Oleh: Eka Hendry Ar
Setiap orang berharap usia karya dan pengabdiannya lebih panjang dari usia biologisnya. Ketika tanah pusara telah mengering, gagasan dan pemikiran tetap hidup dan berdialektika dengan pemikiran setelahnya. Atau, karyanya dapat dinikmati oleh para anak cucunya di kemudian hari.
Itulah yang disebut legacy atau at-turats. Secara etimologi, kata legacy berasal dari bahasa Latin abad 14, legatia dan legatus yang bermakna duta besar atau utusan (ambasador, envoy atau delegated person) dalam kaitan dengan kehendak. Kemudian berkembang menjadi kekayaan atau harta (property) yang diwariskan.
Kini, istilah legacy diterjemahkan dengan warisan, pusaka atau peninggalan. Namun secara esensi, legacy sebenarnya lebih kepada sesuatu yang abstrak seperti pemikiran, pengetahuan, kebijaksaan yang menjadi “duta atau utusan” dari satu generasi kepada generasi setelahnya. Kadang juga dalam bentuk ketauladanan (uswatun hasanah), seperti etos kerja keras, disiplin, konsistensi dan integritas (seperti kejujuran, keberanian, loyalitas dan tanggung jawab). Meskipun dalam bentuk fisik, namun esensinya pada pesan dan gagasannya yang abstrak. Intinya, setiap orang berharap ada legacy yang dapat ia wariskan kepada orang-orang di sekililingnya. Baik untuk masa kini, maupun di masa depan.
Mengapa legacy itu penting, karena manusia pada dasarnya menginginkan hidupnya bermakna (meaningful life). Bermakna dalam artian ada kontribusi positif terhadap kemanusiaan yang tetap hidup, walaupun kita sudah tiada. Kebermaknaan tertinggi dari hidup manusia adalah kemanfaatan bagi kehidupan. Baik secara intelektual, moral, seni maupun integritas.
Pengakuan atas kebermaknaan hidup seorang bukan klaim diri sendiri, akan tetapi pengakuan orang lain (people recognation). Meskipun berbagai cara kita membuat propaganda pengakuan, jika publik tidak mengakuinya, tidak ada gunanya. Pengakuan orang tidak bisa dibuat-buat (pseudo recognation). Pengakuan yang pura-pura, boleh jadi karena tekanan dan penindasan, pada suatu saat dapat berbalik menjadi kekuatan untuk menumbangkan warisan tersebut.
Banyak contoh, tokoh-tokoh besar dan berpengaruh. Semua orang hormat karena takut. Diawetkanlah jasadnya, dituliskan pikirannya, dibuatkan monumen atau patung. Namun ketika kekuasaannya berakhir semua orang mulai mencaci, menghujat pikirannya dan merobohkan dan menghancurkan patungnya.
Seperti yang terjadi di Ukraina, semua patung tokoh revolusi komunis Vladimir Lenin dirobohkan dan dihancurkan. Menandai berakhirnya hegemoni Soviet terhadap Ukraina. Kemudian patung King Leopold II di Belgia. Semula dianggap pahlawan yang memberadabkan bangsa Congo, tapi sejatinya lebih 10 rakyat Congo yang mati dalam penjajahan tersebut. Atau yang belum lama terjadi, dirobohkan patung Edward Colston di Bristol Barat Inggris. Patung tersebut dirobohkan, di tarik dan kemudian diceburkan ke sungai. Patung Colston adalah simbol perbudakan abad 17 M. Colston merupakan hartawan yang terlibat dalam penjualan budak-budak, melalui perusahaan perbudakan resmi Inggris (Royal Africa Company). Colston dinilai dermawan, namun ingatan bahwa ia mendapatkan kekayaan dari penjualan budak adalah “dosa terbesar” Colston yang tidak bisa dimaafkan. Maka, ketika momentum solidaritas Black Lives Matter berhembus, maka publik melampiaskan kemarahan terhadap patung tersebut. Banyak lagi contoh-contoh serupa di berbagai negara. Tokoh yang semula dipuja, kemudian dihancurkan monumennya.
Pesan dari berbagai peristiwa tersebut bahwa,
Pertama, Penilaian dan pengakuan publik terhadap legacy kita sepanjang ada nilai-nilai keutamaan. Kebesaran dan keberhasilan, ketika ada catatan buruk kejahatan kemanusiaan yang kita lakukan, maka runtuhlah pengakuan akan kebesaran legacy tersebut. Bagaimana semua dunia belajar tentang keberhasilan Christopher Collumbus menemukan pulau Amerika. Namun ternyata keberhasilan tersebut memiliki “cacat”. Karena melakukan genosida terhadap penduduk asli yang mendiami pulau tersebut (Suku Indian). Jadi penting untuk meninggalkan legacy yang bermanfaat dan meninggikan nilai-nilai kemanusiaan dan keutamaan (virtue values).
Kedua, Dari sekian legacy yang dapat kita wariskan kepada generasi berikutnya adalah warisan yang tidak mudah musnah yaitu gagasan dan pikiran. Bukan tidak penting membangun peninggalan fisik. Tetap saja ada manfaatnya, namun pastikan dibalik monumen fisik itu mesti ada pikiran dan gagasan yang besar untuk kemanusiaan. Karena biasanya dibalik keagungan fisik bangunannya “terkubur kebiadaban” terhadap sesama manusia. Ambisi sang Raja, biasanya mengorbankan atau menindas rakyat sebagai pekerja. Atau bagaimana Jepang mempekerjakan para romusa untuk membangun jalan, terowongan hingga benteng pertahanan.
Contoh sederhana ketika membangun tempat ibadah yang megah dan indah, legacy ide atau gagasannya jelas, agar orang senantiasa mengenang Tuhan. Mengajak manusia untuk senantiasa berbuat baik. Ketika kita mewarisi lembaga pendidikan, legacy ide dan pikirannya jelas, bagaimana publik mendapatkan pendidikan dan pengajaran sehingga dapat berkembang pengetahuan dan moral. Membangun rumah sakit, legacy ide dan pikiran jelas, bagaimana memberikan layanan kesehatan bagi publik. Jadi, tidak ada halangan untuk mewariskan legacy fisik, sepanjang ia mewariskan pikiran dan gagasan kemanusiaan dan keutamaan yang abadi.
Mewariskan pikiran, selain tidak mudah usang, ide dan pikiran dapat berkembang biak. Seperti pengetahuan yang diwariskan oleh para ilmuwan di masa lalu. Pikiran dan gagasannya tetap hidup, meski dikritik, disintesis maupun berusaha dihalang tumbuh, namun ide dan pikiran tak pernah mati. Setiap ide dan pikiran memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan moralitas.
Ketiga, Masih terkait dengan bagian kedua, ada monumen yang diawetkan dalam rangka menyampaikan gagasan dan pesan sebaliknya. Monumen dibangun untuk mengingat akan kebiadaban perang, kekejaman serangan teroris, buruknya perbudakan hingga pesan korupsi sebagai musuh bersama (di balik ide patung atau monumen korupsi). Semiotik adalah esensi, membaca pesan dari balik tanda dan lambang tersebut. Jadi, sekali lagi, legacynya adalah ide, pikiran dan pesan.
Last but not least, tugas kita adalah mewariskan segala sesuatu yang berguna. Tidak penting itu diakui atau tidak. Biarlah waktu yang akan mengujinya. Mengapa pikiran ini perlu ditegaskan karena hitam putih legacy kita, ia tidak dapat lepas dari konstruksi makna yang ada di tangan generasi penerus. Bagi generasi mendatang, antara pahlawan dan pecundang bisa bertukar tempat. Tergantung kepada kepentingan politik dan pikiran yang dominan pada masa tersebut. Jadi kalau kita membebani diri dengan pikiran-pikiran seperti ini, akan mengurangi esensi kebermaknaan dari hidup kita. Biarlah masa depan menjalankan perannya menilai sejarah, tugas kita melakukan peran-peran terbaik dan yang kita yakini kemanfaatan bagi banyak orang.
Pelajaran bagi kita sekarang bagaimana kita mewariskan pikiran, pengetahuan dan ketauladanan kepada generasi berikutnya. Dalam politik kita mewariskan peradaban politik yang demokratis dan bermartabat. Kemudian para politikus yang memiliki integritas agar dapat menjadi tauladan, dalam hal kejujuran, keberanian, intelektualitas dan komitmen bagi kepentingan rakyat.
Dalam konteks agama kita mewariskan pikiran-pikiran keagamaan yang bernas, egaliter, kosmopolit dan inklusif. Bukan cara pandang eksklusifitas dan mengutamakan prasangka dan kebencian antara satu dengan lainnya. Indah dan megahnya bangunan ibadah harus dapat menyampai amanat tentang legacy kasih sayang, saling memahami dan menghormati (toleran) dan membuka diri untuk berdialektika dan bekerjasama mengatasi segala persoalan kehidupan sosial kemasyarakatan.
Dalam konteks pendidikan, mesti mewariskan pikiran-pikiran besar tentang pemanusiaan manusia dan pranata pendidikan yang benar-benar menjalankan fungsi pengasuhan (almamater). Bukan hanya warisan gedung-gedung sekolah dan kampus yang semakin megah saja, namun sepi dari pikiran-pikiran besar, gagasan, penemuan serta idealisme. Terutama kampus, legacy-nya adalah pikiran dan “suara-suara kritis” yang bertanggung jawab. Termasuk integritas keilmuan yang dapat menjadi tauladan bagi generasi setelahnya.
Atau kalau kita bergerak di dunia publikasi media, maka kita dapat mewariskan media yang mencerahkan, kritis, adil, objektif dan berpihak kepada kebenaran. Mulai meninggalkan mitos, “bad news is good news”. Media harus mewarisi watak media yang idealis dan berpihak kepada nilai-nilai kemanusian dan keutamaan.
Dengan demikian kita dapat mengutus legacy-legacy tersebut sebagai “ambasador” untuk menjumpai generasi berikutnya dalam rentang yang panjang.(*Eka Hendry Ar. Dosen IAIN Pontianak)