Oleh: Wajidi Sayadi
Biasanya Kajian Hadis Ahad malam antara magrib-Isya di Masjid Raya Mujahidin Pontianak bertatap langsung dengan para jamaah. Di tengah kondisi wabah virus corona belum mereda, kali ini Kajian Hadis secara On Air Disiarkan secara langsung dari rumah kediaman oleh Radio Dakwah Mujahidin Pontianak via Hp.
Pembahasan secara lisan lebih panjang, dan bahasanya agak berbeda ketika dituangkan dalam bentuk tulisan.
Tema kajian malam ini adalah tentang tawadhu’, sebagai kelanjutan dari pembahasan sebelumnya.
Tawadhu’ artinya rendah hati. Pembahasan tentang tawadhu’ adalah bagian dari kajian tasawuf, sebab tawadhu’ merupakan sifat dan karakter kualitas spiritual seseorang.
Makin tinggi tawadhu’-nya, itu tandanya kualitas spritualnya makin bagus. Sebaliknya, lawan dari tawadhu’ adalah takabbur atau sombong dan angkuh.
Semakin sombong dan angkuh seseorang, semakin memperlihatkan kerapuhan dan kehinaan dirinya.
Saat ini di tengah situasi wabah virus corona adalah ujian berat bagi umat manusia, khususnya umat Islam perlu mengedepankan sikap tawadhu’.
Boleh jadi selama ini sikap takabbur yang banyak dipertontonkan umat manusia karena merasa sudah sangat hebat dengan ilmu, kekayaan, kekuasaan, kedudukan, jabatan, dan segala kesombongannya, maka Allah memperlihatkan kekuasaan-Nya melalui virus corona yang sudah menyebar ke lebih 200 negara dengan segala macam korbannya, termasuk Indonesia.
Termasuk di antaranya misalnya perlu bersikap tawadhu’ menyikapi Fatwa MUI berkaitan masalah pelaksanaan ibadah di tengah kondisi wabah virus corona dan Himbauan Pemerintah, agar terhindar dari rasa takabbur.
Mengolok-olok, mencaci maki, menganggap remeh bahkan ada yang ingin menantang Fatwa MUI dan Kebijakan Pemerintah dengan segala macam dalil, boleh jadi kita tidak sadar bahwa sesungguhnya kita sudah memperlihatkan kesombongan, dan jauh dari sikap tawadhu’.
Tawadhu’ adalah menghormati orang yang lebih tinggi dari dirinya karena keutamaannya.
التواضع هو تعظيم من فوقه لفضله
Kata imam al-Qusyairiy dalam ar-Risalah, tawadhu’ adalah pasrah kepada kebenaran dan tidak berpaling dari ketentuan hukum.
Syekh Fudhail pernah ditanya, tentang apa itu tawadhu’? Beliau menjawab, tawadhu’ adalah tunduk dan patuh terhadap kebenaran dan menerima kebenaran itu dari siapa pun yang mengatakannya.
Asy-Syibli bertanya kepada seorang laki-laki: “Siapa engkau?” Orang itu menjawab: “Saya adalah sebuah titik di bawah “ba”. Lalu Asy-Syibli berkata: “Kalau begitu, engkau adalah saksiku engkau menganggap rendah kedudukan dirimu sendiri.”
Allah SWT. berfirman:
وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang beriman yang mengikutimu. (QS. asy-Syu’ara’, 26: 215).
Kata جَنَاحٌ dalam ayat ini pada dasarnya berarti sayap. Mengapa diartikan diri atau hati. Rendahkanlah sayapmu, dalam penegrtian rendahkanlah hatimu.
Mengapa Al-Qur’an mengungkapkan bahasa kiasan Ini dengan istilah sayap burung?
Pertama, karena biasanya burung itu terbang tinggi dengan mengandalkan sayapnya. Manusia yang merasa dirinya tinggi, seperti tingginya burung yang sedang terbang, itulah kesombongan. Maka diperintahkan merendahkan sayapnya, dalam pengertian merendahkan hati untuk tidak sombong.
Kedua, burung biasanya merendahkan sayapnya pada saat hendak mendekat dan bercumbu dengan betinanya atau ketika ingin merangkul dan melindungi anak-anaknya.
Maksudnya, bersikap lemah lembut, rendah hati, harmonis, melindungi, tabah dan sabar bersama orang-orang beriman, terutama ketika sedang susah dan krtitis.
Artinya ciri tawadhu’ adalah bersikap lemah lembut dan harmonis.
Dalam ayat lainnya, Allah berfirman:
فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dia mengetahui tentang orang yang bertakwa. (QS. an-Najm, 53: 32).
Maksudnya jangan memuji-muji diri apalagi sampai membangga-banggakan diri. Jangan merasa diri lebih saleh, lebih rajin beribadah, lebih banyak amal ibadah, lebih ‘alim, dan lain-lain. Dengan menghindari sifat dan sikap seperti ini, maka diharapkan akan melahirkan sifat dan sikap tawadhu’.
Rasulullah SAW. menjelaskan:
إِنَّ اللهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لَا يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلَا يَبْغِي أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ
Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian bertawadhu’ (merendahkan hati), hingga tidak ada seorang yang membanggakan diri di hadapan orang lain, dan tidak ada orang yang menganiaya terhadap orang lainnya. (HR. Muslim dari ‘Iyadh bin Himar).
Hadis ini jelas bahwa tawadhu’ adalah etika Islam atau kualitas spiritual yang sangat tinggi, merupakan pesan wahyu Allah kepada Nabi SAW. bahkan dengan tegas, bahwa sifat tawadhu’ ini bisa mengikis dan menghilangkan kesombongan dan kezhaliman.
Banyak hal yang menyebabkan orang sombong, antara lain karena kekayaannya, jabatan atau kedudukannya, ilmunya, keturunannya, dan lain-lain. Kesombongan inilah yang kemudian memudahkan berbuat aniaya, berbuat semaunya, berbuat sewenang-wenang. Maka dengan sifat tawadhu’ inilah yang bisa mengatasinya.
Dalam hadis lainnya, Rasulullah SAW. semakin mempertegas bahwa Allah akan mengangkat derajatnya orang yang tawadhu’.
وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ
Tidaklah seseorang tawadhu’ karena Allah, kecuali Allah akan meninggikan derajatnya. (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
Tawadhu’ karena Allah, pengertiannya 1) tawadhu’ terhadap agama Allah, yakni tidak sombong dalam menjalankan ajaran agama. 2) tawadhu’ terhadap sesama karena Allah, bukan karena ada kepentingan lainnya.
Betapa banyak orang menjadi mulia dan terhormat bahkan disegani karena sikap tawadhu’-nya.
Inilah contoh bahwa Allah mengangkat derajat kemuliaan orang yang Tawadhu’.
Semoga Allah senantiasa menuntun dan mengarahkan kehidupan kita agar bisa selalu bersikap tawadhu’, rendah hati, jauh sifat dan sikap sombong alais takabbur.
Semoga Bermanfaat.
Pontianak, 6 April 2020/12 Sya’ban 1441 H.