in ,

Pemilu dan Demokrasi Buah

WhatsApp Image 2019 01 23 at 23.18.49

Oleh: Nur Iskandar

Demam pemilihan umum (pemilu) sedang melanda Indonesia. Pada Rabu, 17 April 2019 akan dilaksanakan pemilihan serentak untuk wakil rakyat di DPRD Kabupaten/Kota, caleg DPRD Provinsi dan Pusat, Pilpres dan DPD. Tahun 2019 ini tahun politik!

Siapakah dari caleg yang bakal mulus mendapatkan kursi? Siapakah capres yang bakal memimpin Nusantara 2019-2024? Siapakah yang diapresiasi pasar?

Demam one man one vote tidak hanya di kontestasi caleg partai maupun capres. Demam serupa terjadi di pasar buah kita. Sungguh, kampanye senyap telah terjadi saban musim. Sehingga kita tak sepatutnya kita terlatah-latah…
Belum pernah terjadi dalam satu dekade terakhir ini di Kalbar turunnya buah durian sebanyak ini. Si raja buah itu turun gunung dari hampir seluruh wilayah. Mulai dari yang tersohor sejak tempo doeloe hingga yang samar-samar terdengar sebagai penghasil durian. Sebut misalnya durian Punggur, durian Sungai Jawi, durian Sempalai, hingga durian Batang Tarang. Kenyataan sekarang, sekawanan durian turun dari 14 kabupaten/kota. Harga pun anjlok. Petani pun “tejelepok”. Demokrasi pasar yang selama ini toto-tentrem, ikut deflasi. Harga langsat turun derajat. Dan yang paling terbanting adalah rambutan. Bayangkan lima ikat dihargai Rp 10 ribu saja! Di beberapa lapak pedagang, rambutan yang tidak laku dibiarkan sampai hitam-legam.

Namanya juga si raja buah. Dalam nomenklatur pertumbuhan dan pertanaman, tidak hanya ukuran buahnya yang besar, pohonnya juga besar, sehingga membutuhkan tempat tumbuh yang besar. Selain itu, si raja buah ini juga melibatkan transaksi yang besar lantaran rasa yang ditawarkannya aduhai. Sesuai dengan tekstur dan strukturnya. Semakin legit, tebal isi, kelemping biji, harganya pun selangit. Pasar Pontianak bahkan sempat digegerkan dengan harga buah durian mencapai ratusan ribu bahkan jutaan rupiah. Pun jika tak terserap pasar, masih bisa disulap menjadi tempoyak ataupun lempok. Masih bisa selamat dari jangka waktu pasar buah segar nan singkat. Daya survivalnya sangat tinggi.

Si raja buah ini juga punya daya pikat lainnya. Yakni pengusir rasa dingin. Warga Tionghoa punya kepercayaan dengan si buah penghantar panas ini. Oleh karena itu setiap musim buah durian tiba, pedagang menuju ke titik pasar yang mudah dijangkau warga Tionghoa.

Harga langsat dan rambutan baru akan beringsut naik ketika si raja buah melewati masa panen raya. Jika panen raya buah-buah tropis ini bersamaan dengan masa panen si raja buah tersebut, alamat tak akan pernah menguasai pasar. Tak akan pernah mendapatkan tempat terhormat dengan harga tertinggi setinggi harga durian.

Salahkah durian menguasai pasar? Takdirnya berada di tataran elit rasa–walaupun sesungguhnya dia tajam-berduri. Haruskah dipaksa si raja buah ini turun tahta? Hanya hukum alam berupa cuaca yang mengaturnya apakah seiring dengan produksi buah tropis lainnya atau berselang-seling. Natural of law penentunya.

Sebaliknya, salahkah si rambutan dan si kuning langsat yang tidak bisa membuat konsumen “terliur-liur” untuk mampir mencicipinya? Tidak juga. Cita-rasa itu sudah ditakdirkan oleh si pembuatnya. Itu rahasia Tuhan kepada masing-masing kelompok buah.

Lalu, dari demokrasi pasar buah, apa yang bisa kita ambil pelajarannya? Bahwa setiap jenis dan kelompok itu sudah ada marketnya! Sudah ada kelompok yang suka dan tidak suka. Akan ada kelompok yang pro dan kontra.

Demokrasi buah lokal kita tidak boleh putus hanya silih berganti kontestasi yang senantiasa dimenangkan oleh durian, namun sesungguhnya demokrasi buah impor lebih merajai pasar buah kita. Lihatlah, pada saat membuat parsel buah, yang dibawa ke meja para pembesar, isinya bukanlah durian, melainkan apel, pear, kiwi, anggur.

Begitupula untuk buah tangan ketika mengunjungi sanak-famili ke rumah sakit. Semua itu buah impor…Menilik hal ini, langsat paling memungkinkan untuk didesain sedemikian rupa. Jika pakar hereditas–pemuliaan tanaman kita bisa fokus sehingga dapat memproduksi langsat tahan 1-2 minggu di pasar terbuka, yakin juga laik diparcelkan. Begitupula rambutan, manggis, rambai…

Kepada demokrasi buah yang berorientasi pasar, kita semestinya bisa menggunakan akal sehat. Bahwa kemenangan menguasai pasar itu ditentukan oleh rasa. Oleh tekstur, struktur dan juga kultur.

Rasa legit yang ditawarkan merasuk ke alam bawah sadar konsumen. Harga setinggi apapun rela dipungkasi. Receh di kocek rela diceluk lebih dalam lagi. Pasar yang mengejar…

Kalau demokrasi buah selalu dimenangkan oleh durian, itu sudah takdirnya oleh karena sifat bawaannya. Oleh karena daya survivalitasnya yang tinggi. Dengan harga tinggi saja masih diburu konsumen, apalagi pada saat panen raya dengan harga rendah. Bertuik-tuik masyarakat luas menikmatinya.

Apel, pear, kiwi dan anggur hadir di pasar dengan penampilan yang yahud. Mereka didesain panen tanpa mengenal musim. Mereka hadir di pasaran seperti tak pernah ada putus-putusnya. Sementara soal rasa, terus ada up-date, karena penelitian tentang hereditas mereka ditongkrongi para ahli botani.

Nah, ketika masa panen raya durian perlahan surut, buah lainnya beringsut naik. Ini bukan karena durian kalah, tetapi memang sunnatullah. Bahwa kemenangan itu dipergilirkan.

Tapi demokrasi itu bukan soal menang dan kalah. Menang dan kalah adalah sebuah konsekwensi dari sebuah kontestasi. Sebab setelah satu kompetisi selesai, kompetisi lainnya datang menghadang.

Kalaupun rambutan atau langsat “naik daun” di mata pasar, buah apel, pear, kiwi, anggur senantiasa datang menantang! Pasar yang kemudian terus menentukan pilihan.

Saya ingin mengulangi sebait argumentasi di atas, bahwa, “Demam one man one vote tidak hanya di kontestasi caleg partai maupun capres. Demam serupa terjadi di pasar buah kita. Sungguh, kampanye senyap telah terjadi saban musim. Sehingga kita tak sepatutnya latah…”

Banyak energi yang kita butuhkan untuk fokus melawan raja buah sub-tropis yang dipimpin apel dkk itu. *

Written by Nur Iskandar

Hobi menulis tumbuh amat subur ketika masuk Universitas Tanjungpura. Sejak 1992-1999 terlibat aktif di pers kampus. Di masa ini pula sempat mengenyam amanah sebagai Ketua Lembaga Pers Mahasiswa Islam (Lapmi) HMI Cabang Pontianak, Wapimred Tabloid Mahasiswa Mimbar Untan dan Presidium Wilayah Kalimantan PPMI (Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia). Karir di bidang jurnalistik dimulai di Radio Volare (1997-2001), Harian Equator (1999-2006), Harian Borneo Tribune dan hingga sekarang di teraju.id.

gedung baru untan 7 in 1

Untan Menuju ‘Universitas (Ber)Kelas Dunia’

WhatsApp Image 2019 01 24 at 15.01.05

Dukungan Penuh Masyarakat dan Kecamatan Pada PKM Mahasiswa FKIP Untan