Oleh: Nur Iskandar
Siapa bilang Kalbar tidak berjuang di kancah nasional Indonesia? Ladang pembantaian Mandor, sekira 88 km dari Kota Pontianak menjadi bukti empirisnya. Terdapat 10 makam massal yang terpelihara hingga saat ini dan oleh pemerintah telah ditetapkan sebagai Monumen Daerah. Peristiwa perjuangan nasional itu pada kurun waktu pra-kemerdekaan, yakni pada masa fasisme Jepang (1942-1945).
Tulisan ini dimulai dengan pernyataan bahwa Kalbar punya sejarah perjuangan yang luar biasa heroiknya sehingga masuk kategori genosida. Genosida sendiri berarti pembantaian yang dilakukan secara terstruktur dan massif yang dilakukan pemerintah pendudukan Jepang. Pernyataan ini perlu ditegaskan sejak awal, karena amat sedikit buku sejarah nasional menyebutkan adanya perjuangan di Bumi Borneo Bagian Barat. Bahkan parahnya, Kalbar kerap ditonjolkan dalam sejarah nasional sebagai hal-hal negatif. Sebut saja buku tetralogi 30 tahun Indonesia Merdeka menyudutkan posisi Sultan Hamid II sebagai “pelaku makar”. Padahal lewat “Peristiwa Mandor” dapat diketahui bahwa ayahanda Sultan Hamid yakni Sultan Moehammad juga gugur sebagai syahid melawan tirani Jepang selain hampir 70 kerabat Istana Kesultanan Kadriah-Pontianak. Adapun Sultan Hamid juga berperan dalam melakukan pemugaran ladang pembantaian di Mandor tersebut.
Selaku jurnalis, sejak di Mimbar Untan tahun 1992 saya bersama pemerhati sejarah Syafaruddin Usman kerap kali menurunkan laporan tentang Peristiwa Mandor ini. Laporannya dituangkan ke dalam koran kampus yang terbit berkala. Namun kemudian kami sibak lebih leluasa di Jawa Pos Media Group di mana Syafaruddin Usman pernah bekerja di Pontianak Post sedangkan saya di Harian Equator (Jawa Pos News Network). Alhasil Syafaruddin Usman menulis buku lebih rinci mengenai Peristiwa Mandor, sedangkan saya merintis kerjasama bersama Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat di penghujung masa bakti Gubernur Usman Ja’far berupa seminar nasional perjuangan daerah, Mandor. Seminar itu diikuti sanak-famili keluarga korban, akademisi dan pemerhati sejarah, selain pihak terkait terutama Pemprov, wakil rakyat di DPRD dan DPR-RI, termasuk Komnas HAM.
Dari hasil seminar nasional itulah, kemudian lahir rekomendasi pemasangan bendera setengah tiang setiap 28 Juni. Kenapa 28 Juni? Sebab pada tanggal tersebut penemuan makam massal genosida, sehingga tersibak adanya perjuangan rakyat Kalimantan Barat di mana para raja dan cerdik pandai se-Kalbar diculik Jepang dan tak diketahui kemana rimbanya…Pada tanggal 28 Juni itu pula yang digunakan Gubernur Kadarusno pada masa kepemimpinannya di Kalbar untuk memperingati para syuhada Mandor.
***
Rekomendasi seminar nasional yang diselenggarakan di Gedung Rektorat Untan terkait Hut Kemerdekaan RI itu diketuai oleh Zulfidar Zaedar Mochtar, sedangkan saya selaku sekretaris. Kerabat kesultanan Syarif Muhammad Herry terlibat di kepanitiaan bersama pakar hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Turiman Faturrahman Nur, SH, M.Hum. Adapun narasumber pada seminar itu antara lain Komisi III DPR RI HM Akil Mochtar, Bupati Landak Drs Cornelis, MH, Komnas HAM RI Mayjen TNI Purn Taheri Noor, Ketua Forum Keraton Nusantara Wilayah Kalbar Drs Gusti Suryansyah dan Panembahan Landak Ir Gusti Hardiansyah, MQM. Seminar dengan dua sesi diikuti 150-300 peserta itu tak kalah heroiknya. Penuh gegap gempita, bahkan tetes air mata.
Betapa tidak, para ahli waris keluarga korban banyak mengenang peristiwa pahit getir di tahun 1942-1945 tersebut. Sebut saja kenangan disampaikan cucu Sultan Muhammad, Syarif Simon Alkadrie dan putra korban dari kalangan tokoh masyarakat, Ir H Said Dja’far. Detil kenangan mereka mengharu-biru sehingga merasuk ke sembilu.
***
Buah rekomendasi itu bercabang dua. Cabang pertama diboyong Gusti Suryansnyah ke Markas Korem 121 Alambana Wanawai. Turut serta dalam rombongan ini selain Gusti Suryansyah, adalah Kepala Biro Sosial Pemprov Kalbar Dra Sri Jumiadatin, Syafaruddin Usman, Andreas Acui Simanjaya, Gusti Hardiansyah dan saya. Selain itu ada beberapa orang lain, yang saya tidak ingat lagi siapa saja mereka.
Danrem saat itu Brigjen TNI I Made Bawatenaya mendengarkan dengan seksama kisah genosida di Bumi Borneo dalam kurun waktu 1942-1945. Beliau kemudian merespon positif hasil rekomendasi seminar nasional Mandor berupa restu pemasangan bendera setengah tiang. Saya menyaksikan Danrem menelepon Pangdam yang saat itu masih bermarkas di Kaltim. Selain saya, anggota team yang diterima Danrem di ruang kerjanya, kawasan Taman Alun Kapuas turut mendengarkan pembicaran Beliau via telepon selular. Alhasil, konkret, pada tanggal 28 Juni, kali pertama di Kalbar diselenggarakan pemasangan bendera setengah tiang.
Zulfidar dan Syarif Muhammad Herry juga bergerak ke DPRD Kalbar. Naskah rekomendasi diusulkan ke Badan Musyawarah. Saat itu Ketua DPRD dijabat Ir H Zulfadhli. Ketuk palu tiga kali sidang mengesahkan Perda Hari Berkabung Daerah. Perda diteken Gubernur Usman Ja’far. Kemudian di penghujung tahun, tampuk pemerintahan berganti ke pundak Drs Cornelis, MH. Dan di zaman Cornelis, lahir Pergub tentang tata cara upacara Hari Berkabung Daerah.
Saya dkk jurnalis, budayawan dan tokoh masyarakat sempat menulis buku tentang Genosida Mandor dengan jumlah korban 21.037 jiwa tersebut. Berikut foto yang pernah dimuat di Antara. Pada teks foto Antara yang ekspose pada 25/6 sbb – GENOCIDE KALBAR. Pemerhati Sejarah Tragedi Mandor, Nur Iskandar, memperlihatkan buku ‘Genocide Kalimantan Barat 1942-1945’, usai launching di Tribune Institute, Pontianak, Kalbar, Sabtu (25/6). Buku Genocide Kalbar yang berisi kumpulan tulisan dari empat budayawan dan enam jurnalis tersebut, menceritakan tentang sejarah peristiwa pembantaian terhadap 21.037 rakyat Kalbar yang dilakukan oleh tentara Jepang pada 1942 hingga 1945 di Mandor, Kabupaten Landak, Kalbar. FOTO ANTARA/Jessica Wuysang/ed/pd/11. Begitu sedikit kenangan menyoal Hari Berkabung Daerah dengan pengibaran bendera setengah tiang.
Pertanyaannya kenapa pasang bendera setengah tiang ini perlu dijelaskan? Sebab biasanya pemasangan bendera setengah tiang dilakukan apabila ada tokoh nasional yang wafat. Tetiba di tanggal 28 Juni warga diminta pemerintah daerah memasang bendera setengah tiang, ya sejarahnya sekelumit seperti dituturkan di atas. Semoga warga Kalbar dapat merenungi perjuangan para sultan, raja, guru, cerdik-cendekia, dan warga awam yang telah berjuang bagi kemerdekan dari tirani penjajahan. Kemudian terus menggali nilai-nilai luhur kejuangan sekaligus merekatkan semangat persatuan dan kesatuan. (Nuris)