oleh: Ipang Wahid
Bulan Oktober 2019 lalu, Indonesia dianugerahi penghargaan dari Conde Nast Traveller sebagai destinasi pariwisata terbaik di dunia tahun 2019. Conde Nast Traveller mengumpulkan survey online dari 600.000 koresponden dan pembacanya. Sebuah penghargaan yang semakin menegaskan betapa besar potensi pariwisata Indonesia di mata dunia.
Tentu kita semua bangga mendengarnya.
Namun, penghargaan ini tidak bisa menjadi salah satu indikator bahwa pariwisata Indonesia dalam keadaan yang mentereng saat ini. Indonesia masih dihadapkan pada berbagai pekerjaan rumah yang menumpuk terkait pengembangan pariwisata dalam negeri.
Pariwisata Indonesia membutuhkan perubahan. Beragam indikator masih menunjukkan kita masih kalah dibandingkan dengan negara tetangga kita di ASEAN: Thailand, Malaysia, Singapura, bahkan Vietnam.
Mastercard Global Destination Cities Index 2019 merilis tiga destinasi wisata Thailand menempati 20 besar dunia kota dengan wisman terbanyak sepanjang 2018: Bangkok di peringkat 1 (22,78 juta), Phuket di peringkat 14 (9,9 juta), dan Pattaya di peringkat 15 (9,4 juta). Singapura berada di peringkat 5 (14,67 juta) dan Kuala Lumpur berada di peringkat 6 (13,79 juta). Sedangkan Indonesia hanya berhasil menempatkan Bali di peringkat 19 dengan angka kunjungan sebesar 8,26 juta wisman.
Destinasi wisata unggulan kita bahkan masih terlampau jauh dibanding beberapa kota di ASEAN. Kunjungan wisman kita masih kalah dibanding beberapa kota di Malaysia seperti Penang (7,7 juta) dan Melaka (5,68 juta).
Bagaimana dengan destinasi “besar” Indonesia?
Kunjungan wisman ke Jakarta pada tahun 2018 sebesar 2,8 juta wisman dan Batam/Kepulauan Riau sebesar 2,6 juta.
Sementara beberapa destinasi lainnya di Indonesia sangat jauh tertinggal dengan destinasi di ASEAN yang lain seperti Surabaya/Jawa Timur (320 ribu), dan Kualanamu/Medan (230 ribu).
Bandingkan dengan kota-kota “kecil” di Vietnam macam Ho Chi Minh (7,5 juta), Hanoi (5,5 juta), dan Quang Ninh (5,3 juta). Jauh sekali kita tertinggal.
Selain itu, apabila dilihat dari angka devisa pariwisata pada 2018, Indonesia juga masih tertinggal dibandingkan negara tetangga. Thailand berhasil meraup devisa pariwisata sebesar USD 70 miliar. Singapura, Vietnam, dan Malaysia masing-masing berhasil mencetak devisa sebesar USD 27,1 miliar; USD 26,75 miliar; dan USD 20,07 miliar.
Perolehan devisa Indonesia berada di angka USD 19,3 miliar.
Sebagaimana target utama dari Kemenparekraf yaitu meningkatkan quality of tourism Indonesia, maka perolehan devisa pariwisata juga harus ditingkatkan dengan strategi jitu yang efektif dan efisien. Kita harus mengejar ketertinggalan dengan memanfaatkan potensi besar yang kita miliki.
Inilah tantangan besar pariwisata Indonesia sesungguhnya.
Kita harus segera berbenah untuk mengejar target pertumbuhan yang diharapkan. Pemerintah sendiri menargetkan devisa pariwisata USD 32 miliar dan 24 juta wisman pada 2024 dengan Average Spending per Arrival (ASPA) sebesar USD 1.333. Artinya pertumbuhan ASPA periode 2019 – 2024 adalah 9%. Faktanya, pertumbuhan ASPA Indonesia dalam 5 tahun terakhir hanya 3,1%.
Inilah pekerjaan rumah terbesar dari quality tourism yang dicanangkan Kemenparekraf.
Dibutuhkan terobosan-terobosan baru yang mampu mewujudkan keinginan tersebut sehingga bisa bersaing dengan negara-negara tetangga di ASEAN.
*Tim QuickWin 5 Destinasi Super Prioritas, Ketua Pokja Industri Kreatif KEIN