Oleh: Anshari Dimyati
Ketua Yayasan Sultan Hamid II
Banyak yang mempertanyakan bagaimana karakter seorang Sultan Hamid II, Sang Perancang Lambang Negara Garuda Pancasila. Apakah memang seorang yang jahat wataknya? buruk perangainya? atau buruk tindak tanduknya?. Saya memang tak begitu berminat merespon soal perseteruan antara Sultan Hamid II dan Sultan Hamengkubuwono IX, karena sudah seringkali saya jelaskan dalam tulisan saya. Itu soal politik, atau sentimen politik. Dulu dia berkawan lama, sejak sekolah dasar, lalu, siapa yang mengkhianati siapa?.
Lawan politik, bukan musuh politik. Toh, tak ada dendam lama antara mereka. Yang memelihara dendam, saya kira, adalah manusia-manusia hari ini yang mempunyai tendensi terhadap sejarah bangsa kita. Kalaupun ada yang bersedia secara live untuk memperdebatkan hal tersebut. Saya selalu terbuka untuk melayani perdebatan itu. Kami menunggu itu sejak lama!
Sultan Hamid II bukan penjahat, dia orang baik. Dia seorang yang berpendidikan, bertutur santun, formal, dan tak menghiraukan cemoohan orang disekitarnya. Barangkali, diasuh oleh orang berkebangsaan asing itu memang benar. Karena hal itulah, dia menguasai banyak bahasa asing di dunia. Sultan Hamid II dikenal dekat dengan barat (Belanda), tak dapat dinafikan bahwa dulu, raja-raja di Kepulauan Melayu (The Malay Archipelago) ini juga dekat dengan barat. Menggunakan baju aLa barat, seringkali menggunakan bahasanya, bahkan perangkat-perangkat hidup sehari-hari difasilitasi oleh barat.
Hal itu, bukankah kita alami hari ini? Bahkan, anak-anak muda kita, sudah kebarat-baratan. Baik pola pikirnya, maupun gaya hidupnya. Sultan Hamid II tidak, dia memang bolak balik hindia-Belanda – Eropa. Sekolah di sana, hingga pulang kampung, memodernisasi kehidupan, dan kemudian ikut pula memikirkan kemerdekaan bangsa, dalam perspektif dia. Banyak tokoh memandang miring soal peran Sultan Hamid II yang terjun berbalik arah menentang belanda, untuk ikut merebut kedaulatan tersebut secara bersama.
Namun, tak sedikit yang memanfaatkan kebesarannya sebagai seorang Sultan, kedekatannya bersama petinggi-petinggi Eropa, maupun PBB, untuk meloloskan kedaulatan kita. Sultan Hamid II orang baik, kalau memang tidak, mengapa tak direalisasikan saja niat membunuh Ali Budiarjo, Hamengkubuwono IX, TB Simatupang? Saya kira Sultan Hamid II kala itu masih punya banyak kantong-kantong kekuatan militer. Yang terjadi, bahkan niat saja itu, dia batalkan.
Kala ditangkap oleh Sultan Hamengkubuwono IX (Menteri Pertahanan RIS) pada 5 April 1950, Sultan Hamid II tak melawan. Dia tak mengerahkan masyarakatnya di Pontianak, di Kalimantan Barat, untuk memberontak. Sedangkan dia seorang Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB). Dia tidak mengerahkan ex-KNIL (Koninklijk Nederlands Indische Leger) untuk melakukan perlawanan atau penyerangan kepada APRIS dan TNI saat itu. Dia memilih diam. Dia terlalu mencintai Indonesia, dia memendam amarahnya, ketika dibohongi dan dizalimi oleh lawan politiknya. Hingga ditahan selama tiga tahun lamanya tanpa proses hukum yang jelas. Westerling lari entah kemana, dia tak diadili sebagai pelaku utama. Bahkan, bukankah saat itu militer sudah menjaga perbatasan darat, laut, dan udara kita? Bagaimana dia bisa disebut lolos kembali ke eropa?
Sultan Hamid II sangat bisa menjadi Presiden RIS, bila berkehendak. Toh, dia Ketua BFO (Bijeenkomst Voor Federale Overleg), Majelis Permusyawaratan Negara-negara Federal, yang memimpin 15 (lima belas) negara-negara bagian di bawahnya. Minus Republik Indonesia berkedudukan di Yogyakarta. Tapi, sekali lagi, dia mencintai Indonesia. Sultan Hamid II lebih memilih ingin menjadi Menteri Pertahanan RIS. Yang mana juga tertolak oleh formatur kabinet, yang dia ikut terlibat di dalamnya.
Dia tak melawan, hanya menghela nafas, ketika cuma diberikan jabatan Menteri Negara Zonderportofolio. Jabatan tanpa tugas khusus. Tugasnya hanya menyiapkan Lambang Negara, dan menyiapkan rumah kabinet. Namun, jabatannya sebagai koordinator panitia lambang negara, dijalaninya dengan baik. Hasilnya adalah lambang Garuda Pancasila yang ada di setiap ijazah-ijazah sekolah kita, di dinding-dinding institusi negara dan swasta, dimanapun ada lambang negara. Sebuah karya luar biasa seseorang yang dianggap pengkhianat oleh sebagian orang di negara kita. Lambang negara yang dirancang oleh si “pengkhianat” itu, masih kita gunakan berpuluh-puluh tahun lamanya, sampai dengan sekarang.
Sultan Hamid II, orang baik. Dia sampaikan dalam Pledoi-nya tahun 1953 bahwa “..saya tetap merasa berbahagia sebagai putera Indonesia, yang telah mendapat kehormatan sebesar-besarnya untuk dapat turut serta di dalam perjuangan mencapai kemerdekaan bagi nusa dan bangsa. Bagaimanapun bunyinya putusan Mahkamah Agung nanti, apakah saya akan bebas ataupun akan dijatuhi hukuman, tenaga saya tetap saya sediakan, apabila kelak negara membutuhkannya..”. Seorang patriot bangsa, tak mungkin membahasakan keinginannya untuk tetap berkontribusi, bila sudah terzalimi oleh negeri yang dia cintai.
Sultan Hamid II orang baik. Kalau tidak, tak mungkin banyak orang yang berinteraksi dengannya, kemudian memuji tindak, sikap, dan tuturnya selama berjalannya sejarah bangsa ini. Kita lihat pandangan Sutan Sjahrir dalam Memoar Mr. Hamid Algadri tentang Sultan Hamid II, dalam buku berjudul “Mengarungi Indonesia, Memoar Perintis Kemerdekaan” yang dibuat oleh Mr. Hamid Algadri, Kakek dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI saat ini, Nadiem Makarim.
Buku ini diterbitkan oleh Lentera, Jakarta, tahun 1999. Dalam memoar tersebut, halaman 82 s/d 86, Hamid menulis sub judul tulisan “Dilema Sultan Hamid Al Qadri”. Yang menarik adalah, ceritanya tentang perjumpaan antara Sutan Sjahrir dengan Sultan Hamid II ketika di dalam penjara. Memang, setelah bebas dari penjara (tuduhan berkaitan dengan Westerling) pada tahun 1958, Sultan Hamid II tak lagi berpolitik. Namun, empat tahun menghirup udara bebas, dia kembali ditangkap dan dijebloskan ke Rumah Tahanan Militer (RTM) Madiun, Jawa Timur, pada Maret 1962.
Tuduhannya adalah melakukan kegiatan makar dan membentuk organisasi illegal bernama Vrijwillige Ondergrondsche Corps (VOC). Dikabarkan, persiapannya dilakukan bersama sejumlah tokoh saat mereka berada di Gianyar, Bali, untuk menghadiri upacara ngaben (pembakaran jenazah) ayah dari Ide Anak Agung Gde Agung. Dalam upacara tersebut hadir sejumlah tokoh-tokoh oposisi pemerintah, Moh. Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, Buya Hamka, Mochtae Lubis. Terutama dari dua partai yang sudah dibubarkan, Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI), seperti Mohamad Roem (Masyumi), Sutan Sjahrir (PSI), dan Subadio Sastrosatomo (PSI). Mohammad Hatta hadir, begitu juga Hamid yang notabene kawan lama Ide Anak Agung Gde Agung. Selama empat tahun mereka ditahan tanpa proses pengadilan, tanpa diadili. Dia baru dibebaskan pada 1966 setelah era Soekarno berakhir. (Sultan Hamid II, Meneroka Akar Perkara Makar, 2012 – Lentera Timur)
Dalam tahanan di Madiun itu, interaksi Sultan Hamid II dengan para tokoh bangsa, cukup lama. Bagaimana tidak, selama empat tahun bersama-sama melakukan aktifitas dalam jeruji besi. Sultan Hamid II, kabarnya, memang tak begitu disukai karena sikapnya yang formal, tegas, dan cukup emosional. Di sisi lain, terlalu disiplin (ala militer), dan serius. Tokoh republik tak banyak yang menyukainya, termasuk Sutan Sjahrir. Dalam memoar itu, Hamid menyebut bahwa “..pertemuan Sutan Sjahrir bersama Sultan Hamid II kurang menyenangkan, dipenuhi suasana formal.. Ketika saya menanyakan pertemuan Sjahrir bersama Sultan Hamid II, tampak kurang terkesan..”. Tapi belakangan pendapat Sjahrir terhadap Sultan Hamid II sangat berubah, kata Hamid.
“Itu terjadi ketika Sjahrir ditahan bersama Sultan Hamid dan beberapa orang pimpinan Masyumi. Selama dalam tahanan, Sjahrir menderita sakit darah tinggi. Pada suatu hari, ketika berada di kamar kecil, ia jatuh pingsan. Satu-satunya orang yang melihat kejadian ini lewat jendela kamar tahanan Sjahrir adalah Sultan Hamid. Ia masuk ke kamar Sjahrir dan mengangkatnya dari atas kloset ke tempat tidurnya, dan kemudian membersihkan badannya dari semua kotoran yang melekat. Cerita ini saya dengar dari Sjahrir sendiri ketika saya mengunjunginya di tempat tahanan,” ujar Hamid.
Lanjutnya, “..setelah menceritakan semua itu, Sjahrir berkata, “Mid, kamu ingat pendapat saya tentang Sultan Hamid di masa lalu? Sejak peristiwa kepingsanan saya itu, saya perlu mengoreksi pendapat saya. Dia orang yang baik hati.” Ketika Sjahrir meninggal dunia dan Sultan Hamid hadir untuk mengangkat jenazahnya, saya merasa berkewajiban untuk menyampaikan pendapat Almarhum tentang dirinya, dan menyampaikan padanya penghargaan Sjahrir yang tinggi atas pertolongannya di tahanan yang diberikan secara spontan. Sultan Hamid tampak sangat terharu mendengarnya..”.
Kesan Hamid Algadri, ayah dari Nono Anwar Makarim ini, kemudian tak berpunggung badan dengan apa yang disampaikan oleh Sutan Sjahrir. Menurutnya, di buku yang ditulisnya tersebut, bahwa Sultan Hamid II adalah orang yang baik, bahkan seorang patriot. “.. Ia seorang yang berani mengambil risiko, tapi karena latar belakangnya, ia selalu menghadapi dilema dalam mengambil keputusan politik, yakni dilema antara sumpah setianya pada Ratu Belanda dan kepatriotannya yang memang alami. Dalam rapat-rapat gabungan komisi-komisi militer, ia tak jarang memihak sepenuhnya pada Republik, untuk kemudian dalam rapat yang lain menentang keras pendapat Republik,” tandas Hamid.
Hal di atas jelas, menggambarkan bagaimana patriotnya seorang Sultan Hamid II. Tegas berprinsip, namun humanis dalam interaksi bersama para bapak bangsa. Kalau dianggap tak berprikemanusiaan, tak mungkin Sultan Hamid II menolong Sutan Sjahrir ketika terkapar sakit seperti yang dijelaskan Hamid Algadri dalam memoarnya itu.
Sultan Hamid II memang memiliki kekurangan-kekurangan dalam dirinya sebagai manusia. Tapi, itu juga dimiliki oleh pahlawan-pahlawan bangsa lainnya di Indonesia. Tak ada manusia sempurna. Tapi yang utama, Sultan Hamid II bukanlah seorang yang keji seperti diceritakan oleh para pendendam-pendendam yang ada di negara kita saat ini. Sultan Hamid II berhati besar, walaupun dijungkirbalikkan pihak-pihak yang menstereotipekan karakternya sebagai seorang yang buruk.
Sultan Hamid II, bukan pula seorang pendendam. Walaupun beberapa kali dijebloskan ke penjara oleh Rezim kala itu, dia ikhlas menjalankannya. Dia tak mengambil hati semua keadaan yang ada.
Sikap ini dibuktikan pada tulisan HM. Max Yusuf Alkadrie, seorang mantan Sekretaris Pribadi Sultan Hamid II dalam buku bunga rampai berjudul “Bung Karno Bapakku Guruku Sahabatku Pemimpinku (Kenangan 100 Tahun Bung Karno), oleh penerbit Grasindo Jakarta tahun 2001. Max menulis artikel di buku tersebut dengan sub judul “Teladan Generasi Bung Karno-Saling Hormat dan Santun Dalam Berpolitik”.
Max menyebut kala itu Sukarno sakit keras. “Pertama kali bertemu dengan Bung Karno pada hari Jum’at, tanggal 19 Juni 1970 jam 10.30 di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD)-sekarang Rumah Sakit Gatot Soebroto. Dalam kesempatan mendampingi Sultan Hamid II yang akan bezook sekaligus minta maaf atas kekhilafan di masa lalu. Saat membesuk, kami mendapat halangan dari Polisi Militer yang berjaga-jaga di depan. Kami sempat bertikai, karena kami tidak diizinkan masuk walau kami sudah mengatakan, cuma lima menit saja. Akhirnya, setelah debat panjang, saya dan Sultan Hamid II diperbolehkan masuk.”
Lanjut penuturan Max pada tulisan tersebut, “Kondisi Bung Karno sudah sangat memprihatinkan karena benar-benar menderita lahir batin yang mengenaskan. Sultan Hamid II berucap: “Saya Hamid, Bung. Maafkan kesalahan saya, dan kesalahan Bung, saya maafkan.” Bung Karno hanya mengenal suara saja, tidak pada wajah. Tak terasa, air mata jatuh dari mata Sultan Hamid II dan Bung Karno. Tidak sampai lima menit, Sultan Hamid II langsung keluar karena tidak tahan melihat kondisi Bung Karno. Hubungan seterusnya tidak berlanjut setelah Bung Karno wafat pada hari Minggu tanggal 21 Juni 1970 jam 10 pagi.”
Max menyebut hal itu merupakan pengalaman paling berkesan di antara dua tokoh yang berlawanan politik ini, tidak ada dendam di antara mereka. Bahkan walaupun berseberangan secara politik tidak membuat keadaan sebagai masalah lama yang tak terpecahkan. Sultan Hamid II juga tak memelihara kekecewaannya tersebut kepada penguasa hari itu, bahkan ikhlas menerima perlakuan tidak adil yang dilakukan oleh sebagian bangsanya sendiri.
Hal itu sepatutnya kita lakukan hari ini. Tidak memelihara dendam lama. Melakukan rekonsiliasi bangsa, merekonstruksi sejarah negara. Dan meresolusi semua keadaan yang ada. Kami tak memiliki tendensi apa-apa, melainkan, sekali lagi kami sebutkan bahwa kami ingin meluruskan sejarah bangsa kita. Agar generasi penerus, ke depannya, tidak lagi memelihara sentimen sejarah politik negara. Persatuan akan terpelihara, bila semua memahami perbedaan-perbedaan yang sudah ada, sejak dahulu kala.
Salam takzim kami, untuk masyarakat Indonesia, Kalimantan Barat, Pontianak, yang terus mendukung perjuangan pelurusan sejarah bangsa kita. Untuk meletakkan penghormatan setinggi-tingginya kepada Pahlawan Kita, Perancang Lambang Negara – Garuda Pancasila, Sultan Hamid II.
Pontianak, 18 Juni 2020.
Yayasan Sultan Hamid II.
AD.