empat situasi yang disajikan dalam teks, yaitu: peruntukan pribadi, peruntukan umum (publik), peruntukan okupasional dan peruntukan pendidikan. Novel, surat wasiat, nasehat untuk seseorang termasuk peruntukan pribadi. Dokumen kantor dan himbauan untuk umum termasuk peruntukan publik. Buku manual dan laporan termasuk peruntukan okupasional. Sedangkan buku teks dan lembar kerja kasuk konteks peruntukan pendidikan.
Setiap pertanyaan mencakup ketiga elemen teks tersebut sekaligus. Misalnya, ada pertanyaan yang meminta agar siswa melakukan interpretasi suatu teks, dalam bacaan yang kontinyu dan pada situasi publik, dsb.
Selain tekait dengan bacaan, masih ada satu ganjalan lagi yang membuat belajar lewat jaringan terasa berat. Para siswa ‘dibanjiri’ dengan teks. Bacaan, soal, tugas, serta kemunikasi yang lain berupa teks. Selain membuat mereka merasa jenuh, kecepatan membaca mereka juga rendah. Secara internasional, kecepatan membaca seseorang itu sekitar 300 kata per menit. Dari penelitian, ditemukan kecepatan rerata siswa sekitar 160 kata per menit.
Inilah beberapa mmasalah yang yang muncul dari kegiatan membaca pada pembelajaran dalam jaringan. Diharapkan, para guru dan dosen dapat mengantisipasinya. Semoga!
Pakem Tegal Yogya, 21-3-2020