Oleh: Ambaryani
—Pagi hari di Teluk Nangka, udaranya sejuk. 4.30 dini hari kokok ayam membuyarkan mimpi. Suasana masih hening.
Menjelang adzan subuh, sudah mulai terdengar aktivitas warga. Suara gertak papan yang beradu dengan ban motor, menghasilkan bunyi yang khas.
Gledek,gledek,gledek…
Kalau tidak dinikmati, bunyi itu menganggu tidur, bising. Tapi, rasanya tidak. Justru suara-suara itu jadi alarm otomatis. Alarm dari alam.
Setelah masak dan beberes rumah, sembari menunggu jam kantor, saya dan teman sempat jalan-jalan ke ujung kampung. TR 12 Teluk Nangka B.
Kanan kiri jalan kebun kelapa, karet. Ada juga semak-semak dan parit jumbo. Rumah warga, tapi jaraknya agak berjauhan. Jalannya sudah semen. Lebar kurang lebih 2 meter.
Anak-anak sekolah lalu lalang. Penyadap kelapa, sudah mulai manjat dan noreh. Nira sudah mulai menetes. Botol air mineral 1,5 L yang digunakan sebagai penadah nira, sudah mulai terisi.
Jerigen besar 25 L stanbay di bawah pohon kelapa. Sebagai tampungan nira yang akan diambil hasil sadapan semalam.
Sambil berjalan, tangan saya gatal melihat pakis miding yang tumbuh di kanan kiri jalan. Muda-muda. Seakan memanggil untuk dibawa pulang.
Tidak saya sia-siakan momen itu. Sambil nyelam minum air. Jalan santai pagi-pagi, sehat dapat, sayur pun dapat. Saya teringat kata-kata Pak Kusyadi kepala BKPSDM Kubu Raya saat pembekalan CPNS 6-7 November 2017.
“Syukuri di mana pun kalian ditempatkan! Lihat potensi yang ada, justru yang ditempatkan di kampung, banyak yang bisa dilakukan. Kalau bisa bertani, tanam sayur, kalau tidak bisa dijual, bisa dimakan sendiri. Tentu lebih hemat uang belanja”.
Dan hal itu sudah saya buktikan. Walaupun saya belum berkesempatan bercocok tanam, setidaknya saya bisa ambil apa yang alam sediakan. Pakis.
Kalau di kota, mana bisa begini. Semua harus beli. Tapi, kembali lagi. Di manapun kita ditempatkan, tinggal bagaimana kita memandang dan menyikapi. Akan menyenangkan jika kita nikmati dan syukuri. Alhamdulillah. Semoga akan terus bisa bersyukur. (*)