Oleh: Turiman Faturahman Nur
Tahanan Politik di Madiun
Rumah Tahanan Militer (RTM) Madiun adalah monumen yang hampir hancur.
Bangunan yang menjadi bagian tersendiri dari sejarah sosial politik Indonesia itu kini memperlihatkan sejumlah dinding yang retak bahkan belah, atap yang bolong dan ditumbuhi lumut serta tanaman liar menjalar, juga lantai berdebu yang terancam rerumputan liar. Beberapa batang bonsai dan sejumlah pohon yang ditanam penjaganya dewasa ini tak dapat memupus kesan tidak terawatnya bangunan bersejarah ini.
Secara fisik, hampir tak ada yang berubah pada bangunan itu. Keadaannya masih seperti dulu, dan tetap tampak seperti bui. Sekarang bangunan tersebut dijaga dan dihuni oleh Sersan Mayor Admin, bintara Polisi Militer Kodam Brawijaya bersama keluarganya. “Saya hanya mendapat perintah untuk menjaga tempat ini,” tutur Admin.
Pada dinding di ruang tamu, masih terpasang dua lembar papan tipis yang menyajikan denah bangunan serta tabel bekas data tahanan yang dulu meringkuk di situ.
RTM itu terletak di Jl. Wilis (kini Ahmad Yani) 9, Madiun. Bangunannya, seluas 1.547 meter persegi, berdiri di atas lahan seluas 3.880 meter persegi. Bangunan yang tampaknya dibuat pada zaman kolonial ini dikelilingi dinding setinggi lebih kurang 6 meter dilengkapi dengan pagar dan pintu besi. Pintu depannya berwarna hijau, terbuat dari kayu tebal dan keras, dan bagian atasnya melengkung. Di keempat penjurunya terdapat gardu jaga yang letaknya lebih tinggi dari dinding. Di dalam dinding terdapat sel-sel tahanan serta berbagai fasilitas lain seperti ruang kantor, lapangan tenis dan kebun sayur yang dikelilingi parit. Sel-sel tahanan terbagi ke dalam 6 blok, yakni Blok A (8 kamar), Blok B (13 kamar), Blok C (1 kamar), Blok D (9 kamar), Blok E (4 kamar) dan Blok F (3 kamar). Seluruhnya ada 37 kamar yang dapat menampung 287 tahanan.
Pentingnya RTM Madiun terlihat dari dua hal. Pertama, secara arsitektural, bangunan ini semestinya dijadikan salah satu cagar budaya di daerah tersebut. Sudah pasti keberadaannya sangat penting sebagai bagian dari referensi sejarah Madiun sebagai salah satu kota penting di Jawa Timur. Kedua, secara politik, bangunan ini sesungguhnya merupakan salah satu bukti gagalnya eksperimen demokrasi parlementer pada dasawarsa 1950-an akibat “Demokrasi Terpimpin” a la Soekarno. Di sinilah Soekarno memenjarakan sejumlah tokoh politik dari Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dan Partai Sosialis Indonesia (PSI), dua partai utama yang dibekukan oleh Soekarno begitu ia membubarkan konstituante hasil pemilihan umum demokratis.
Di situlah Ajengan Engkin dan kawan-kawan seperti K.H. M. Isa Anshary, M. Yunan Nasution, … meringkuk beberapa tahun sebagai tahanan politik rezim Soekarno, dan baru dibebaskan setelah rezim itu jatuh pada 1966. Hingga zaman Orde Baru RTM Madiun masih dipakai untuk menahan beragam orang: tahanan “G 30 S/PKI”, “Subversif”, “Komando Jihad” dan “Kriminil”.
Rezim Soeharto menggunakan bangunan itu melalui Komando Operasi Pengendalian Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) Daerah Jawa Timur.
Penjara yang di maksudkan dikenal dengan nama Penjara CPM (Corps Polisi Militer). Bangunan penjara tersebut terletak di Jalan A. Yani no.9 (dulu Jalan Wilis) dekat dengan Sekolah Santo Bernadus atau tepat pertigaan di sebelah kanan anatara Jalan Pandaan dan Jalan A. Yani.
Bangunan dengan luas 3.800 meter persegi ini dibangun pada masa kolonial merupakan penjara kecil. Berdasarkan peta kota Madiun tahun 1917 Penjara CPM dulu bernama s’Land Gevangenis (Penjara Negara) atau Kleine Boei (Penjara Kecil). Bangunan masa kolonial itu tetap kokoh bertahan hingga sekarang meski pada 4 gardu pos pantau yang menjadi ciri kalau ini adalah penjara sudah rusak bahkan ada yang hilang. Penjara tersebut digunakan sebagai rumah tinggal seorang purnawirawan. Meskipun penulis belum bisa masuk ke dalam bisa digambarkan kalau penjara tua tersebut tidak terawat dan yang meninggalinya terkesan hanya menjaga tanpa merawat.
Dibalik pintu utama yang berwarna hijau serta tinggi dan tebalnya tembok bangunan tua tersebut ternyata menyimpan rahasia. Tak banyak (warga Madiun)yang tahu juga kalau penjara tersebut pernah digunakan sebagai tempat “menginap” Perdana Menteri Pertama Indonesia yaitu Sutan Syahrir. Timbul pertanyaan kenapa Sutan Syahrir bisa ditahan di tempat ini? Sutan Syahrir dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI) di tahan oleh pemerintah Indonesia dibawah Presiden Soekarno karena di tuduh ingin mengulingkan pemerintahan.
Menurut majalah Tempoe (2009: 72) Sutan Syahrir mulai ditahan disini sejak Maret 1962 hingga November 1962 sebelumnya ditahan di rumah tahanan di Kebayoran, Jakarta. Selain Sutan Syahrir ada beberapa tokoh yang pernah dipenjarakan disini yaitu Sultan Hamid II, M. Roem, dan Subadio.
Bangunan itu sejak dibangun memang di gunakan terus untuk penjara baik pada zaman kolonial, jepang hingga kemerdekaan. Menurut majalah Tempoe (2009:72) sejak tahun 1980 bangunan milik datasemen Polisi Militer Madiun sudah tidak berfungsi lagi. Sangat disayangkan melihat kondisi penjara tua bersejarah yang kini sudah beralih fungsi tersebut menjadi tak terawat dan tak berguna.
Bila dirawat dengan baik di zaman modern sekarang ini penjara tersebut memiliki dua kegunaan yang penting buat masyarakat. Pertama, di tetapkan menjadi bangunan cagar budaya karena arsitektur bangunannya mewakili pada zaman kolonial, dan bisa menjadi salah satu obyek wisata sejarah kota Madiun. Kedua, bangunan ini bisa menjadi bahan pembelajaran perjalanan sejarah indonesia yang belum terungkap karena beberapa tokoh yang di cap sebagai penentang pemerintahan baik di orde lama maupun orde baru pernah di tahan disini. * (Penulis adalah pakar hukum tata negara Universitas Tanjungpura-penulis buku Biografi Politik Sultan Hamid II Alkadrie)