Oeleh: Dr Leo Sutrisno
Matahari baru setinggi Pinggang. Bunga Telang (Clitoria ternatea) tengah berada di puncak keindahannya. Warna putih semburat merah menyeruak menggoda di kelilingi kelopak selendang biru lembayung yang lembut tenang. Rumpun bunga ini tumbuh bergerombol di antara bebatuan yang berada di sebelah kanan bawah sumber air di dekat posisiku pagi ini.
Dari penelusuran berbagai sumber literatur ternyata banyak manfaat bunga Telang ini bagi kesehatan. Penelusuran ini dipicu oleh kunjunganku ke Mbah Wardi, seorang transmigran tahun 60-an, di era Dwi Kora Presiden Sukarno.
Ooo, maaf, aku putus dulu cerita bunga Telang ini, ya. Di layar plasma langit sudah muncul perjalananku ketika mengunjungi Mbah Wardi, lima tahun yang lalu.
Sedang tayang ketika aku bersama seorang perawat lokal sedang menuju ke rumah mbah Sutarno di perkampungan transmigran yang berada di ujung luar pulau ini. Agak jauh, sekitar 20-an km dari Puskesmas. Nanti kita konfirmasi dengan speedometer setelah sampai di lokasi. Posisi saat ini berada 400.07 km.
Kondisi jalan cukup lumayan berat. Bebatuan alam memenuhi hampir seluruh bahu jalan. Ada di beberapa petak beraspal, tetapi justru bagian ini yang membahayakan ban, terutama bagi ban yang sudah tipis.
Kontur jalan berkelok-kelok, menanjak dan menurun mengikuti kondisi alam perbukitan batu. Tak terbayangkan bagaimana keadaan jalan ini sekitar 55 tahun yang lalu ketika para transmigran baru saja didatangkan. Mungkin, jalan ini justru belum ada sama sekali.
Pada saat speedometer menunkkan bilangan 425, kami memasuki kampung yang dituju, perkampungan Trans A. Saya merasa seperti sedang pulang ke desa di Sabtu sore sewaktu kuliah dulu.
Dari kejauhan sayub-sayub mengikuti kembusan angin, terdengar bunyi irama gamelan yang memancar dari Toa. Aroma sayur lodeh pun menyusup hidung. Membuat isi perut menggeliat.
Di kanan kiri jalan yang kami lewati berjajar rumah-rumah semen dengan halaman yang bersih dari rerumputan, dan tampaknya juga disapu pagi sore. Selain pohon belinjo, berbagai pohon buah-buahan seperti langsat, rambutan, nangka terlihat di setiap pekarangan. Tak terkecali rumpun sere serta kemangi. Di beberapa pekarangan, deretan pohon ubi kayu tertata rapi di kanan-kiri ‘lorong’ penghubung rumah dan jalan.
Tidak sulit menemukan rumah mbah Sutarno. Semua orang yang saya temui nengenalnya, bahkan anak-anak pun juga. Ketika kami berjalan menuju ke rumahnya, banyak anak-anak yang menemani kami. Mereka berceloceh membicarakan mbah Sutarno.
“Rumah Mbahno tak jauh dari sini, Dokter!” Kata salah seorang anak.
“Sana, Dokter!” kata anak yang lain sambil mengarahkan ibu jari kanannya ke suatu tempat.
“Mbahno, orangnya baik, Dokter” kata yang lain lagi.
“Benarkah?”
“Benar, Dokter. Biasanya Mbahno, jam segini, pulang dari pasar. Entah kok belum lewat”
“Mbahno sakit!” Kata yang lain
“Dimana pasar?” Tanya perawat yang bersamaku.
“Ujung sana, Bu, perempatan pertama tadi belok kiri. Pasar di trans B sana” Kata anak tadi sambil memoncongkan bibir mengarah ke lokasi pasar.
“Kami tadi menunggu Mbahno. Ternyata malah panggil Dokter” Sela anak yang lain lagi.
“Kenapa kalian menunggu Mbahno?”
“Minta bagi oleh-oleh, Dokter. Mbah selalu bawakan oleh-oleh”
“Untuk kalian semua?!”
“Ya, Dokter!” Jawab mereka koor.
Sampai di rumah Mbah Sutarno, saya lihat banyak orang berkumpul. Beberapa orang sedang mengeluarkan meja kursi dari dalam rumah.
Seorang lelaki setengah baya mendekati saya. sambil menjabat tangan saya ia berkata, “Maaf, Dokter. Saya Manto. Ketua RT sini. Kami tadi es-em-es ke Puskesmas. Tetapi, katanya Dokter sudah ke luar sejam lalu. Karena itu, kami tidak lagi menghubungi Dokter. Tadi malam, sekitar pukul 02:00 Mbahno berpulang”
“Oohh, Saya tengok Simbah ya, Boleh?!” Ia menganguk.
Saya masuk ke dalam rumah. Jenasah Mbah Tarno terbaring di tengah ruang tamu, membujur arah utara-selatan, beralaskan tikar pandan. Di dekat kepala terpasang dua batang lilin yang belum dinyalakan. Salah satu di antaranya adalah lilin babtisnya.
Sambil menunggu acara pemakaman, kami, saya dan perawat yang mengantar saya, bergabung dengan para ibu pelayat. Mereka semua membicarakan apa yang telah dilakukan Mbah Tarno.
“Mbahno ini orang kuat dan baik hati, lho” kata seorang ibu setengah yang duduk di sebelah kiri saya. Lalu lanjutnya.
“Yu Jum ingat? Ketika kita masih kecil-kecil, tiap hari ia menggendong kelapa setenggok penuh dibawa ke pasar. Kita, setiap siang seperti ini siap-siap main di jalan. Menunggu oleh-olehnya”
“Iya, bu. Ngomong-omong, saya sampai sekarang tidak tahu suaminya dikubur dimana” kata ibu yang lain. Tentu tak perlu sambung menyambung yang dibicarakan.
“Oh, punya suami ya?. Aku sangka perawan ‘thing-thing’” sahut ibu sebelah sana.
“Tidak! Bapakku kawan suaminya, sama-sama tentara aktif dari Diponegoro. Ia mati tertembak tentara Gurkha. Jasadnya mereka buang ke tengah laut” Sambung seorang ibu lain yang duduk di pojok.
“Kasihan, ya?” Timpal ibu lain.
“Kita banyak berhutang budi, lho” Sambung ibu lain.
“saya ingat, kami berlima, ke luar dari kelas mecegat dia untuk membeli jajan. Tetapi, keburu ketahuan Bu Guru Atik, kami berhamburan lari semua sambil menggenggam jajanan yang sedianya akan dibeli”
“Pasti hari-hari berikutnya, kalian tidak jajan, kan?” sambung seseorang dari belakang.
“Betul. Seminggu kami tidak jajan. Tetapi, tetelah jajan lagi Mbahno tidak mengusiknya. Kami tetap dilayani seperti tidak ada apa-apa” Sambungya/
“Itulah Mbahno. Kita sungguh berhutang budi. Semoga amalnya diterima” kata ibu lain.
“Amin!. Kehidupan Mbahno seperti dulu hingga sekarang tidak berubah, ya. Seminggu yang lalu, anak saya dipanggil, diberi apa? Tahu?!” Tanya ibu muda yang dari tadi diam saja.
“Telur rebus!!. Kata Mbahno, dari kenduri pak Dar. Paginya ia rebus lagi dan dikasihkan kepada anak saya. Kebetulan saat ia sedang rewel. Giginya akan tumbuh”. Lanjutnya.
Hingga, jenasah diberangkatkan ke makam, para pelayat tak berhenti membicarakan kebaikan Mbah Tarno. Mereka mengular sepanjang jalan dari rumah duka hingga liang lahat.
Menjelang senja, dari lereng bukit di dekat sumber air belakang rumah pikiranku berkilas balik. Kebaikan itu ternyata tidak perlu diukur oleh perbuatan-perbuatan besar yang spektakuler.
Kehidupan Mbah Tarno mengajarkan, bahwa konsistensi dan komitmen dari perbuatan baik yang sederhana yang dilakukan dengan tulus hati dari hari ke hari membuatnya dilimpahi kebaikan.
Aurora di ufuk barat mulai memerah tua. Sebentar lagi layar hitam akan menutup langit.. Nyanyian merdu katak-katak pohon mulai menggema dari pinggiran hutan menyambut kehadiran sang malam. Kerlap-kerlip lampu suar di ujung pulau mulai tertangkap mata. Memang, terang cahaya sekecil apa pun tak akan hilang ditelan kegelapan.
Pakem Tegal, 6-5-2020