Oleh: Demanhuri Gustira
Tragedi 28 Juni tidak terlepas kemampuan perlawanan Pasukan Pangsuma, dkk di Sekitar Meliau-Tayan melululantakan tentara Jepang; pasukan Pak Kasih di Pahuman Landak di sekitar Gunung Seha; Perlawanan Rakyat Pontianak di sekitar Pelabuhan Pontianak, sekarang dikenal Pelabuhan Dwikora.
Kebetulan sebelum sejarawan Senior Kalbar meninggal saya sempat mewawancari beliau, bahkan beliau pada saat itu memperlihatkan dokumen-dokumenya, termasuk penggalian kerangka tentara Jepang yang dibawa ke negerinya sekitar tahun 70-an. Kebetulan rumah beliau tidak jauh dari makam tersebut.
Menurutnya, awal kemarahan Jepang, karena ratusan serdadu meninggal di peperangan Tayan-Meliau yang lebih dikenal perlawanan Majang, dan Perlawanan di Gunung Ceha dipimpin Pak Kasih, yang berhasil dibawa ke Pontianak sekitar 250 orang tentara Jepun dan dimakamkan di sekitar simpang empat kota baru, Antara Rumah Adat Melayu-Rumah Radakng.
Beberapa mobil tentara Jepun dilempar masuk sungai Kapuas sekitar steher Tayan Hilir atas serangan sporadis para pejuang rakyat, beberapa truk dipercaya berisi harta rampasan Jepang.
Nah, kebetulan di waktu bersamaan para Sultan, dan Cendikiawan Kalbar sedang mengadakan rapat, Jepang menuduh bahwa perlawanan-perlawanan rakyat di berbagai “Negara” kecil di Kalbar, disponsori oleh para Sultan dan Cendikiawan.
Hal itu memicu kemarahan Jepang dan anteknya. Mereka menangkap para cendekiawan, tokoh masyarakat, dan Sultan se-Kalbar, lalu disunkup/dibunuh. Beberapa dokumen perlu diverifikasi jumlahnya. Ada yang menyatakan hingga 40.000 orang meninggal.
Memang tidak semua dibawa ke Mandor, tetapi hampir setiap daerah ada tempat eksekusi Jepang. Seperti di Pontianak ada parit Jepun, Parit Tengkorak, Tugu depan Kantor Post Lama tak Jauh dari Kantor Wali Kota Pontianak. Di Tayan, Gudang Garam, sekitar bekas kantor VoC . Intinya Kalbar sempat lost generation (kehilangan satu generasi emasnya).
Hasil wawancara beberapa tokoh pejuang Kalbar yang selamat, bagaimana para pejuang itu mampu mengalahkan tentara Jepang di rimba Borneo. Ternyata, teknik berburu hewan salah satu yang digunakan, dari mulai penerapan arah angin dengan indikator tumbuhan bergerak, suara hewan dan gerakan alam menjadi penunjuk membaca pergerakan tentara Jepang. Mereka menggunakan senjata sumpit, tombak, lantak dan panah. Ceritanya lebih seru di film War of The Arrow, bagaimana gigihnya para pejuang dulu. Tunggu saja narasi lengkapnya di sebuah novel…
Dari bergerak dedaunan dan hembusan angin, mereka sudah tahu pergerakan tentara Jepun. Sumpit dan panah tinggal diarahkan saja, sehingga salah satu Komandan tentara Jepangpun pada saat perang Majang meninggal, ia bernama Takeo Nagatani.
Alfateha bagi mereka yang menjadi korban keganasan Jepun.