Oleh: Leo Sutrisno
Kemajuan teknologi telekomunikasi dan teknologi informasi yang berlangsung dalam tiga dasa warsa terakhir ini menghasilkan peristiwa ‘big bang’ dalam dunia digital. Hampir semua orang kini dengan penuh kegembiraan (kalau bukan ‘kemaruk’) menjelajahi dunia maya dimana pun dan kapan pun.
Sore tadi, 26-2-2019, di suatu tempat di Yogya, saya berdiri selama kurang lebih 30 menit, memperhatikan prilaku seorang bapak dan anaknya (sekitar usia 5 th). Mereka berdua duduk di emperan sebuah kios. Anaknya dengan pikiran menerawang jauh memandangi setiap kendaraan yang lewat di depannya dengan membisu. Sementara, si bapak sibuk dengan HP-nya. Selama 30 menit bapak dan anak tidak ada komunikasi sama sekali.
Tentu, situasi seperti ini dapat ditemukan dimana dan kapan saja dan dilakukan siapa saja. Dampaknya, banyak orang kehilangan interaksi personalnya. Mereka menjadi ‘anonim’, tanpa identitas yang sesungguhnya. Mereka yang kurang kuat kepribadiannya dengan mudah meninggalkan norma-norma sosial yang berlaku, tanpa meresa bersalah.
Mereka dengan mudah meneruskan unggahan-unggahan, misalnya, yang kurang pantas atau juga membuat tulisan dan gambar-gambar yang sesuangguhnya ‘sampah’. Karena bersifat: sensasional dan superfisial. Sering juga bersifat kekerasan dengan selubung kata-kata.
Agar tidak mudah berbuat seperti itu, kiranya seseorang perlu membuat dirinya memiliki kepribadian yang kuat. Prof. Magnis-Suseno, menyarankan tiga peinsip dasar moral yang mesti dikembangkan, jika ingin memiliki kepribadian yang kuat. Ketiga prinsip dasar itu adalah: sikap baik, adil, dan hormat kepada diri sendiri.
Sikap baik
Kita, dalam berinteraksi dengan orang lain hendaknya jangan merugian siapa saja. Artinya, kita mesti bersikap positif dan baik dalam berinteraksi dengan siapa saja. Hanya dengan prinsip sikap baik kepada siapa saja itu, kita dapat bertemu dengan orang yang belum kita dengan tanpa rasa takut. Karena, kita masing-masing mengandaikan bahwa orang lain itu tidak akan menngancam atau merugikan kita. Kita sering mangalami mendapatkan bantuan dari seseorang yang belum/tidak kita kenal karena yang bersangkutan memiliki sikap baik kepada siapa saja, termasuk kepada kita yang belum dikenalnya.
Bersikap baik berarti memandang seseorang atau sesuatu tidak hanya sejauh berguna bagi kita, melainkan: menghendaki, menyetujui, membenarkan, mendukung, membela, membiarkan dan menunjang perkembangannya, mendukung kehidupannya dan mencegah kematiannya demi dia itu sendiri.
Adil
Sikap baik tidak akan terlaksana dengan baik jika kita tidak adil. Kita dapat bersikap baik dengan cara selalu menyetujui segala permintaannya. Tetapi, jika persetujuan itu dapat mengancam atau merugikan yang lain maka sikap baik seperti itu juga tidak menjadi baik. Karena itu, sikap adil diperlukan.
Sering kita berlaku tidak adil kepada seseorang demi seseorang yang lain yang baik dengan kita. Tentu tindakan seperti ini tidak juga dibenarkan. Misalnya, kita meneruskan informasi yang tidak benar tenteng sesuatu kelomok tertentu karena informasi itu datang dari kelompok kita.
Adil menuntut kewajiban kita untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap semua orang yang berada pada situasi yang sama dan untuk menghormati hak semua fihak yang bersangkutan.
Hormat terhadap sendiri
Hormat kepada diri sendiri mengatakan bahwa manusia wajib untuk selalu memperlakukan diri sebagai sesuatu yang bernilai pada diri sendiri. Manusia adalah pribadi, pusat berpengertian dan berkenhendak, yang memiliki kebebasan dan suara hati, serta berakal budi.
Sebagai manusia tidak boleh dipandang sebagai sara semata (SDM) demi mencapai tujuan tertentu. Ia adalah tujuan yang bernilai pada diri sendiri. Karena itu, kita wajib menghormati martabat diri sendiri.
Jadi, kebaikan dan keadilan yang kita tunjukkan kepada orang lain, perlu diimbangi dengan sikap yang menghormati diri kita sendiri sebagai makhluk yang bernilai pada diri sendiri. Kita mau berbaik kepada orang lain dan bertekad untuk berbuat adil tanpa harus membuang diri.
Mangga kaoncekana
26-2-2019, Pakem Tegal, Yogya
Nuwun