in

Menggugat Kekerasan Paradigmatik

Eka Hendry Ar

Oleh: Eka Hendry Ar

Berpikir anti-thesis atau beyond theoritical-hegemony merupakan sebuah keniscayaan akademik,  agar ilmu pengetahuan terus hidup berkembang. 

Thesis ini berangkat dari preposisi bahwa manusia adalah makhluk yang terbatas oleh ruang dan waktunya.  Termasuk kepentingan dan ideologi yang melingkupinya.  Kemudian,  dunia yang senantiasa berubah merupakan preposisi lainnya.   

Tidak sedikit ilmuwan yang terjebak dengan paradigma teoritis yang digunakannya.   Bukan untuk membantu memahami dan menerangkan realitas, akan tetapi untuk menjustifikasi klaimnya sendiri.   Tanpa disadari kita melakukan “kekerasan paradigmatik”, dengan “mengadili” realitas berdasarkan teori yang kita gunakan.   

Kekerasan serupa seringkali terjadi,  dan tidak disadari oleh pelaku.   Selain tidak terjadi praktik kekerasan fisik dan psikologis secara langsung, serta tidak ada narasi yang dapat secara mudah dideteksi sebagai kekerasan.  Istilahnya macam-macam,  ada yang menyebutnya dengan kekerasan budaya,  spiral kekerasan atau kekerasan simbolik.  

Johan Galtung mengistilahkan dengan kekerasan budaya,  untuk menerangkan kekerasan yang mendapatkan legitimasi dari nilai-nilai kebudayaan.  Kekerasan yang dimaksud adalah “penindasan” atau “meneror”  sehingga menimbulkan rasa tidak nyaman,  rasa bersalah,  rasa takut, rasa didominasi dan tidak merdeka.   Kekerasan budaya dapat menjadi pintu masuk bagi kekerasan psikologis hingga kekerasan fisik.  

Dom Helder Camara mengistilahkan dengan spiral kekerasan yaitu rantai kekerasan yang dimulai dari hegemoni kekuasaan yang bertindak tidak adil kepada rakyatnya.  Akibat ketidak adilan masyarakat terpojok ke level underdog. Akibatnya timbul putus asa,  hilang harapan, hingga gelap mata melakukan berbagai tindak kriminal untuk bertahan hidup.   Untuk menghentikan berbagai aktivitas kriminal pemerintah menggunakan pendekatan keamanan.  Jadilah lingkaran kekerasan.   

Point dari Helder ketidak adilan menjadi penyebab kekerasan lainnya.  Ketidak adilan merupakan kekerasan yang tidak dinarasikan dan tidak berwujud langsung kekerasan.  Namun daya rusaknya luar biasa.   Kekerasan tidak dengan sepatah katapun  narasi kekerasan. Bahkan dibungkus dengan rasionalitas pembangunan dan peningkatan laju investasi. Tanpa disadari pembangunan menciptakan ceruk kemiskinan semakin dalam (underdog), akibat kebijakan pembangunan yang diskriminatif.  Ini juga sama akan menjadi pintu masuk kekerasan fisik.

Kemudian Pierre Bourdieu dengan kekerasan simbolik dimana kekerasan terjadi melalui dominasi kelas dominan yang hendak memaksakan habitusnya kepada kelas yang dikuasai,  salah satunya  melalui instrumen bahasa.  Karena bahasa tidak sekedar sebagai alat komunikasi, akan tetapi juga ideologi.  Bahasa tidak semata menyampaikan pesan, akan tetapi juga menyampaikan kehendak.  Kekerasan terjadi dalam narasi,  dalam bahasa tubuh maupun bahasa lisan dan tulisan.   Kekerasan simbolik biasanya dilakukan oleh mereka yang memiliki kuasa (dominasi)  atas narasi atau wacana.   Kekerasan simbolik merupakan pintu masuk kepada kekerasan psikologis dan kekerasan fisik.  

Berdasarkan beberapa rupa kekerasan di atas,  semua tampak terbungkus rapi dalam budaya,  tradisi,  adat kebiasaan,  bahasa, ilmu pengetahuan dan kebijakan politik.  Tidak ada terma kekerasan seperti memukul,  melukai,  menyiksa,  merampas dan membunuh.  Bahkan tidak jarang korban tidak menyadari dominasi sedang menguasai dan menyudutkannya. Namun implikasinya sama dengan kekerasan,  membuat orang takut, membuat orang gelisah,  merasa tertindas,  merasa dirampas kebebasan dan kemerdekaan,  merasa direndahkan dan dihinakan.   

Daya rusaknya tidak kalah dengan daya rusak akibat kekerasan psikologis dan fisik.  Membuat korban kehilangan kepercayaan diri,  merasa tidak berdaya,  terdominasi dan terampas kebebasan dan kenyamanannya.   Tentu kondisi ini merusak komunikasi dan hubungan sosial yang sehat.   Pada akhirnya berdampak buruk pada perkembangan masyarakat.  

Dari sekian bentuk kekerasan tersebut, ada kekerasan  yang lebih halus lagi, nyaris tidak terdeteksi oleh pelaku dan korban. Yaitu ketika kita menjustifikasi realitas berdasarkan sudut pandang teori yang diyakini.  Terlebih lagi mereduksi realitas yang sejatinya komplek dan rumit,  sebatas lingkup keyakinan teori yang dianut.   Kemudian dengan gampang mengklaim bahwa apa yang sungguh terjadi adalah salah,  buruk,  tak pantas,  karena teori yang kita gunakan menjustifikasi keyakinan tersebut.   

Ada contoh menarik,  ketika terjadi perdebatan tentang ada satu sekolah umum yang konon katanya mewajibkan seluruh siswi (termasuk non Muslim) menggunakan jilbab.   Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bergeming,  mengutuk keras tindakan intoleransi tersebut.   Bahkan terlontar kata,  bila perlu ditindak tegas pelakunya.    

Tiba-tiba kita (katakanlah sebagai ilmuwan) dengan menggunakan teori kekerasan simbolik menyatakan bahwa tindakan pihak sekolah sebagai tindakan kekerasan simbolik.  Itu berarti bahwa pihak yang dituduhkan melakukan dominasi terhadap para siswa dengan modal yang dimiliki oleh sekolah.  Pertanyaannya,  apakah sesederhana itu realitas di lapangan.  Apakah kebijakan tersebut bersifat memaksa (oleh otoritas sekolah kepada minoritas siswa), sehingga siswa merasa terpaksa dan terampas hak kebebasannya. Sudahkah kita mengerti seluk beluk kebijakan tersebut,  latar belakang,  waktu, implikasi dan variabel-variable sosial dan budaya yang melatar belakangi realitas dimaksud.  

Pertanyaan-pertanyaan ini sejatinya harus dimengerti sebelum kita memberikan justifikasi akademik.   Jika kita tidak memahami realitas secara objektif,  hanya menilai berdasarkan wacana yang diberitakan.  Kemudian menilai realitas tersebut, meskipun dengan teori.  Kemudian terbentuklah opini bahwa ini termasuk kekerasan simbolik.  Artinya akan menjadi pintu masuk bagi kekerasan lainnya yang lebih serius.  Apakah ini tidak termasuk bentuk kekerasan simbolik juga.   

Memang boleh jadi ada benarnya,  karena Bourdieu sendiri menyadari di institusi pendidikan rentan terjadi kekerasan simbolik.  Karena sekolah sebagai institusi yang dianggap melanggengkan dominasi kelas dominan atas kelas yang tidak dominan.  Namun, realitas tidak selalu deterministik dan linear,  sebab boleh jadi ada variabel lain yang harus dimengerti dari sebuah realitas sosial.  

Penulis setuju bahwa kekerasan simbolik harus dibongkar agar tidak terjadi dominasi. Namun ingat juga,  ketika kita menjustifikasi keyakinan kita dengan teori tanpa mendengar dan memahami realitas,  maka sejatinya kita sedang membangun dominasi dengan narasi dan justifikasi ilmiah.  Bukankah ini juga kekerasan simbolik yang berlindung di balik paradigma teoritik.  

Tidakkah sebaiknya, kita memahami perspektif kedua belah pihak,  tentang duduk persoalan yang sesungguhnya.  Jika nanti ternyata tidak ada pemaksaan dari pihak sekolah,  karena ketentuan itu telah lama diberlakukan.   Artinya ada konsensus yang telah disepakati bersama,  dan masing-masing pihak tidak berkeberatan.  Konsensus dapat terjadi karena kesamaan pandangan budaya,  norma dan adat istiadat yang menjadi asas kehidupan bersama.   

Baik,  penulis ambil contoh yang lain.  Yogyakarta merupakan daerah istimewa dimana salah satu Keunikannya diatur dalam UU keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2012 dimana Sri Sultan otomatis diangkat menjadi Gubernur D.I. Yogyakarta.  Sementara di daerah lain tidak ada konsensus seperti demikian.   Apakah pantas seorang ilmuwan dengan menggunakan teori demokrasi,  mengatakan bahwa praktik ini adalah kekerasan simbolik, karena tidak dipilih melalui mekanisme Pilgub atau ini tidak melalui proses demokratis.    Saya yakin masyarakat Yogya akan keberatan dengan pandangan demikian,  karena mereka sudah punya konsensus politik kebudayaan yang tidak dimiliki oleh daerah lain.  Sehingga masyarakat Yogya santai saja,  menerima, dan tidak merasa didominasi.  Sehingga hingga kini sistem tersebut tetap berlangsung. 

Artinya, mesti ada sebuah kontekstulisasi dalam menggunakan kerangka teoritis dalam memotret realitas.  Teori sekali lagi untuk memahami realitas bekerja,  namun tidak untuk membuat klaim atas realitas.   Apalagi,  klaim itu dipaksakan sebagai narasi yang utama dan mendominasi.   

Atas pertimbangan inilah,  maka penulis dari awal tidak mau masuk dalam perdebatan tersebut.   Karena penulis tidak terlalu mengerti seperti apa realitas yang sesungguhnya terjadi.   Apalagi untuk masyarakat yang kaya dengan budaya lokal yang bersendikan agama seperti Sumatera Barat.  Harapan kita semoga kita dapat memahami persoalan serupa secara arif dan bijaksana,  tidak gegabah dan mudah menjustifikasi secara hitam putih.  (Penulis adalah Dosen IAIN Pontianak)

Written by teraju.id

IMG 20210217 WA0003

In Memoriam: Jalaluddin Rakhmat Memilih Jalan Tasawuf

ump kppad2

Rektor UM Pontianak Tandatangani MOU Bersama KPPAD Provinsi Kalimantan Barat